Senin, 09 Juni 2008

GELAGAT POST-ESTETIK DALAM SENI KONTEMPORER

Oleh : Bambang Sugiharto

Modern art, while enjoying its autonomy, has turned into elitism, excessive technical preoccupation and monolythic tendency. In this way the arts have eventually become foreign to real socio-cultural problems. This,in turn, has sparked off a counter reaction paving the way to a new paradigm, the so called “post-aesthetic” paradigm. This article seeks to reflect upon the significance of the paradigm and show how the arts are accordingly redefined.

Salah satu hal yang sangat menarik dalam era kesejagatan saat ini adalah meriapnya kesadaran baru dimana-mana tentang aspek politis di balik formasi segala kategori dasar yang selama ini digunakan untuk memahami diri, kebudayaan , dan kemanusiaan. Hampir segala kategori pokok yang kita gunakan untuk memandang dan mengalami, berpikir dan merasa, seperti konsep-konsep tentang "diri","Subyek","Obyek", "Kebenaran","Barat","Timur",dsb.dsb. kini diragukan makna dan relevansinya. Berbagai tradisi pemikiran yang telah demikian lama menghidupi dunia manusia kini digugat otoritas dan kredibilitasnya. Semua gejala ini tampak terutama dalam menjamurnya berbagai istilah yang umumnya berawalan "post", seperti : post-industri,post-literasi, post-western, post-ideologi,dst.dst., yang kemudian berkulminasi dalam istilah "postmodern" (seolah merangkum segala "post" lainnya). Namun itu tampak pula dalam berbagai istilah yang berawalan "de", seperti : dekonstruksi, dedifferensiasi,desentralisasi, demistifikasi,dsb.dsb. Sepertinya ini adalah sebuah jaman dimana perilaku, konsep dan pola-pola hubungan perlu dipikirkan dan dirumuskan kembali secara baru.
Dalam konteks kiprah berkesenian goncangan-goncangan kategori macam itu terutama melanda konsep dasar macam "kebudayaan","seni","identitas","otentisitas", dsb. Artinya konsep-konsep tersebut kini diragukan makna dan validitasnya. Ada semacam skeptisisme bersama dimana-mana yang cenderung mencurigai segala bentuk klasifikasi, standardisasi dan kategorisasi umum. Dalam kerangka macam inilah dapat dikatakan bahwa terjadi suatu transformasi yang mendasar dalam hal struktur visual seni, identitas karya seni, dan persepsi tentang apa artinya menjadi seniman saat ini. Dengan istilah dari Thomas Kuhn , agaknya dalam dunia seni sedang terjadi "pergeseran paradigma" : pergeseran itu tidak hanya pada tingkat teknis atau pun "gaya" (style) melainkan menghunjam ke tingkat dasar epistemologis kesenian itu sendiri.


Senjakala Modernisme

Untuk mengkaji ulang apa itu "modernisme" mungkin baik juga kita menengok ke belakang dahulu. Seorang kritikus seni terkemuka tahun 1940-an , Clement Greenberg, mempopulerkan istilah "modernisme" itu dalam bidang wacana kesenian. Dalam essaynya "Avant-Garde and Kitsch" (1939) dan " Towards a Newer Laocoon" (1940), Greenberg menyatakan bahwa karya seni yang maju adalah yang bergerak dari kompleksitas tinggi ke arah yang lebih sederhana.1 Karya seni macam ini biasanya berfungsi serentak sebagai perlawanan terhadap kecenderungan totaliterisme standarisasi penilaian dan degradasi nilai oleh "kitsch" kultur pop. Sementara dalam essaynya yang lain yaitu "Modernist Painting" (1961) Greenberg menulis lagi :
"Essensi Modernisme terletak pada ......digunakannya suatu metode dari
disiplin tertentu justru untuk mengkritik disiplin itu sendiri. .....Apa yang harus ditampilkan adalah hal yang unik dan tak terreduksikan dari karya seni itu. Setiap seni itu harus menampilkan kekhasan effek-effeknya..."2

Pendeknya Greenberg menghendaki agar setiap medium artistik itu merujuk dirinya sendiri dan dari sana bergerak dengan proses abstraksi menuju hal yang essensialnya. Misalnya, kekhasan lukisan yang mesti di eksplorasi seorang pelukis adalah bidang datar dan pembatasan bidang datar itu. Maka katakanlah Greenberg ini menganggap khas kemodernan terletak pada keterpilahan bidang-bidang kesenian itu secara tegas. Tentu saja pandangan macam ini langsung terasa sangat miskin, dan karenanya menjadi bahan perdebatan yang ramai juga.
Satu hal yang jelas adalah kenyataan bahwa sejak tahun 1900-an hingga 1970-an kesenian, terutama seni rupa, mengalami perubahan konseptual sangat cepat yang tak pernah ada padanannya sebelumnya dalam sejarah. Secara garis besar perubahan itu dapat dikategorikan sebagai berikut ini : Pertama, seni sebagai representasi realitas, yang isi konsepnya berubah-ubah diwakili oleh Impressionisme, Cubisme, Dadaisme dan akhirnya Surrealisme. Masing-masing dari aliran yang disebut ini sesungguhnya pun sangat berbeda satu sama lain pandangannya mengenai apa itu "representasi" namun pada dasarnya mereka masih dapat dimasukkan dalam kategori besar "representasi" ini. Kedua, seni sebagai presentasi dari realitas yang tak terpresentasikan . Dapat dimasukkan dalam kategori-payung (umbrella category) ini adalah Abstrak Ekspressionisme, Konstruktivisme, De Stijl dan Minimalisme. Dan akhirnya , ketiga, adalah seni yang berpusat justru pada "non-representasi" dimana proses estetik cenderung tak dianggap perlu. Konsep ini agaknya diwakili terutama oleh Konseptualisme.
Semua itulah yang kerap disebut sebagai seni "modern". Maka menjadi jelas disana bahwa kemodernan lebih ditandai oleh kecenderungan "diskontinuitas" dalam rangka mencari "originalitas". Kecenderungan yang biasa disebut juga sebagai kecenderungan "Avant-garde" ini adalah kecenderungan untuk senantiasa ber-eksperimentasi mencari kebaruan tak habis-habisnya, eksplorasi kemungkinan baru terus-menerus. Yang menarik adalah bahwa kecenderungan macam ini membawa konsekuensi logis disangkalnya terus-menerus konsep-konsep sebelumnya, hingga akhir yang sudah terraba adalah disangkalnya kata "kesenian" itu sendiri : "The end of art", seperti kata Arthur Danto.3 Tidaklah mengherankan bila orang menganggap bahwa modernisme sudah selalu mengandung konsep "post" ( sesudah), sehingga kelak ketika muncul istilah "post-modern" pengertiannya menjadi kacau balau.
Sebagai paradigma sebetulnya kekhasan modernisme terletak pada konsep humanismenya yang liberal dan rasional, serta pada keyakinannya yang agak naif terhadap idealisme "kemajuan" ala Pencerahan ( Enlightenment). Di balik keyakinan ini terdapatlah praandaian bahwa dasar objektif baik bagi nilai-nilai dasar dan universal, maupun bagi tindakan-tindakan yang otonom itu mungkin.4
Lepas dari persoalan apakah sebagai kerangka filsafati idealisme modern itu dapat terpenuhi atau tidak , dalam kerangka kesenian proyek modernisme itu telah menggelindingkan arus eksperimentasi diatas tadi yang pada dasarnya merupakan gerakan-gerakan yang hendak menjadikan seni sebagai wilayah otonom . Yang dianggap sebagai "kemajuan" dalam bidang seni ternyata umumnya adalah aneka perubahan dan inovasi teknis guna mendapatkan pengalaman "estetik" yang lebih murni. Di balik hingar-bingar aliran-aliran baru itu , dalam perjalanannya kesenian modern macam itu ternyata makin jauh dari perkara-perkara sosio-kultural real dan makin masuk dalam suatu wilayah teknis dan imajiner tersendiri, wilayah kenikmatan reflektif ideal yang asing.
Namun barangkali yang membuatnya makin hari makin kehilangan wibawa adalah kenyataan bahwa kegilaan melabrak pola-pola baku sebelumnya yang terkandung dalam semangat avant-garde itu akhirnya juga melembaga. Modernisme menjadi suatu institusi kultural tersendiri yang menguasai sekolah-sekolah kesenian . Keradikalannya hilang dan ia menjadi kultur resmi, tempat berkumpul justru kaum neokonservatif. Memang ironis. Karya-karya Picasso, Joyce, Lawrence, Brecht, Pollock dan Sartre misalnya akhirnya menjadi karya-karya standard yang digunakan sebagai acuan baku studi akademis sedemikian hingga berbagai bentuk dan kegiatan seni yang tak bersesuaian dengan kanon tersebut menjadi tersisih, dianggap tak penting. Modernisme menjadi hegemoni kultural yang monolitis.
Itulah sebabnya kegiatan seni maupun kritik-kritik seni yang muncul sejak tahun 1960-an umumnya berkecenderungan justru untuk membongkar mitos modernisme yang monolitic itu , menumbangkan hegemoni gagasan dari para "empu" modern. Dominasi Abstrak ekspressionisme, Nouveau Roman, Eksistensialisme, film-film Avant-garde, New Criticism,dsb. segera digerogoti oleh bentuk-bentuk kesenian baru yang umumnya ( sengaja) bertolak belakang terhadap konsep-konsep modern itu. "Pop-art", misalnya, dengan sengaja mengolah tema-tema dan objek dari wilayah budaya-pop yang bisanya dianggap budaya rendahan oleh modernisme; "Minimalisme" misalnya, kendati sering dianggap juga produk modernisme akhir, toh di sisi lain justru merupakan sinisme karikatural atas kecenderungan formalistik modernisme yang berlebihan. Ada pula kecenderungan untuk justru memadukan berbagai disiplin seni seperti tarian di campur dengan lukisan dan sastera,misalnya. Dari gerakan-gerakan ini semua akhirnya yang dirombak bukanlah hanya "gaya" yang bersifat teknis, melainkan konsep tentang apa itu "seni" sendiri.
Gagasan-gagasan kritis di wilayah filsafat lantas seperti menggarisbawahi semua kecenderungan mendobrak paradigma modernisme itu. Pemikiran-pemikiran dari Sekolah Frankfurt, Roland Barthes, Michel Foucault, Jean Baudrillard, Jaques Derrida, Jaques Lacan dsb. akhirnya menggeser fokus dari kritik terhadap para "empu" dan "adikarya" modern ke arah cara kerja Modernisme itu sendiri, dan dari pemilahan modern yang ketat atas disiplin-disiplin ke arah pola interaksi dan kajian interdisipliner atas dinamika bentuk-bentuk representasi kultural manusia kontemporer. Misalnya saja dibukalah kajian-kajian atas peran mitos-mitos kultural dalam representasi, konstruksi representasi dalam sistem-sistem sosial, dsb.
Demikian dalam situasi dimana paradigma modern kian luruh, bentuk-bentuk ungkap kesenian tampil sangat berbeda kini karena konsep maupun materi yang diolahnya pun berbeda : pengolahan tubuh dalam seni "performance", penggunaan gas, telepati, dan skala-skala besar dalam seni yang berkaitan dengan isu lingkungan, intervensi-intervensi terhadap intitusi sosial-politik, penggunaan komputer dan media-media elektronik, dsb. Seniman telah menciptakan pula kartu-pos, rekaman-rekaman CD Rom, bahkan menulis buku,dst. Dan makin hari makin jelas bahwa kecenderungan pembauran interdisipliner kian kuat, seperti pada model seni "installasi", "performance art", "Action" dsb.dsb.. Kian kuat pula kecenderungan seni untuk terlibat dalam persoalan-persoalan sosio-kultural konkrit.
Di Indonesia, kendati denyutnya tak sehingar-bingar itu toh pergeseran yang serupa terjadi juga. Kesenian "modern" yang sempat diwakili sejak Raden saleh, Basuki Abdullah lantas Soedjojono, Affandi, Hendra Goenawan, dsb. hingga generasi A.D. Pirous, Sadali, dsb. sempat digebrak oleh Gerakan Senirupa Baru tahun 1975-an dan Pameran "senirupa Kepribadian apa" tahun 1977-an, yang menampilkan kecenderungan jauh lebih bebas dalam pola-pola ungkap keseniannya, serentak memperkarakan kiblat dan konsep dasar kesenian di Indonesia umumnya. Sejak itu para seniman generasi berikut hingga kini praktis berkiblat dan berkiprah sesuai dengan kecenderungan kontemporer seperti di dunia Barat. Sebut misalnya Heri Dono, Krisna Murti, Agus Suwage, Marintan Sirait, Dadang Kristanto, dsb.dsb. Adapun dalam dunia musik , pola musik kontemporer menjamur pula dengan sosok-sosok utamanya seperti Paul Gutama Soegiyo, Harry Rusli, Tony Prabowo,Sukahardjana, dsb. Dalam bidang teater kita kenal Putu Wijaya, sedang di bidang sastera ada Sutardji Calzoum Bachri, Danarto dan Budidarma; di bidang seni tari kita kenal Sardono W.Kusumo, dst.
Yang menarik adalah bahwa di Indonesia kecenderungan kontemporer itu serentak berpadu dengan upaya menggali inspirasi-inspirasi dasar dari khasanah tradisi. Hasilnya seringkali sangat memikat dan mencengangkan . Berbagai pencapaian sangat berarti dalam hal perpaduan itu misalnya : G.Sidharta dalam seni patung; Dadang Kristanto , Heri Dono dan Krisna Murti dalam seni installasi; Sardono dalam seni tari; Garin Nugroho dalam film; Sukahardjana dan Tony Prabowo dalam musik; Danarto , Putu Widjaja dan Sutardji dalam sastra. Untuk menyebut beberapa saja yang langsung terasa menonjol.

Abad post-estetik ?
Salah satu arus pemikiran pokok yang melatarbelakangi kritik-kritik terhadap modernisme adalah pemikiran dari Michel Foucault. Dalam The Order of Things ( 1966) Foucault melukiskan, antara lain bahwa nama, genre, kategori, dan imaji adalah cara-cara untuk membatasi alur pengetahuan dengan memilih keserupaan-keserupaan tertentu dan menetapkannya sebagai ukuran pemilahan-pemilahan. Dengan kata lain, kode-kode kultural yang kita gunakan untuk menghayati realitas, tatanan-tatanan wacana yang kita ikuti, segala bentuk representasi realitas, sesungguhnya bukanlah sesuatu yang alamiah dan pasti, melainkan sesuatu yang sebetulnya "acak" dan sangat ditentukan oleh sejarah : karena itu selalu bisa dikritik dan direvisi. Lagipula penseleksian unsur yang kemudian digunakan sebagai patokan itu sangat ditentukan pula oleh kepentingan-kepentingan tertentu, yang dengan demikian sudah selalu menyarankan keterbatasan tertentu.
Tentu saja ada banyak bentuk "representasi" realitas. Seni adalah salah satunya saja. Representasi adalah konstruksi artifisial melalui mana kita memahami realitas. Representasi mengandung unsur-unsur pokok seperti definisi, bahasa, imaji, dsb yang kemudian diberi status sebagai "fakta". Kenyataan ini meng-implikasikan sekurang-kurangnya dua hal : pertama, bahwa ada suatu otoritas tertentu yang mengumpulkan, menseleksi dan membatasi; kedua, suatu teori yang hendak mengkritiknya akan membantu kita memahami efek-efek negatif dari representasi itu. Dari sanalah dapat kita serentak meraba sejauh mana tipe representasi itu mengandung semacam kekerasan atau pemerkosaan tertentu dalam proses dekontekstualisasi yang dilaluinya.5 Sebab, meminjam istilah Roland Barthes, representasi adalah "formasi" serentak "deformasi".
Dalam konteks sosial, representasi berkaitan erat dengan kepentingan kekuasaan. Setiap bentuk pelembagaan suatu representasi , disadari atauppun tidak, selalu berkaitan dengan pelembagaan kekuasaan. Meminjam perspektif Louis Althusser, kekuasaan itu menyusup dalam komunikasi ikonografi maupun dalam penilaian-penilaian anonim terhadap aparat-aparat situasi ideologis seperti keluarga, agama, kebudayaan atau pun nasionalitas. Jadi, representasi-representasi khas budaya seperti foto-foto di media massa, film, iklan, fiksi dan kesenian sebetulnya membawa kecederungan ideologis tertentu. Iklan,misalnya, membawa pesan ideologis dan stereotip tertentu tentang ideal "hidup yang baik", serta memproyeksikan kepentingan kelas-kelas tertentu yang ingin melestarikan kepentingannya. Demikianlah semua bentuk representasi kultural, termasuk representasi gender, kelas dan ras, bekerja dengan cara seperti itu. Yang jadi perkara adalah bahwa pola-pola representasi itu dibentuk selalu berdasarkan hirarki nilai tertentu alias diskriminatif, diskriminasi kognitif.
Pandangan dasar Foucault macam ini membuka kemungkinan pemahaman baru terhadap kesenian dan kritik seni. Seni, sebagai bidang yang selalu bergumul dengan konstruksi-konstruksi kultural seperti imaji, ideologi dan simbol, boleh jadi justru merupakan bidang yang strategis ke arah kritik representasi itu, representasi pada skala kultural yang luas maupun pola-pola representasi dalam dunia kesenian itu sendiri. Bila dilihat dari sudut ini maka lantas perkaranya pun menjadi lebih jauh : bukan lagi bagaimana kritik seni bisa mengabdi kesenian, melainkan bagaimana kesenian bisa menjadi lahan subur bagi segala bentuk sikap kritis , terutama kritis terhadap bentuk-bentuk representasi yang opressif. Pemahaman baru semacam ini dengan sendirinya mengubah persepsi umum terhadap kiprah berkesenian . Kesenian lantas dilihat berdimensi politis , bukan dalam artian "representasi (aliran-aliran) politis" melainkan , sebaliknya , dalam artian "politik representasi" : ia bergumul dengan strategi-strategi pelembagaan dan legitimasi representasi-representasi yang opressif, dan dari dalam representasi-representasi itu mencari kemungkinan baru.
Dengan gagasan Foucault itu, maka makin terbuka lebarlah kemungkinan ke arah kiprah baru berkesenian keluar dari kerangka parameter dan kiblat kesenian "modern". Sekurang-kurangnya tiga hal penting yang kemudian berkembang dari dasar inspirasi foucauldian itu, yang bisa dianggap menandai keterputusan kiblat kesenian baru dari yang lama (modernisme). Pertama, "matinya" sang pengarang (pencipta). Kedua, berubahnya konsep "originalitas". Ketiga, berubahnya pola produksi "makna" , dimana titik pusat pemaknaan tidak lagi pada sang seniman melainkan pada sosok karya itu sendiri dan pada para penontonnya .
Yang pertama, ini berkaitan erat dengan gagasan dasar kaum post-strukturalis umumnya, dengan Roland Barthes khususnya. Pada intinya Barthes berpendapat bahwa sebuah teks adalah suatu jaringan kombinasi makna yang otonom , yang selalu bisa ditafsirkan tanpa mengkaitkannya pada pengarangnya. Interpretasi adalah upaya membuat jaringan kombinasi baru atas jaringan yang ada. Tekslah yang memungkinkan suatu aspirasi , fiksi atau pun representasi realitas tertentu dapat dibaca dan karenanya berkembang biak lewat bacaan itu. Dan teks itu otonom: dalam proses baca-tafsir ia berkembang biak sendiri dan mengalami deformasi terus menerus disana. Sang pencipta/pengarangnya bukan lagi subyek atau produser. Kebalikannya : gambaran tentang si penciptanya itu justru dibentuk oleh teks. Kenyataan ini kian jelas ketika teks itu direproduksi terus-menerus, semakin otonom, semakin tak terlalu berkaitan dengan penciptanya. Karya seni sama halnya , melalui reproduksi dan percaturan wacana kritik atasnya ia menjadi sosok mandiri. Figur si seniman itu sendiri akhirnya menjadi tak terlalu penting .6
Kedua, berkaitan dengan hal itu konsep tentang "originalitas" pun berubah. Kiprah kesenian pada masa modern sangat berfokus pada pencarian originalitas. "Kebaruan" menjadi semacam obsesi jaman kala itu. Maka perubahan demi perubahan style dalam melukis misalnya bergulir terus dan memuncak pada kecenderungan kaum avant-gardist yang sangat eksperimental. Eksplorasi kebaruan umumnya berjalan di wilayah teknis : teknik-teknik baru dieksplorasi terus. Dan para pembaharu itu kemudian dianggap sebagai semcam "empu" dan karya-karya mereka lantas dibaptis menjadi "adikarya". Kecenderungan itu semua perlahan berubah bersama dengan tampilnya beberapa gejala, antara lain : sistem reproduksi, digunakannya barang-barang yang telah siap pakai, dan orientasi lebih pada makna ketimbang pada teknik.
Sistem reproduksi kini telah memungkinkan karya dari khasanah tradisi apa pun dapat dinikmati oleh siapa pun dan dimana pun . Ini memungkinkan sistem referensi yang tanpa batas sehingga penciptaan menjadi makin sulit untuk sungguh-sungguh "original" bagaikan "lahir baru" seperti yang biasa dibayangkan kaum avant-gardist dahulu.7 Masa lalu adalah hari ini sekaligus masa depan. Dan penciptaan kini lebih cenderung berarti "perakitan baru" barang-barang yang siap-pakai. Memang kadang ini menuntut semacam tindakan "dekonstruksi", tapi lebih dalam arti "dekontekstualisasi" : melepaskan elemen-elemen tertentu dari konteksnya semula kemudian merakitnya kembali dalam konteks baru yang tak terduga. Dengan perkataan lain, penciptaan kini lebih merupakan proses pembuatan kolase. Unsur-unsur tertentu dihadirkan kembali dalam pola representasi yang baru, dan dengan begitu dilepaskan dari pola representasi aslinya. Maka lebih jelasnya lagi, yang "baru" itu akhirnya adalah "pemaknaannya" ,bukan pertama-tama bentuk formalnya atau pun tekniknya. Dengan ini arah kinerja berkesenian sudah terasa mengalami pergeseran paradigma. Dalam doublet "bentuk dan isi", kini tekanan bergeser lebih ke isi, meskipun tentu saja kesenian selalu tetaplah perkara "olah bentuk" juga.
Ketiga, berubahnya pola produksi makna. Ketika penciptaan "adikarya" tidak lagi dianggap satu-satunya fokus, format lukisan yang akrab dengan dinding (museum) berubah ke arah format installasi , multimedia dan kecenderungan interdisipliner, maka serta merta aspek dialogis atau komunikatif jadi lebih menonjol. Karya hadir tidak hanya untuk "ditonton", melainkan untuk didialogkan dan lebih lagi : dialami. Dalam seni kontemporer lantas "karya" lebih merupakan "peristiwa". Dalam kerangka dialogis itu otomatis sang seniman lebih berfungsi sebagai semacam "fasilitator" yang memberi umpan atau perangsang bagi penciptaan makna bersama pemirsanya. Dengan begitu seniman itu sendiri posisinya bukan lagi pusat. Pusatnya adalah "makna" yang diharapkan terbentuk dari interaksi dialogis antara si seniman itu, karyanya dan persepsi penonton.
Dengan munculnya ketiga gejala diatas tadi menjadi jelas bahwa paradigma representasi versi modernisme yang berpusat pada pribadi seniman sendiri sebagai "genius", penciptaan "adikarya" yang abadi ( karenanya perlu museum), originalitas sebagai diskontinuitas terhadap tradisi, dan kecenderungan teknis formalistiknya yang sangat kuat, akhirnya bergeser ke paradigma representasi baru dengan segala konsekuensi ikutannya. Dengan kata lain, bila "estetika" diartikan secara sempit sebagai "kaidah-kaidah berkesenian modern" macam di atas itu, maka hari-hari ini mesti dikatakan bahwa sosok dan kiprah kesenian kontemporer cenderung "anti-estetik". Bahkan bila ini memang betul bersifat paradigmatik. bisa saja dikatakan bahwa di bidang kesenian abad ini dan mendatang adalah abad "post-estetik".
Sementara istilah "post-estetik" masih terasa problematis dan karenanya terbuka bagi perdebatan, satu hal kiranya jelas, yaitu bahwa arah baru dalam kinerja kesenian hari-hari ini telah memaksa orang untuk meninjau ulang hakekat seni yang sesungguhnya. Dalam bentuknya yang sekarang, dimana makna lebih dipertaruhkan ketimbang olah-bentuknya, seni tak lagi bisa dipahami dari sudut "keindahan" dan kenikmatan inderawi. Sekurang-kurangnya kategori "keindahan" tak lagi memadai untuk itu. Antara lain dalam arti ini juga dapat dikatakan bahwa seni kini memasuki era "post-estetik". Secara tradisional istilah "Estetik" sudah terlanjur erat berkaitan dengan konsep "keindahan" itu, sehingga kalau pun kini masih hendak digunakan, perlu dibuat isi pemahaman baru terhadap istilah itu.8
Kalau saja kita mengembalikan istilah "estetika" kepada akar kata Yunaninya, yaitu aisthanomai, maka sebetulnya maknanya justru jadi dekat dengan pemahaman orang saat ini. Aistanomai artiya "saya menyadari sesuatu". Dalam konteks kontemporer karya-karya seni umumnya merupakan produk kegiatan kreatif untuk me-refigurasi realitas sehari-hari sedemikian hingga bentuk- bentuk representasi pengalaman terkena kritik. Dengan kata lain seni hari ini umumnya merupakan kritik atas pola-pola artikulasi yang menguasai pengalaman . Ia menyadarkan kita tentang bagaimana kita de facto mengalami realitas sehari-hari dan memberi profil pada pengalaman itu, justru dengan cara me -revisi pengalaman-pengalaman itu dan mengarahkannya pada nilai-nilai tertentu. Dalam rangka memberi titik berat pada aspek "pengalaman" itu pula agaknya karya-karya seni hari ini lantas tak terlalu menggubris kaidah-kaidah estetik konvensional, yang karena itu sering di sebut "anti-estetik".9 Tapi bila kita melihatnya dari sudut fungsinya pada terbukanya kesadaran baru, maka seni kontemporer justru berkorelasi erat dengan akar kata "estetika", yaitu aisthanomai itu tadi . Dari sudut ini tentu masih bisa disebut "estetis".

Catatan :
1 Clement Greenberg,"Avant-Garde and Kitsch", Partisan Review 6 (Fall 1939) : 34-49; "Towards a Newer Laocoon", Partisan Review 7 ( July-August 1940) : 296-310
2 Clement Greenberg, "Modernist Painting", Arts Yearbook 4 ( 1961) : 109-16, dicetak ulang dalam Gregory Battcock,ed. The New Art ( New york : E.P.Dutton,1966) : 101-3,107
3 Lihat wawancara Arthur Danto dengan Suzi Gablik, dalam Suzi Gablik, Conversation Before The End of Time ,( London:Thames and Hudson,1995):277; juga Arthur C. Danto, Beyond the Brillo Box : The Visual Arts in Post-historical Perspectives ( New York : Farrar,Straus and Giroux,1992)
4 Hal ini misalnya ditegaskan oleh Habermas dalam "Modernity versus Postmodernity", New German Critique 22 ( Winter 1981): 3-14
5 bandingkan Edward Said,"In the Shadow of the West", Wedge,nos 7-8 (Winter-Spring 1985):4
6 Bandingkan Roland Barthes,Image-Music-Text (New York : Hill and Wang,1977):155-164
7 Dalam gerakan Avant-garde ada semacam keyakinan bahwa "diri sendiri" adalah sumber originalitas sedemikian hingga penciptaan dihayati sebagai sejenis kelahiran baru. Brancusi misalnya mengatakan, "Kalau kita bukan lagi anak-anak, berarti kita mati". Atau Malevich :" yang hidup hanyalah dia yang menolak keyakinan-keyakinannya dari masa lalu". Lihat Rosalind Krauss, " The Originality of the Avant-Garde: A postmodernist Repetition", dalam Brian Wallis (ed) Art After Modernism: Rethinking Representation ( New York : The New Museum of Contemporary Art,1984): 18
8 A.J. Baumgarten (1714-62) salah seorang yang paling awal memberi batasan arti "estetika", dalam karyanya Aesthetica, menyebut estetika itu sebagai teori tentang "keindahan". Dan selanjutnya pemahaman ini menjadi sesuatu yang baku dalam dunia akademis.
9 Elaborasi atas gagasan macam ini dari sudut Heidegger dan Benjamin dilakukan misalnya oleh Krzysztof Ziarek ,"After Aesthetics: Heidegger and Benjamin on Art and Experience", dalam Philosophy Today, Spring 1997: 199-208


Dr. I.Bambang Sugiharto , meraih doktorat di Universitas Angelicum,Roma, Italia. Kini mengajar di Fak.Filsafat dan Pascasarjana Unpar serta Pascasarjana SeniRupa ITB.

NOMADIC AESTHETICS : The aftermath of the End of Art

Oleh : Bambang Sugiharto[*]



At the beginning of this century, the visual arts have undergone significant changes, an unprecedented transformations in their character, identities, structures and perceptions of what it means to be an artist. Artists are plagued with doubt, and the theoretical and methodological practices of art history have been under scrutiny. At the same time, the theoretical enterprise now wields enormous institutional and cultural power as the consequence of the “dematerialization” of the arts. Artists’ theoretical strategies were as instrumental as their works of art. On the other hand, the expansion of media in the visual arts has also contributed to the alteration of the very category of “visual art”, which now encompasses everything from painting and sculpture to hybrid forms in previously unthinkable materials : the human body in performance, invisible matter (gases), energy (telepathy), large scale projects and earthworks in remote landscapes or urban centers, interventions in social and political institutions, computer and other electronic works, postcards, records, video, etc. etc.
“The end of art” is a statement that captures very well the paradigm change in the last three decades. This paper seeks to see some further consequences of the situation by linking it to today’s socio-cultural predicament so as to find out the position and the role of art within wider contemporary socio-cultural horizon.

The end of art and its corollaries
“The end of art” ( Adorno, Danto, Burgin, Kosuth, Foster, etc) is a dictum which certainly never means a literal stop to the arts. It instead suggests rethinking the significance and the role of art in real life within the total paradigm shift. In this connection Warhol is one of the many possible key-points. On the one hand, Warhol perfected the Duchampian question of “what is art”, and so brought art into philosophical self-awareness, hence the “dematerialization” of art. Or as Joseph Kosuth put it, painting and sculpture were “finished”, they are now subsumed under the general idea of “Art” (with capital “A”), that is, Art as philosophy. On the other hand, Warhol at the same time deprived art of any philosophical pretension so that art henceforth could do whatsoever. Art becomes pluralistic, its practice pragmatic, its field multicultural.
From the poststructuralist point of view, there is no more “art”, what exists is “representation” in that the history and theory of art are subsumed under the history and theory of representations, to be understood in terms of textual production and psychological reception. In terms of Marxist perspective, art is overwhelmed by the practical dominance of “the image”, the visual, the primary form of the commodity in a spectacle economy, from which art can no longer pretend to be distinct.
Corollary to the situation today is that there is no more a strong paradigm for artistic or critical practice. This surely open the way towards artistic diversity. But this also means a flat indifference, a stagnant incommensurability. Or perhaps commensurability is not important anymore for the practice as well as the appreciation of art, since art is no more an object of contemplation but a means for communication and self-presentation, an act of self-determination and self-differentiation, a process in construction. Or commensurability has taken on different forms and criteria today. At least it is not very clear whether the ambiguity or even the absence of commensurability is a curse or a blessing.
One thing is clear, however, that after since Duchamp and Warhol, art is no more an artisan production, it becomes a process of mere personal selection and a peculiar way of looking at things. The specific gaze of the artist is suffice to turn an object into an artwork. And by way of computer, video, photography, etc. everybody can become an artist. The standard and benchmark of success of the works are similar to those of a pop band. It is judged not based on some sort of historical canon, but rather in accordance with today’s level of dissemination of the product, indicated by its position in the classificatory list like Billboard Charts. Reflection is replaced by numeric-statistical assessment, words are replaced by numbers (numbers of visitors, of reviews, the finance balance sheet, recognition by colleagues, etc.). The inclusion or exclusion of certain artworks in an exhibition, museum, institutions, or gallery is no more important.
Contemporary art is the sequel of Avantgardism and Pop-art in that it bears the character of pop products, as they emphasize the discontinue and a-historic newness of hic et nunc, of the here and now, where consequently museums loses its power and significance. The history of the past is no more determinant. History becomes eternal present. Art is falling into time. It celebrates what is contextual, ephemeral and even banal. Everyday-life is the new context and playground of today’s artists, since it is the repository of the potential to subvert and transform established values. Daily activities are also significant for they are the real context that affects human relations and their evaluations, the context for the re-invention of self and subjectivity.
Today, as Hal Foster puts it, art is also living on a traumatic, spectral, non-synchronous and incongruent mode. It deals more with what has been sacrificed, castrated, silenced or marginalized as the expense of various human idealisms. It is haunted by the specter of masterpieces and lost memorabilia of the past, as well as overwhelmed by the possible catastrophic ending of the future. It has the tendency also to hold together the different temporal or contextual markers in a single visual structure, synchronizing the non-synchronous forms. The past is made use of as a repository of old sensations, private fantasies as well as collective hopes and residues of a dream world. At the same time it also complicates found things with the invented ones, or reframes given spaces, so as to make tangible the sensation of incongruence.
Apart from that I would add the transgressive character, since today art also explores borderlines to question their arbitrariness and cruelty, while believing that life and experience have no borders. This is the sort of Foucaultian transgression which transgress any kind of boundaries imposed upon us unnecessarily. The border is a no- place, a meeting point and ground for creation as well as for questioning authority or any kind of fixated dualism (high-low; public-private; pure-hybrid, in-group–out-group, etc). This then renders art “nomadic” in nature, nomadic in Deleuzian sense of the word : art is micronarrative in progress , working through rhyzomatic networks in its production and dissemination of ideas, a collective project to nurture a plurality of ideas and to nourish interrelationship.

Global predicament
Now let us take a brief look at our global situation from the perspective of theory as well as the perspective of praxis. In the realm of theory, intellectuals of the new millennium are faced with radical uncertainty, since almost all basic categories which previously rendered reality intelligible are now called into question. The ideal of rational liberal humanism, the belief in progress established during the Enlightenment, the conviction of fundamental, intrinsic, and universal values, as well as the view of autonomous subjects, objects, texts and actions, all are now replaced by the contrary. Today people view everything as contingent, insufficient, and lacking transcendence; while identity and human subjectivity are no longer understood as a unified whole, but rather, as polymorphous, fragmented and without centre. The world of symbols are now considered ambiguous, arbitrary, and shifting. Culture and knowledge are constructed and determined by relationships of power. The belief in objective or absolute truth is replaced by alternatives, ranging from radical relativism to negotiated concepts of truth.
In the domain of praxis, the world is plagued with loss of coherence and erosion of consistence , but also suffers from the lack of cohesion. The decline of traditional principles in the modern world is now exacerbated by the loss of normative discourse due to the critical movement of micropolitics of identity everywhere. Worse still, the use of terror in some forms of the movements has created an atmosphere of suspicion among each other in global scale and has also stimulated the intensification of global systematic control over individuals. Like in the sixties, again the personal becomes political. What is more, today the personal is also economic, since the technology of the capitalist world, media technology in particular, is also becoming more and more determinant in shaping the interiority of individual . It even exteriorizes the most intimate interiority. The dream factories of Capitalism have brought about the totalizing effects, the illusion of liberty and satisfaction that disguises the impoverishment of individual’s self-determination. All this has put individual in the prison of many power structures, the prison of discordant polyphony of contradictory lines, hence the heterogeneity of subjectivity.

Repositioning Art
Living within many power structures has given rise to a lot of dangerous confusions. The world of today is marked by confusions, for instance, between tourisms and clandestine migrations ; global village and disinformation; global economy and barter culture; exploration of difference and intolerant construction of identity; reality and fiction, etc.etc. Art as critical interaction between experience, imagination and thought would be of a good help in bringing forth these -often hidden- confusions to collective awareness in an effective way. The sensibility towards traumatic experience and incongruence would enable an artist to delve beneath the surface, often by problematizing and playing with the very surface. But this, in turn, will call for self-awareness of the artists themselves of the complexity and the illusory side of reality. Actually this is not so much a privilege or task of an artist as a common existential exigency of today’s world.
In a world characterized by the paradox between homogeneity and heterogeneity, where on the one hand personal creativity and independence are stifled or absorbed by the ubiquitous capitalist machine of commerce, and on the other, the self is under the pressure of the heterodox vision of otherness, if there is something to celebrate it is the survival of the individual and the re-invention of identity. In such a world, however, identity is an ambiguous project. It is, in Deleuzian words, a micropolitics that embraces the global, that has to search for transversalities between the “molar” ( the macroscopic social environment) and the “molecular” (the subjective mental ecology). Identity is something to be understood within the dynamic relationship with the other, a flux with its mutations of values , a malleable entity dependent on the networks. In Foucaultian outlook, identity is merely a game, a process for promoting certain social relationships, whose power play may render certain parties left unheard . In this connection, the power of art would lie in its capacity to identify where and how contemporary subject seeks refuge and protection from the hardship of the game, how the so called “identity” (as fixated category) often merely serves as an illusory security blanket to hide powerless anger and helplessness. But in a more productive way, artists can support and initiate alternative spaces which introduce different power games and different networks, channeling new aspirations and thereby shaping an ever growing sense of self, a nomadic self. In this way, while the peculiar art world is dissolved, its essential relation with the bigger human life is resolved.


References

Adorno,Theodor, Negative Dialectics, trans E.B.Ashton ( New York: Continuum, 1973)
Burgin, Victor, The End of Art Theory : Criticism and Postmodernity (Atlantic Highlands,NJ : Humanities Press International,1986)
Danto, Arthur, Philosophical Disenfranchisement of Art (New York: Columbia University Press, 1986)
Danto, Arthur, After the End of Art ( Princeton : Princeton University Press, 1997)
Debord, Guy, The Society of the Spectacle, trans. Donald Nicholson-Smith (Cambridge : Zone Press, 1994)
Deleuze, Gilles, and Guattari Felix, Anti-Oedipus, Capitalism and Schizophrenia (Minneapolis, University of Minnesota Press, 1989)
Deleuze, Gilles, Negotiations ( New York : Columbia University press, 1995)
Foucault, Michel, “What is Enlightenment”, in Paul Rabinow (ed), Michel Foucault, Vol I , Ethics (New York: The New Press, 1997)
Foster,Hal, The Anti-Aesthetic : Essays on Postmodern Culture ( New York : New Press, 1983)
Gablik, Suzi, Before The End of Time (New York : Thames and Hudson Ltd, 1995)
Sim,Stuart, Beyond Aesthetics (New York : Harvester Wheatsheaf, 1992)
Stiles, Kristine et al (ed), Theories and Documents of Contemporary Art: a source book of artists’ writings (Berkeley : University of California Press,1996)
Wallis, Brian, Art After Modernism : Rethinking Representation (New York : The New Museum of Contemporary Art, 1984)


[*] Bambang Sugiharto, Professor, Department of Philosophy, Parahyangan Catholic University, Bandung, Indonesia. E-mail : ignatiussugiharto@yahoo.com

KETIKA SENI MEMBUBARKAN DIRINYA

Oleh : Bambang Sugiharto

Pertanyaan tentang “apa itu seni” sudah berumur 2500-an tahun. Namun sepertinya setiap jawaban selalu saja dibatalkan kembali, justru oleh karya-karya seni sendiri, yang senantiasa mengandung ketakterdugaan inheren dalam dirinya. Kesenian agaknya se-misterius kehidupan manusia sendiri, selalu mengelak saat hendak dirumuskan dengan pasti. Tak heran bahwa hasil paling menonjol dari seminar tiga hari bertema “APA ITU SENI, SAAT INI” di Universitas Parahyangan, Bandung, 3-5 Juni 2004 hanyalah kian tampilnya kompleksitas sekitar gejala yang bernama “seni” itu.

Perubahan mendasar
Pertanyaan “Apa itu seni,hari ini” dalam seminar itu dimunculkan sebagai sebuah respons atas tampilnya gelagat-gelagat baru, khususnya di wilayah seni rupa mutakhir, yang telah mengakibatkan tidak lagi memadainya berbagai kategori konvensional yang biasa kita gunakan untuk memahami karya. Diantara berbagai perubahan mendasar yang telah terjadi dapat dilihat misalnya pergeseran lokus kiprah seni rupa. Berawal dari galeri-galeri pribadi, seni rupa telah berpindah ke museum, lantas ngerumpi di medan-medan institusi, kemudian masuk ke jaringan diskursif media, dan akhirnya kini melebur ke wilayah sosio-kultural sehari-hari. Fokus nilai pun berubah, berawal dari urusan keindahan, bergeser ke persoalan teknis, lantas ke urusan makna, berubah lagi ke effek-effek sensasi, dan akhirnya kini menuju proses-proses signifikasi bersama, dimana seniman , karya dan apresiator berkarya dalam situasi sehari-hari demi kepentingan bersama. Sosok sang seniman atau pun karya bukan lagi hal utama. Yang belakangan ini, seperti diamati seniman video Krisna Murti, tampak nyata misalnya pada proyek instalasi internet dari seniman Maki Ueda di pesantren Daarut Tauhid (Aa Gym), yang telah memungkinkan warga kampung di Bandung Utara itu berkomunikasi suka-suka setiap saat dengan orang-orang di Rotterdam. Atau juga proyek TV-Komunitas dari Jompet, seniman Yogya, yang menggalang kerjasama warga sekampungnya untuk membuat program TV dari dan untuk kepentingan mereka sendiri . Itu untuk menyebut beberapa contoh saja.
Modalitas atau cara kerja gejala seni rupa pun berubah, dari keterikatannya pada medium ( medium-specific), lantas terikat pada situs (site-specific), berubah lagi menjadi terikat pada wacana (discourse-specific) dan kini agaknya terikat pada masalah-masalah sosio-kultural konkrit (problem-specific).
Segala perubahan itu agaknya mesti dilihat bukan semata-mata sebagai perubahan di dunia seni , yang spesifik dan terbatas, melainkan sebagai manifestasi dari perubahan-perubahan mendasar dalam hubungan antara manusia (sang seniman) dengan realitas umumnya dalam dunia sosio-kultural-teknologis saat ini. Soal dinamika pengalaman, soal refleksi-diri tentang siapa aku, dalam hubungan-hubungan baru dengan lingkungannya yang senantiasa berubah itu. Kurator Aminudin TH.Siregar dan Agung Hijatnikajennong dengan tajam mengamati lapisan dasar Aesthetics of Existence ini.

Horisontal dan Vertikal
Pada awalnya bukanlah Logos, bukan Kata, bukan wacana. Pada tingkat paling primer yang terjadi sebenarnya adalah hubungan antara sang seniman dengan realitas eksistensialnya yang konkrit. Sebut saja ini aras “vertikal”, aras dinamika pergumulan seniman dengan segala upayanya untuk memberi “bentuk” pada pengalaman yang sebenarnya selalu ambigu dan amorf. Karya seni adalah konfigurasi bentuk yang berfungsi ibarat lensa untuk memandang realitas, cara pengalaman-pengalaman dirumuskan dan dimaknai oleh si seniman, dan lantas dilempar ke medan publik, demi dialog batin bersama .
Namun karya itu disebut “seni” atau bukan memang ditentukan secara spesifik oleh “dunia seni” dengan berbagai unsurnya yang kompleks seperti : paradigma seni, medan sosial seni dengan berbagai institusinya, sejarah seni, filsafat seni, tapi juga teknologi, sponsor, kosmologi kultural dan biografi pribadi seniman, misalnya. Sebut saja dunia seni yang khusus ini aras “horizontal” , dengan segala jalur percabangan style, genre dan kriteria validitasnya yang plural dan kaleidoskopis. Pada jalur-jalur horisontal ini standar-standar validitas kekaryaan diperlukan demi peningkatan intensitas dan mutu. Semacam proses involusi dalam artian positif : proses perumitan dan penghalusan. Namun keberlakuan standar itu dengan sendirinya terbatas pada lingkup genre masing-masing maupun pada konteks partikularnya. Kerumitan problematika dunia seni beserta medan sosial, institusi dan teoretisasinyanya itu sempat disoroti dengan piawai oleh para kurator dan kritikus macam Asmudjo Irianto, Nurdian Ichsan dan Herry Dim.
Dunia seni di aras horisontal ini dalam kenyataannya juga muncul paling kuat dalam sosok wacana publik. Seniman Tisna Sanjaya dan kurator Rizky A.Zaelani mengangkat dengan jeli masalah itu. Antara wacana dan aktivitas berkarya sering terasa ada kesenjangan serius. Dalam proses berkaryanya seniman bisa tak peduli pada segala wacana, dan sebaliknya wacana estetika bisa sedemikian canggih dan abstrak tanpa terkait pada dunia karya. Rizky melihat bahwa orang memang bisa berangkat dari wacana estetika lantas mengamati fenomena karya. Bisa juga sebaliknya dari fenomena karya ke wacana estetika. Yang jelas wacana tak akan cukup berarti dan bermanfaat bila hanya berupa penilaian teknis, apalagi moralistis, belaka. Bagi penulis sendiri, peran wacana adalah sebagai upaya untuk memahami dan memaknai karya, tapi juga untuk mendudukannya dalam konteks lebih luas, bisa konteks teknis-institusional dunia seni, konteks sosio-kultural , bisa pula konteks ontologis hidup manusia. Karena itu tak heran bila wacana sering terasa over-interpretatif, dengan segala terminologinya sendiri yang mungkin bahkan bagi si seniman sendiri terasa asing. Ini dapat dianggap wajar juga karena ketika suatu karya menjadi publik, ia menjadi terbuka, dan pendapat dari si seniman sendiri bukanlah tafsir yang terbaik tentangnya. Makna karya seni selalulah bersifat dialektis-dialogis, lebih luas daripada yang diduga senimannya.

Seni yang menyangkal dirinya sendiri
Masalahnya adalah bahwa seni tak hanya mengalami involusi. Akibat aras vertikalnya, seni juga mengalami evolusi, ke wilayah yang tak terduga. Pergumulan seniman dengan realitas aktualnya bisa saja menemukan bahwa pola-pola ungkap konvensional di wilayah dunia seni horisontal beserta kaidah-kaidahnya tak lagi memadai untuk mengungkapkan aspirasi estetik-eksistensialnya. Pada titik ini yang menjadi isu sentral bukan lagi genre, gaya, atau paradigma teknis tertentu, melainkan isu yang lebih mendasar : dalam situasi dan kondisi yang telah berubah , berkesenian itu mesti dimengerti sebagai apa. Ini bukan lagi soal kualitas kekaryaan, bukan pula menyoal seni sebagai kata benda, melainkan seni sebagai kata kerja. Pergulatan macam inilah agaknya yang setiap kali telah melahirkan paradigma-paradigma berkesenian baru, yang telah melahirkan pergeseran dari Realisme ke Impressionisme, ke Ekspressionisme, ke Abstraksionisme, dsb.dsb. Sebuah perjalanan evolusioner seni rupa dalam memahami dirinya sendiri, yang telah bergerak dari olah rupa, olah bentuk, olah media, olah konsep, olah peristiwa, olah tubuh, hingga kini menjadi olah-batin dan olah realitas sosio-kultural sehari-hari, seperti dilukiskan Andar Manik dan Marintan Sirait. Sebuah proses pengkajian-diri ulang yang terus menerus melepaskan dirinya dari penjara-penjara kategorial ciptaannya , proses marginalisasi diri dari teritori-teritori buatannya sendiri, yang akhirnya memang memaksa si seniman menciptakan strategi-strateginya sendiri pula, seperti yang dibahas kurator Heru Hikayat. Memang terasa paradoks, bahwa dari sudut itu seolah pencapaian tertinggi atau state of the art senirupa kini muncul justru dalam sosok the end of Art .
Pada titik ini menjadi penting usulan Jim Supangkat dan Gustaff Iskandar, yang menyarankan agar kini seni dilihat saja sebagai teks kebudayaan, gejala bahasa atau gejala artistik biasa diantara berbagai gejala kultural lainnya. Dan kebudayaan pun cukup dilihat sebagai medan negosiasi atau transaksi bebas segala bentuk aktivitas pemaknaan pengalaman. Barangkali kini berkesenian mesti diartikan secara luas sebagai segala aktivitas autopoiesis, segala kegiatan dalam merebut nilai dan merumuskan makna dari centang perenangnya peristiwa, segala upaya merumuskan dan mengkomunikasikan pengalaman unik manusia. Sedang dalam arti sempitnya, “Dunia Seni” dengan institusi, medan sosial dan percaturan wacananya, adalah wilayah dimana segala kegiatan diatas direfleksikan dan dipelajari secara sangat khusus, beserta segala konsekuensi teknis, material maupun filosofisnya . Itu saja.

Penulis adalah pengajar Filsafat di Unpar dan ITB

MEMBENAHI HIDUP LEWAT SENI

Oleh : Bambang Sugiharto


Abstrak

Despite its seemingly mere play of forms, art actually plays significant role in human life in that it shapes and elicits human insight out of the amorphous flux of experiences. As such art is the paradigm of experience. Art in the broadest sense of the word is any activity of forming and refining meaning by way of creating or playing symbols. Therefore art does not simply concern the beautiful, but also the true and the good. This is evident in the changing paradigms of art themselves, where beauty is less and less meaningful as the keyword, in favour of existential truth and value. Art is ultimately a matter of values and deeper insight. It is no exaggeration, thereby, that in order to bring to light the multilayered crises in Indonesia we can have recourse to the arts , contemporary arts in particular. In the final analysis, art is a specific and basic mode of epistemic perception.

Kata kunci : Paradigma pengalaman ; dunia bentuk; reaktif; imajinasi kreatif; permainan simbol; surplus estetik; otherness; the end of art.


“Membenahi hidup lewat seni”, ini tentu terasa berlebihan. Berlebihan, karena biasanya seni dimengerti hanya sebagai hiburan dan hiasan. Sebagai hiburan memang seni ada perlunya,sekurang-kurangnya ia membuat hati senang dan rileks atau membuat kita bisa melarikan diri sejenak dari segala persoalan konkrit. Sebagai hiasan kadang seni perlu juga untuk membuat diri lebih nyaman, tampil lebih indah, lebih meyakinkan, bahkan lebih bergengsi; atau ( seperti dalam hiasan ruang pesta) membantu menciptakan suasana. Sebagai hiburan dan hiasan, karenanya, seni erat lekat dengan soal kesenangan dan keindahan. Maka sulit membayangkan seni sebagai suatu hal pokok. Ia lebih tepat dilihat sebagai tempelan, kebutuhan ketujuh atau kesepuluh. Suatu kemewahan. Hanya berarti bila segala kebutuhan pokok sudah tercukupi.
Anggapan macam itu tidak sepenuhnya meleset, hanya saja tidak menyentuh substansi yang lebih mendasar dan lebih kaya dari fenomena yang disebut “seni” . Tidak sepenuhnya meleset juga karena lama sekali dalam wacana seni sendiri secara tradisional seni memang selalu dikaitkan dengan soal kesenangan dan keindahan. Sulitnya lagi, seni sendiri kini berada dalam dilema. Di satu pihak, sejak kemodernan melepaskan seni dari kegiatan religius, seni memang menjadi wilayah otonom, sangat penting dan hampir “sakral”, namun otonomi itu juga membuat dunia seni makin pelik, makin sulit diapresiasi, bersifat elitis dan asing bagi kaum awam. Di pihak lain kemodernan pun, yang membiarkan segala sisi kehidupan dikendalikan oleh pasar, sekaligus telah makin menjebloskan seni kedalam konteks pasar hiburan, hiasan, bisnis atau investasi belaka.
Untuk melihat makna yang lebih mendasar dan lebih kaya dari fenomena yang disebut “seni” itu, ada baiknya kita melihat dahulu kaitannya dengan pengalaman sehari-hari , lalu melihatnya dalam skala besar peradaban. Dari situ barangkali kita bisa mendapat pemahaman baru, semacam re-definisi, lalu melihat relevansinya dalam problematika kehidupan nyata.

Seni, pengalaman dan peradaban.
Akar pengalaman estetik bagaimana pun juga adalah pengalaman keseharian, seperti yang pernah dibahas oleh John Dewey,misalnya. Utamanya adalah pengalaman tentang sisi dramatik dinamika gerak dan perubahan bentuk kehidupan itu sendiri. Pengalaman kecemasan orang yang berkerumun saat melihat kecelakaan di jalanan. Pengalaman ketegangan penonton saat mengikuti lompatan-lompatan bola dalam permainan sepak bola. Pengalaman keharuan seorang wanita yang melihat bunga pertama menyeruak dari tanaman yang selalu disiraminya. Perasaan aneh ketika kita melihat api membesar saat kita menyiramkan minyak ke atas bara. Keharuan ganjil saat pertama melihat embrio anak kita pada foto USG. Keterkejutan menyejukan saat melihat orang yang angker dan pendiam tiba-tiba tertawa renyah. Berbagai kesan yang timbul dari dinamika perubahan bentuk yang menggoncang persepsi kita tentang hakekat dan denyut kehidupan, yang penuh warna itu, adalah pola-pola dasar persepsi estetik yang melatari ungkapan dan apresiasi seni rupa, tarian, drama,musik, film,dsb.
Kesan-kesan lewat “medan bentuk” macam itu merangsang imajinasi , pikiran dan perasaan untuk menggerayang meraba-raba makna hidup yang lebih dalam, menyentuh-nyentuh misteri kehidupan dan alam. “Keindahan” adalah istilah klasik untuk menyebut pengalaman keharuan maknawi macam itu. Keindahan adalah awal dan akhir pemikiran imajinatif paling brilian; keharuan tanpa alasan atas matahari, angin, bebauan, tanaman atau pun hujan. Keindahan adalah sesuatu yang muncul saat kepekaan inderawi, lewat medan bentuk dan imajinasi, tiba-tiba terbuka terhadap kaitan-kaitan halus terselubung antar segala; saat kegiatan persepsi itu sendiri terasa mengasyikkan dan keasyikan itu sendiri saja yang memotivasi persepsi; saat imajinasi terbang tinggi namun tidak kehilangan pijakan di bumi. Kesadaran baru yang muncul dari dinamika “medan bentuk” itu lantas diungkapkan dalam dunia bentuk juga, bentuk cerita, bentuk visual benda, bentuk bunyi dst. Sikap reaktif berubah menjadi kreatif; reseptif menjadi formatif. Semesta yang ditangkap manusia dirayakannya dengan mengukir atau menggambarkannya pada batu ,dinding gua atau kayu. Perang pun dirayakannya dengan keindahan misteri hidup dan mati : dihiasnya tubuh,tombak atau pun perisai dengan warna-warni.
Dunia manusia lantas adalah dunia “bentuk” yang diciptakannya, yang pada gilirannya mengubah pula persepsi-diri, sikap batin dan perilaku manusia itu sendiri. Jingkrak-jingkrak kebahagiaan yang tak terkoordinasi berubah menjadi tarian. Gerak komunikasi tubuh tanpa bentuk menjadi bahasa isyarat. Seruan rasa yang kacau menjadi tatanan melodi dan ritme musik. Insight-insight diberinya bentuk matematis atau geometris, dirangkainya menjadi sistem gagasan. Sistem nilai ditata ulang kembali setiap kali. Kekerasan, misalnya, lama kelamaan dianggap isyarat kelemahan, sedang pihak yang lemah perlahan kian menjadi “sakral” dan wajib dilindungi. Kekejaman pedang pun mesti berhenti di hadapan lawan yang tak berdaya. Memaafkan menjadi lebih mulia daripada membalas-dendam.
Itu semua berarti bahwa tendensi kreatif untuk “membentuk”, yang dijiwai idealisme “keindahan” memang akhirnya menghasilkan rasa “keberadaban”, suatu standar umum evolusi kualitas kemanusiaan. Tidaklah mengherankan bila filsuf macam Friedrich Schiller menyebut tingkat tertinggi peradaban sebagai Aesthetic State, suatu situasi hidup bersama yang dikelola oleh rasa “keindahan terdalam” ( Ultimate Beauty ). Disana Peradaban, katanya, adalah situasi dimana manusia sebagai Ruh makin mampu memandang lebih dalam aspek keRuhaniannya , dimana kekuasaan berubah menjadi kepedulian, nafsu menjadi afeksi cinta, hasrat menjadi solidaritas, sedang kerendahan hati dan belarasa menjadi sesuatu yang sangat mulia. Dalam konteks ini “Estetik” lantas menjadi sisi lain dari “Etik”, dan “Keindahan” adalah kata lain untuk “Kebaikan”. Bagi Hegel seni adalah ungkapan tertinggi kebenaran Ruh juga dalam periode tertentu sejarah manusia ( hanya saja nantinya kian menyempurnakan diri lewat agama ke pemahaman konseptual rasional murni ).
Maka seni akhirnya adalah soal makin tajamnya kesadaran makna dan nilai di balik “bentuk”, bentuk proposisi dogma, bentuk sistem gambar geometris, bentuk pola gerak,dsb. Imajinasi kreatif yang menggerakkannya adalah yang membentuk juga kebudayaan dan peradaban, yang akhirnya membentuk citra kemanusiaan yang diidealkan. Pada titik ini imajinasi estetik akhirnya adalah imajinasi kreatif yang menciptakan dunia dan diri manusia sendiri, yang melahirkan iptek, segala sistem kepercayaan dan sistem-sistem gagasan (sains,agama dan filsafat). Dalam arti luas seluruh peradaban adalah karya seni. Dalam arti sempit, seni adalah wilayah yang murni mengkonsentrasikan diri pada kegiatan olah bentuk inderawi (sensuous), berdasarkan rasa dan imajinasi, dalam rangka olah pengalaman, intensifikasi persepsi atas pengalaman. Meminjam gagasan Dewey, karya-karya seni besar adalah “paradigma-paradigma pengalaman”, artinya, lewat karya-karya itu kita bisa memasuki kemungkinan-kemungkinan pemaknaan lebih dalam atas pengalaman. Dalam peristilahan Schopenhauer, karya-karya itu bisa memberi “akses langsung” menuju hakekat terdalam kenyataan. Pada titik ini sesungguhnya “Keindahan” adalah kata lain untuk “Kebenaran”.

Perumusan ulang hakekat “seni”
Seni, sebagai bidang khusus, telah mengalami perjalanan panjang, dan pemahaman atasnya telah mengalami demikian banyak perubahan. Ketika ia masih merupakan bagian essensial dari kehidupan religiomitis , seni cenderung berfokus pada penggayaan bentuk dan dekorasi. Ia berfungsi lebih sebagai penunjang perayaan ritual. Orientasi utama bukanlah pernyataan diri personal melainkan semesta kosmis dan alam transendental. Ketika fajar rasionalitas muncul dalam peradaban, seni berubah fokus, tekanan lebih besar pada pernyataan personal, dan tendensi dasarnya mimetis natural. Tendensi ini memuncak pada abad-abad awal kemodernan, terutama ketika agama makin tersisih dan tidak lagi menduduki posisi sentral. Konsekuensi radikal dari itu adalah bahwa di alam modern akhirnya seni terlepas sama sekali dari bidang religius. Ia menjadi bidang otonom yang lantas terus-menerus memperkarakan pola ungkap dan hakekat dirinya sendiri. Dari mimesis dunia luar, ia bergeser menjadi representasi dunia dalam (Ekspressionisme), lantas memperkarakan medium dan materi (Abstrak), lalu mempersoalkan hakekat representasi itu sendiri (Cubisme,Surrealisme). Sejak Dada, ia justru berfokus pada gagasan dan sensasi . Sejak itu pula seni terasa makin radikal terus menerus menggugat dirinya sendiri, yang sangat terasa dalam gejolak Avantgardisme. Demikian seni telah bergeser tekanan, dari olah bentuk fisik, ke olah konsep, olah makna dan akhirnya menuju olah sensasi, atau sekedar parodi, ironi dan pastiche; entah dalam rupa happening, instalasi, performance, multimedia atau pun segala bentuk New Media Art. Konsep dasar “harmoni” pun berubah, dari idealisme harmoni sederhana, ke harmoni yang lebih kompleks, lalu harmoni essensial-minimalis, harmoni teroristik, harmoni disharmonis ( Paradoxical juxtaposition ). Dari ideal keabadian transendental berubah ke kekonkritan efemeral; dari orisinalitas murni ke semiotika hibrida; dari pola reproduktif ke pola produktif, dari representasi ke presentasi dalam real time; dari elitis esoteris melebur ke dunia banal sehari-hari dan populis. Kini seni bahkan cenderung tampil dalam bentuk-bentuk patologis, mengejutkan, menyinggung dan menteror, dimana kategori pokok “Keindahan” justru dirusakkan. Akhirnya muncullah paradoks : seni dikelola kini dengan semangat “anti-seni”. Praktis segala “isme” yang dahulu biasa digunakan untuk memahami karya seni kini terasa anakronistik dan sulit untuk digunakan. Tak heran bila Danto mencanangkan “The End of Art”. Tapi yang jelas “seni” ini memang membutuhkan rumusan baru. Kaitannya dengan hidup sehari-hari pun perlu ditinjau ulang. Juga keterkaitannya dengan segala aktivitas seni terapan populis (kria, seni pop, folklore,dsb.) dan ritual religius tradisional. Jelas pula bahwa seni telah bergerak dari wilayah luaran menuju wilayah makin ke dalam : ia akhirnya memperkarakan sensasi batin atas ketubuhan, ambiguitas ruh atau hakekat persepsi itu sendiri.
Bila itu semua adalah cerita di wilayah praxis, maka ada baiknya kini kita lihat seni di wilayah ontologis (filosofis). Kekhasan manusia, yang membedakannya dari binatang dan tingkat kehidupan lebih rendah lainnya sebenarnya bukan persis terletak pada rasionalitasnya. Dalam beberapa hal kini teknologi komputer , meskipun diciptakan oleh manusia, kecepatannya dalam memroses data dan kemampuannya bekerja secara simultan jauh melebihi kemampuan manusia. Yang unik dan sulit tergantikan dalam manusia adalah imajinasi dan kerumitan perasaannya. Daya pikir tanpa menggunakan imajinasi akan lumpuh. Tapi imajinasi bisa tetap terbang leluasa tanpa kemampuan daya pikir yang menonjol sekalipun. Imajinasi dan perasaan pula yang memungkinkan manusia tidak hidup berdasarkan fakta dan data, melainkan berdasarkan nilai dan makna ; tidak hanya memproses teks, melainkan menangkap konteks; tidak hanya menangkap yang tersurat harfiah, melainkan yang tersirat. Binatang tidak mampu melakukannya, tapi komputer canggih pun tidak. Imajinasi dan rasa membuat hidup dan perilaku manusia tak selalu terduga dan tak sepenuhnya bisa direkayasa.
Konsekuensi fundamental dari imajinasi dan rasa ini adalah bahwa hidup manusia lebih ditentukan oleh medan “bentuk”, yang biasa disebut dunia simbol, ketimbang oleh hal-hal real-substansial. Medan bentuk atau dunia simbollah yang membuat manusia menjangkau ketakterbatasan, mampu menciptakan dunia dan hidupnya sesuai dengan yang diimpikan, sambil keluar dari pembatasan-pembatasan alamiahnya.
Pada tingkat binatang dan tanaman pun sebetulnya isyarat menuju wilayah ketakterbatasan sudah ada. Ketika seekor singa kenyang dan rileks mengaum sekedar iseng menikmati kedasyatannya; ketika burung atau serangga sekedar bercericit atau berkicau tanpa memaksudkan sesuatu ; ketika pohon-pohon melahirkan begitu banyak kuncup yang tak semuanya berkembang, atau menyebar banyak akar untuk menangkap nutrisi yang tak semuanya digunakan, disana mereka semua mengalami juga hidup sebagai kebebasan, sebagai permainan, atau yang meminjam istilah Schiller, mengalami “surplus estetik”. Alam sendiri sudah memberi mereka semacam pembebasan dari batasan kebutuhan fisik untuk mulai menikmati “permainan”, yaitu kegiatan yang tidak hendak mencapai sesuatu, yang dilakukan hanya demi merayakan kegiatan itu sendiri semata. Namun kecenderungan ke arah “permainan estetik” itu lebih maksimal dan primer dalam dunia manusia. Imajinasi manusia dan kerumitan perasaannya menjadikannya mahluk yang otonom, selalu berusaha keluar dari pembatasan dan pendiktean alam. Itu dilakukannya dengan menciptakan dunianya sendiri, dunia kultural, dunia bentuk/simbol tadi. Dunia “permainan bentuk/simbol” inilah yang memungkinkannya kian mampu menjangkau ketakterbatasan.
Terutama pada wilayah senilah permainan itu mencapai kebebasannya yang optimal, kebebasan untuk selalu melihat kaitan maknawi baru antara segala sesuatu, juga kebebasan dari perspektif “guna”. Bagi Adorno misalnya, kegunaan seni terletak pada ketidakbergunaannya. Memang paradoks. Seni sejati adalah produk manusia-manusia yang bebas, dan sekaligus membebaskan, ke arah nilai-nilai yang lebih hakiki, ke arah pencaharian kebenaran sebagai misteri. Ia muncul dari orang yang tak lagi merasa terikat tatanan konvensional, bukan karena menyepelekannya, melainkan karena mampu melihat lebih jauh dan lebih dalam. Tidak mengherankan bila karenanya karya-karya besar sering mengejutkan,bahkan menteror, membuat kita marah atau salah tingkah. Ambivalensi nilai seorang seniman kadang mirip posisi seorang sufi/mistikus/filsuf : tidak dimengerti jamannya, dan mengundang banyak kontroversi. Tapi itu konsekuensi jiwa-jiwa yang merdeka. Seni yang bermutu akan menantang ulang pemikiran dengan cara segar dan kedalaman baru, mendesak kita untuk mengkaji ulang cara kita memandang, merasa dan menghayati sesuatu. Ia selalu menawarkan “otherness”, sisi lain yang tak terduga dari kenyataan. Seni mengingatkan bahwa kebenaran tak selalu pas dengan pemahaman logis-proposisional atau pun dogma. Ia merangsang kita untuk setiap kali kembali menggeledah kandungan misterius sisi-dalam kehidupan : perasaan, impian, ketakutan, pola-pola reaksi kita atas dunia luar atau pun konflik-konflik kita yang paling tersembunyi.



Relevansi untuk konteks krisis Indonesia
Salah satu akar mendasar berbagai krisis di Indonesia adalah : lemah dan dangkalnya individu. Ketidakmatangan individu ini yang menyebabkan dalam krisis identitas saat ini orang membabibuta mengutamakan bendera kelompok, nyinyir memperkarakan formalitas harfiah berlebihan, memburu kekuasaan dengan mengorbankan apa pun juga, dan akibatnya tidak mampu menangani persoalan-persoalan substansial mendasar. Itu semua disertai kecenderungan agressif-destruktif yang ganas, sebab semua itu muncul dari ketakutan dan rasa tak aman. Yang lebih mengerikan adalah bahwa untuk itu segala nilai dan simbol -nilai religius, politik, maupun tradisi- betul-betul dipermainkan ( seperti dijunjung tinggi padahal diinjak-injak).
Akibat dari itu kita mengalami banyak sekali kontradiksi, hingga kemunafikan jadi terasa begitu inheren dalam kebudayaan kita. Pluralisme yang kita banggakan sebagai kekayaan, dalam kenyataan kita alami selalu sebagai ancaman. Konsep kesatuan yang selalu kita canangkan sebetulnya sepanjang sejarah selalu kita alami sebagai penindasan, pemerasan dan pemasungan. Agama kita agungkan sebagai acuan tertinggi nilai, tapi dalam kenyataan ia malah melegitimasi kebobrokan nilai ( kita mengira mengalami kebangkitan agama, sementara yang terjadi adalah kebangkrutan agama). Tradisi kebudayaan selalu kita anggap warisan adiluhung, padahal ia sering lebih dirasakan sebagai beban yang tak kita mengerti mesti diapakan. Citra diri manusia Indonesia sebagai manusia estetis kreatif kita kibar-kibarkan, padahal kenyataan menunjukkan betapa kita telah menjadi mahluk-mahluk harfiah yang tak mampu membedakan mana simbol mana substansi, hingga menjadi sangat nyinyir bahkan ganas bila simbol-simbol kelompok sedikit saja terlukai.
Dalam konteks semacam itu seni sebagai pola kritis dalam memandang dan merasa menjadi penting bukan hanya karena menghaluskan perasaan, melainkan terutama karena mampu menggeledah konflik-konflik tersembunyi di balik segala topeng kita, memacu daya cipta untuk memberi bentuk baru atas segala bentuk yang tak lagi relevan, menginfus keberanian untuk berpikir dan bersikap mandiri sebagai individu, membuat kita lebih fasih merumuskan pengalaman-penalaman batin yang sulit dirumuskan,yang “sublim” (yang tak terpikirkan serentak tak terelakkan), menarik kita ke tataran lebih dalam, ke persoalan-persoalan hati dan Ruh yang lebih sejati, mendobrak kebekuan-kebekuan cara memandang dan menghayati sesuatu, dan berani melihat berbagai sisi baru yang tak terduga dari diri kita. Seni dengan begitu menjadi peluang-peluang pembebasan, peluang-peluang untuk meninjau ulang segala yang kita anggap berharga, dengan cara-cara unik, personal dan jujur, yang tak bisa ditemukan dalam sains, filsafat maupun agama. Bahkan kalau pun seni menggunakan sains, teknologi atau pun agama, ia akan tetap unik. Unik, karena seni menciptakan bahasanya sendiri yang spesifik, menerabas lintas kategori konseptual apa pun dalam rangka melihat keterkaitan maknawi baru antar apa pun, dan langsung mengalir dari sumber energi fundamental manusia : imajinasi dan rasa. Namun tentu yang kita bicarakan adalah seni sebagai kerangka epistemologis, sebagai pola berpikir, merasa dan membayangkan.

Dr. I.Bambang Sugiharto, lulusan Universita San Tomasso,Roma, Italia. Mengajar Filsafat di Universitas Parahyangan, FSRD ITB, dan Universitas Maranatha.


Kepustakaan

Adorno, T.W, Teoria Estetica, Torino : Piccola Bibliotteca Einaudi, 1977
Cothey A.L.,The Nature of Art, London : Routledge, 1990
Foster Hal, (ed), The Anti-Aesthetic,essays on Postmodern Culture,Washington : Bay Press, 1983
Gablik Suzi, Conversations Before the End of Time, London : Thames and Hudson Ltd, 1995
Goldblatt,et al, Aesthetics, a reader in Philosophy of the arts,New Jersey : Prentice Hall, 1997
Kristine et al (ed) Contemporary Art, A Source Book of Artists’ writings, Berkeley : University of California Press,1996
Marcuse,H, The Aesthetic Dimension, London : Macmillan, 1990
Pattison,G. Art, Modernity and Faith, London : SCM Press, 1991
Sim, Stuart, Beyond Aesthetics, Confrontations with Poststructuralism and Postmodernism, New York :Harvester Wheatsheaf, 1992
Wallis Brian, Art After Modernism, New York : The New Museum of Modern Art,1984

DEMATERIALISASI SENI DAN DAMPAKNYA

Oleh : Bambang Sugiharto[1]



Seni modern, sekurang-kurangnya dalam konteks modernitas Barat, telah ditandai dengan pergumulan panjang untuk senantiasa memerkarakan medium representasinya sendiri. Pergumulan dalam memersoalkan kanvas, bahkan untuk melepaskan diri darinya, misalnya, memuncak pada Marcel Duchamp. Sejak itu seniman tak lagi berada dalam tarikan gravitasi kanvas, menjadi lebih bebas mengungkapkan gagasan-gagasannya lewat segala media yang mungkin. Memang ironis, bahwa ketika hari-hari ini orang merayakan “berakhirnya subyek” (Foucault) atau “matinya sang pengarang” (Barthes), seni justru semakin menjadi semata-mata pernyataan pribadi.[2]
Pergeseran dari representasi “obyektif” menuju gagasan dan ungkapan pribadi serta cara dan sarana pengungkapannya yang juga sesukanya itu, telah mengakibatkan lahirnya demikian banyak bentuk karya seni, sampai tak jelas lagi distingsi antara mana karya seni mana yang bukan. Seni visual telah demikian melebar, hingga kategori “visual art” itu sendiri menjadi kian tak jelas. Dalam kategori “visual art” itu bisa tercakup material apa saja : dari materi tubuh dalam perfrormance art, berbagai bentuk gas yang tak tampak, energi telepatik, proyek-proyek alam skala besar di tempat terpencil atau pusat kota, intervensi terhadap institusi sosial-politik, hingga jaringan internet, berbagai produk komputer dan karya elektronik macam poskard, rekaman bunyi, video,dsb. Karakter, identitas, struktur khas seni dan apa artinya menjadi seorang seniman menjadi kabur pula. [3]

Paradoks inheren
Dalam gelagat “dematerialisasi” seni macam di atas itu, muncul paradoks: di satu pihak segala teori dan sejarah seni dicurigai dan didekonstruksi, di pihak lain kerangka-kerangka teoretis sekaligus justru menjadi sangat menentukan dalam rangka memberi pertanggungjawaban atas karya-karya yang bentuknya tak jelas atau bahkan “immaterial” itu. Di satu pihak segala konsep aliran berkategori “isme” dari abad lampau tak lagi relevan, di pihak lain seni menjadi amat-sangat konseptual. Gene Youngblood menggunakan istilah “eksperimental” untuk menyebut tendensi mutakhir seni itu. “All art is experimental, or it isn’t art”, katanya.[4] Ketika Walter Benjamin mensinyalir hilangnya “aura” dalam seni modern akibat teknik reproduksi, kini teknologi digital sudah melampaui tahapan “reproduksi” itu dan lebih ke arah “produksi”, alias penciptaan bentuk-bentuk yang sama sekali tak mengacu lagi pada realitas. Kalau Baudrillard berbicara banyak ihwal “simulasi”, barangkali Virilio lebih tepat, ia bicara tentang “substitusi”. Simulasi masih mengandaikan realitas acuan tertentu, substitusi lebih radikal, ia menggantikan segala acuan samasekali. Artinya dunia virtual yang diciptakan teknologi digital sudah demikian jauh hingga berbagai “isme” yang masih mengandaikan konsep dasar tentang “representasi” kenyataan terasa kurang relevan kini.[5]
Makalah ini akan melihat konsekuensi lebih jauh dari dunia seni yang serba tak menentu itu, dengan cara mengaitkannya pada situasi problematis sosio-kultural lebih luas, dan kemudian meninjau ulang peran seni dalam horizon sosio-kultural kontemporer.


Gema lebih jauh Duchamp dan Warhol
Istilah “berakhirnya seni” yang kerap digembar-gemborkan oleh para tokoh macam Adorno, Danto, Burgin, Kosuth, Foster, dsb. , kendati telah menjadi hiperbolisme yang nyaris kedaluwarsa, toh dari sudut essensi masih cukup bagus merumuskan pergeseran paradigma seni sekitar empat dasawarsa terakhir ini.[6] Perkataan “Berakhirnya seni” tentu tak pernah bermakna secara harfiah hilangnya seni sama sekali, melainkan semacam imbauan untuk memikirkan ulang hakekat dan makna seni bagi kehidupan umumnya, dalam berbagai perubahan paradigma sosio-kultural hari ini. Dalam kerangka itu Warhol adalah salah satu kunci pemahaman yang tetap penting. Di satu pihak, Warhol meradikalkan pertanyaan ala Duchamp ihwal “apa itu seni”, dan dengan itu menyeret seni ke arah kesadaran filosofis, sekaligus ke arah “dematerialisasi” seni. Atau dengan omongan bombastis Joseph Kosuth, lukisan dan patung telah “selesai” sebab telah ditenggelamkan oleh idea umum “Seni” (dengan capital “S”), yaitu Seni sebagai Filsafat. Di pihak lain, pada saat yang sama Warhol pun sekaligus justru melepaskan seni sama sekali dari segala pretensi filosofisnya. Dan sejak itu seni menjadi apa saja, bentuknya pluralistik, praktiknya pragmatik, dan medan seninya multikultural. [7]
Kubu lain pun seperti berramai-ramai mengamini gelagat baru itu. Poststrukturalisme, misalnya, juga tak lagi melihat ada yang layak disebut “seni”. Yang ada hanyalah “representasi”, dalam arti bahwa bahkan sejarah seni maupun teori seni pun kini merupakan sekedar bagian dari “teori representasi”. Yang ada hanyalah sejarah dan teori representasi, yang perlu ditelaah dari sudut produksi tekstual dan resepsi psikologis. Bila dalam kerangka Realisme, hilangnya kenyataan real (diganti yang virtual) berarti sekaligus hilangnya konsep “representasi “, maka dalam kerangka Poststrukturalisme, kenyataan real hilang karena pada dasarnya segala hal hanyalah siasat representasi . Dalam bahasa Marxis, seni tenggelam dalam dominasi praksis “imaji”, terperangkap jaringan raksasa komoditi dari ekonomi tontonan, dimana seni kehilangan jati-diri.[8]
Akibat dari itu semua adalah bahwa sesungguhnya tak ada lagi paradigma utama yang dominan bagi praktik seni maupun kritik seni. Lantas seni menjadi sangat berragam , sekaligus tanpa ukuran pijakan, dan diwarnai ketidakpedulian. Atau barangkali kini keterukuran memang tak penting, sebab seni bukan lagi obyek kontemplasi , melainkan sekedar siasat komunikasi dan presentasi diri, tindakan penentuan diri yang unik, atau sebuah proses yang senantiasa berjalan.
Satu hal jelas, bahwa sejak Duchamp dan Warhol, seni bukan lagi produk artisan, ia menjadi sekedar pandangan selektif pribadi atau cara unik memandang kenyataan. Pandangan unik seorang seniman cukuplah untuk mengubah suatu obyek menjadi karya seni. Dan dengan menggunakan komputer, kamera foto, video, multimedia,dsb. setiap orang bisa menjadi seniman. Standar ukuran kesuksesannya sama dengan yang biasa dipakai dalam menilai kesuksesan sebuah band pop misalnya. Ia tidak dinilai berdasarkan sebuah kanon historis tertentu, melainkan berdasarkan keluasan tingkat penyebarannya, yang ditunjukkan dengan posisinya dalam daftar klasifikasi macam daftar anak tangga lagu Billboard. Refleksi diganti dengan penilaian satistik-numerik, kata-kata diganti dengan jumlah angka, seperti : jumlah pengunjung, jumlah tulisan di koran, keseimbangan neraca , pengakuan kolega,dsb.dsb. Diterima atau tidaknya karya itu oleh institusi, museum atau galeri, tak lagi terlalu penting.
Seni kontemporer adalah kelanjutan dari Avantgardisme dan Pop-art dalam arti ia memiliki karakter “pop” juga, yaitu sangat menekankan kekinian ( hic et nunc) yang ahistoris dan kebaruan yang diskontinu. Pada titik inilah museum yang persis bersandar pada historisitas dan kesinambungan menjadi seperti kehilangan arti. Sejarah masa lalu tak lagi sangat menentukan. Sejarah menjadi kekinian abadi. Seni merayakan kenyataan yang efemeral, kontekstual dan bahkan banal.[9] Kehidupan sehari-hari menjadi tempat bermain para seniman sebab ia menyimpan potensi-potensi bagus untuk mensubversi dan mentransformasi nilai-nilai yang baku, beku dan mapan. Kehidupan sehari-hari juga bernilai karena ia adalah konteks nyata yang langsung memengaruhi hubungan-hubungan manusia beserta segala evaluasinya, sebuah konteks nyata untuk penciptaan kembali diri dan subyektivitas.
Sisi lain seni kontemporer adalah bahwa ia pun hidup dalam modus yang tak sinkron, spektral dan traumatik, seperti diamati dengan tajam oleh Hal Foster. Seni kontemporer banyak berkubang dalam trauma menyangkut hal-hal yang telah terkorbankan, terkebiri, terbungkam atau termarginalisasi akibat berbagai idealisme dan kemanusiaan yang sesungguhnya tak jelas.[10] Ia juga di satu pihak dihantui bayangan masa lalu yang penuh karya besar para maestro, sekaligus cemas atas berbagai bentuk bencana kehancuran di masa depan. Penanda dari berbagai jaman lantas dicampuradukan atau dibentur-benturkan dalam suatu struktur visual, semacam upaya keras mensinkronkan yang sesungguhnya tak sinkron. Masa lalu dilihat sebagai gudang misteri yang memberi kemungkinan bagi sensasi, sekaligus bagi fantasi pribadi dan harapan kolektif yang tersisa namun tersembunyi. Pada saat yang sama segala khasanah masa lalu dikomplikasikan dengan ciptaan baru, atau sekedar diberi pigura baru dan tak lazim untuk dengan sengaja menonjolkan ketidaksinkronan.
Ada pula kecenderungan transgresif, sebab kini seni pun gemar mengeksplorasi segala batas dan pembatasan, menggugatnya sebagai kesewenangan yang tak perlu, sambil meyakini bahwa pada dasarnya hidup tak mengenal batas. Semacam transgresi Foucaultian, sebuah sikap untuk melabrak segala batas yang dicekokan pada kita tanpa alasan. Ambang batas adalah wilayah tak bertuan, titik temu dan landasan untuk berkreasi, sekaligus untuk memperkarakan segala otoritas dan oposisi dualistik yang tak mesti (publik-privat; tinggi-rendah; murni-hibrid; ingroup- outgroup,dsb).
Dari sisi itu semua, seni kontemporer dapat dikatakan berkarakter “nomadik”, nomadik dalam arti Deleuzian : seni kontemporer adalah mikronaratif yang berkembang terus, yang produksi dan disseminasi ideanya bergerak melalui jaringan rizomatik. Ia merupakan proyek kolektif yang memupuk pluralitas idea dan menumbuhkan jaringan hubungan kreatif tanpa henti dan tak pernah terduga.[11]

Predikamenta Global
Kini mari kita tengok sekelebat situasi buruk dalam skala global, baik pada tataran teoretis maupun praksis. Di wilayah teoretis, kaum intelektual abad 21 dirundung ketidakpastian secara radikal. Segala kategori dasar yang dahulu memungkinkan realitas terpahami kini diperkarakan. Ideal humanisme liberal dan rasional, keyakinan akan kemajuan yang telah dikembangkan sejak abad Pencerahan, kepercayaan akan adanya nilai dasar intrinsik yang bersifat universal, juga pandangan tentang subyek, obyek, teks dan tindakan yang otonom, kini semuanya ditentang.[12] Kini orang memandang segala hal sebagai sementara, fana, tak memadai dan tanpa dimensi transcendental. Identitas dan subyektivitas manusia pun tak lagi dilihat sebagai suatu keseluruhan yang utuh, melainkan polimorf, terfragmentasi dan tanpa pusat. Dunia simbol-simbol kini maknanya plural, dasarnya digugat, vokabulari dan ikonografinya bercampuran, bergeseran. Kebudayaan dan pengetahuan dilihat sebagai konstruksi-konstruksi produk permainan kekuasaan.[13] Kepercayaan pada kebenaran absolut dan obyektif diganti dengan berbagai kemungkinan kebenaran baru, mencakup skala luas, dari relativisme radikal hingga konsep kebenaran yang bernegosiasi.
Dalam wilayah praksis, dunia dijangkiti hilangnya koherensi, dilanda erosi konsistensi, dan menderita longgarnya kohesi. Memudarnya prinsi-prinsip tradisional dalam dunia modern kini diperparah dengan hilangnya wacana yang bersifat normatif akibat berondongan gerakan kritis mikropolitik identitas dimana-mana. Lebih buruk lagi, penggunaan terror dalam berbagai gerakan itu telah mengakibatkan munculnya suasana saling mencurigai pada skala global, dan lalu merangsang berbagai upaya kontrol sistematik atas individu. Seperti halnya suasana tahun 60-an, kini muncul kembali slogan “the personal is political”. Tapi lebih dari itu , hal-hal personal kini juga sekaligus bersifat ekonomis, karena teknologi kapitalis, khususnya teknologi media, semakin menentukan juga dalam membentuk interioritas individu. Ia bahkan mengeksteriorisasi interioritas yang paling intim. Pabrik-pabrik mimpi dari kapitalisme telah membawa efek totalisasi, yakni menciptakan ilusi kebebasan dan kepuasan, yang sebetulnya menyembunyikan pemiskinan determinasi-diri individu.[14] Ini semua telah menjebloskan individu ke dalam banyak penjara struktur kekuasaan , penjara keragaman pendapat yang saling bertentangan,. Individu lantas tercabik-cabik dalam subyektivitas yang heterogen.

Reposisi Seni
Hidup dalam banyak struktur kekuasaan telah memicu munculnya banyak kerancuan yang berbahaya. Dunia masa kini ditandai dengan banyaknya kerancuan, misalnya : antara turisme dan migrasi klandestin, desa global dan disinformasi, ekonomi global dan ekonomi barter, pengunggulan perbedaan dan fanatisme identitas yang intoleran, realitas dan fiksi, dsb.dsb. Seni sebagai interaksi kritis antara pengalaman, imajinasi dan pikiran, berpotensi untuk membantu kita menyadari kerancuan-kerancuan yang seringkali tersembunyi itu secara efektif. Sensibilitasnya terhadap pengalaman-pengalaman traumatik dan atas segala bentuk retakan memungkinkan seniman menyelam ke balik permukaan, seringkali dengan cara memperkarakan permukaan atau mempermainkannya.[15]Ini tentu menuntut kesadaran sang seniman sendiri ihwal kompleksitas dan sisi-sisi ilusoris kenyataan. Sebenarnya kesadaran macam ini bukan hanya privilese para seniman, melainkan tuntutan bagi semua orang yang hendak ber-evolusi dan ber-emansipasi.
Dalam dunia yang diwarnai paradoks antara homogenitas dan heterogenitas, dimana di satu pihak kreativitas personal dicekik atau diserap oleh mesin komersial kapitalis, dan di pihak lain diri individu ditekan oleh visi tentang “liyan” yang heterodoks, kalau pun ada yang layak dirayakan, maka itu adalah survival individu dan penciptaan kembali identitas. Tapi dalam dunia macam ini identitas adalah proyek yang ambigu. Dalam bahasa Deleuzian, identitas adalah soal bagaimana mikropolitik bisa melahirkan “tranversalitas” dalam interaksi dengan yang makro. Identitas adalah sesuatu yang terbentuk lewat interrelasi dinamis dengan yang “lain”, suatu aliran dengan berbagai mutasi nilai-nilai, suatu sosok yang dibentuk oleh saling ketergantungan antar jaringan. Dalam kerangka Foucaultian, identitas hanyalah sebuah permainan, suatu siasat untuk mempromosikan hubungan sosial tertentu, yang selalu membawa korban pada pihak lain tertentu, yang membuat yang lain itu tak bisa didengar. [16]
Dalam aneka tegangan macam itu, kekuatan seni akan terletak pada kemampuannya mengidentifikasi dimana dan bagaimana subyek kontemporer mencari perlindungan atau melarikan diri dari kekerasan permainan, dan bagaimana konsep tentang “identitas” -sebagai kategori yang dipasti-pastikan- seringkali menyembunyikan ketakberdayaan dan kemarahan. Tapi secara lebih produktif seniman dapat mendukung dan menciptakan ruang-ruang alternatif baru yang memungkinkan permainan kekuasaan yang berbeda dan jaringan yang berbeda pula, yang dapat menyalurkan aspirasi baru dan karenanya membentuk rasa-kedirian yang selalu berkembang, kedirian yang “nomadik”. Dengan begitu, manakala “dunia seni” seperti menghilang, hubungan essensialnya dengan kehidupan luas justru makin terbilang.


Kepustakaan
Adorno, theodor, Negative Dialectics, trans E.B.Ashton (New York : Continuum, 1973)
Burgin, Victor, The End of Art Theory : Criticism and Postmodernity ( Atlantic Highlands, NJ : Humanities Press International,1986)
Berleant, Arnold, Rethinking Aesthetics (Burlington : Ashgate Publishing Company, 2004)
Danto, Arthur, Philosophical Disenfranchisement of Art ( New York : Columbia University Press, 1986)
Danto, Arthur, After the End of art ( Princeton : Princeton University press, 1997)
Debord, Guy, The Society of the Spectacle, trans. Donald Nicholson-Smith ( Cambridge : Zone Press, 1994)
Deleuze, Gilles, and Guattari Felix, A Thousand Plateaus ( London : Continuum, 202)
Deleuze, Gilles, Negotiations ( New York : Columbia University Press, 1995)
Foucault, Michel, “What is Enlightenment”, dalam Paul Rabinow (ed), Michel Foucault, Vol I, Ethics ( New York : The New Press, 1997)
Foster Hal, The Anti-Aesthetic : Essays on Postmodern Culture ( New York : New Press, 1983)
________, The Return of the Real ( Cambridge ,Mass : the MIT Press, 1999)
Gablik, Suzi, Before the end of Time ( New York : Thames and Hudson Ltd,1995)
Homans, Peter, Symbolic Loss (Charlottesville : University Press of Virginia,2000)
Sim, Stuart, Beyond Aesthetics ( New York : Harvester Wheatsheaf, 1992)
Stiles, Kristine et al (ed), Theories and Documents of Contemporary Art : a source Book of artist’s writings (Berkeley : University of California Press, 1996)
Wallis, Brian, Art After Modern ism: Rethinking Representation (New York : The New Museum of Contemporary Art, 1984)







[1] Bambang Sugiharto, Gurubesar Filsafat, spesialisasi Estetika kontemporer, masalah budaya dalam Postmodernisme dan ilsafat lmu. Kini mengajar di Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan dan Pascasarjana Senirupa ITB. Bandung. E-mail : ignatiussugiharto@yahoo.com

[2] Memang ada paradoks disini : Duchamp awalnya seperti hendak melebur jarak antara kehidupan real dan seni dengan mengangkat pengalaman langsung dan realitas wadag yang tersedia secara wantah. Tapi kemudian avantgardisme yang lahir daripadanya justru terperangkap dalam eksklusivisme subyektif yang justru melepaskan seni sama sekali dari kehidupan. Perdebatan menarik ihwal dampak dari Dadisme bisa dilihat dalam Hal Foster, The Return of the Real ( Cambridge, Mass : the MIT Press, 1999) hlm 1-34
[3] Bandingkan Michel Rush , New Media in Late 20th-Century Art ( London : Thames and Hudson, 1999) hlm 7-10.
[4] Bagaimana perkembangan mutakhir seni erat berkorelasi dengan perkembangan wacana teoretis lihat Kristine Stiles et al (ed), Theoiries and Documents of Contemporary Art (Berkeley : University of California Press 1996) hlm 156-180
[5] Bandingkan Jean Baudrillard, “The Ecstasy of Communication” dalam Hal Foster (ed), The Anti-Aesthetic (Port Townsend, Washington :Bay press, 1983) hlm 126-134; juga Virilio, dalam John Armitage “From Modernism to Hypermodernism and Beyond : an interview with Paul Virilio, dalam Theory, Culture and Society, Vol. 16, numbers 5-6 1999 hlm 25-56

[6] Lihat berbagai klaim “berakhirnya seni” pada Victor Burgin, The End of Art Theory: Criticism and Postmodernity (Atlantic Highlands,NJ: Humanities Press International,1986); Arthur Danto, Philosophical Disenfranchisement of Art (New York : Columbia University Press,1986); juga T.Adorno, Negative Dialectics (New York : Continuum, 1973)
[7] Situasi perluasan medium dan pola ekspressi seni ini telah mengakibatkan sejarah seni bukan lagi sejarah perkembangan objek melainkan menjadi dinamika evolusi persepsi. Seni menjadi sesuatu yang ada dalam persepsi, bentukan objeknya menjadi tak terlalu penting.. Menjadi “The Art of the Unseen”, kata Arnold Berleant. Bandingkan Arnold Berleant, Rethinking Aesthetics (Burlington : Ashgate Publishing Company, 2004) hlm 111-128
[8] Bandingkan Rosalind Krauss, “The Originality of the Avant-Garde : A Postmodernist Repetition”, dalam Brian Wallis, Art After Modernism : rethinking representation ( New York : The New Museum of Contemporary Art, 1984) hlm 13-30
[9] Bandingkan dengan Peter Bürger, Theory of the Avant-Garde (Minneapolis : University of Minnesota Press, 1984) hlm 65-72
[10] Bandingkan Hal Foster, The Return of the real, hlm 99-120
[11] Lihat uraian yang lebih lengkap ihwal nomadologi Deleuze ini dalam Deleuze and Guattari, A Thousand Plateaus (London : Continuum, 1988) hlm 492-99
[12] Bandingkan Hal Foster (ed), The Anti-Aesthetic, essays on postmodern culture ( Washington : Bay Press, 1983) hlm ix-xvi
[13] Segala sistem, baik itu sistem symbol, sistem logika, sistem kedirian atau kebudayaan, kini cenderung dilihat sebagai “Tubuh tanpa organ”. Ini istilah dari geolog Denmark Hjelmslev yang lantas dijadikan konsep kunci oleh Gilles Deleuze. Lihat Deleuze et al. A Thousand Plateaus, hlm. 43-50
[14] Kompleksitas persoalan yang menimpa konsep subyek individu dalam corporate capitalism saat ini dapat dilihat pada artikel Frederic Jameson “Postmodernism and Consumer Society” dalam Hal Foster (ed), The Anti-Aesthetic, hlm 111-120
[15] Bandingkan James Young ,”Against redemption : The Arts of Countermemory in Germany Today” dalam Peter Homans (ed) Symbolic Loss (Charlottesville : University Press of Virginia, 2000) hlm 126-46
[16] Bdk. Michel Foucault, dalam Paul Rabinow (ed), Michel Foucault : ethics (New York : The New Press,1997) hlm 87-108