Oleh : Bambang Sugiharto
Abstrak
Despite its seemingly mere play of forms, art actually plays significant role in human life in that it shapes and elicits human insight out of the amorphous flux of experiences. As such art is the paradigm of experience. Art in the broadest sense of the word is any activity of forming and refining meaning by way of creating or playing symbols. Therefore art does not simply concern the beautiful, but also the true and the good. This is evident in the changing paradigms of art themselves, where beauty is less and less meaningful as the keyword, in favour of existential truth and value. Art is ultimately a matter of values and deeper insight. It is no exaggeration, thereby, that in order to bring to light the multilayered crises in Indonesia we can have recourse to the arts , contemporary arts in particular. In the final analysis, art is a specific and basic mode of epistemic perception.
Kata kunci : Paradigma pengalaman ; dunia bentuk; reaktif; imajinasi kreatif; permainan simbol; surplus estetik; otherness; the end of art.
“Membenahi hidup lewat seni”, ini tentu terasa berlebihan. Berlebihan, karena biasanya seni dimengerti hanya sebagai hiburan dan hiasan. Sebagai hiburan memang seni ada perlunya,sekurang-kurangnya ia membuat hati senang dan rileks atau membuat kita bisa melarikan diri sejenak dari segala persoalan konkrit. Sebagai hiasan kadang seni perlu juga untuk membuat diri lebih nyaman, tampil lebih indah, lebih meyakinkan, bahkan lebih bergengsi; atau ( seperti dalam hiasan ruang pesta) membantu menciptakan suasana. Sebagai hiburan dan hiasan, karenanya, seni erat lekat dengan soal kesenangan dan keindahan. Maka sulit membayangkan seni sebagai suatu hal pokok. Ia lebih tepat dilihat sebagai tempelan, kebutuhan ketujuh atau kesepuluh. Suatu kemewahan. Hanya berarti bila segala kebutuhan pokok sudah tercukupi.
Anggapan macam itu tidak sepenuhnya meleset, hanya saja tidak menyentuh substansi yang lebih mendasar dan lebih kaya dari fenomena yang disebut “seni” . Tidak sepenuhnya meleset juga karena lama sekali dalam wacana seni sendiri secara tradisional seni memang selalu dikaitkan dengan soal kesenangan dan keindahan. Sulitnya lagi, seni sendiri kini berada dalam dilema. Di satu pihak, sejak kemodernan melepaskan seni dari kegiatan religius, seni memang menjadi wilayah otonom, sangat penting dan hampir “sakral”, namun otonomi itu juga membuat dunia seni makin pelik, makin sulit diapresiasi, bersifat elitis dan asing bagi kaum awam. Di pihak lain kemodernan pun, yang membiarkan segala sisi kehidupan dikendalikan oleh pasar, sekaligus telah makin menjebloskan seni kedalam konteks pasar hiburan, hiasan, bisnis atau investasi belaka.
Untuk melihat makna yang lebih mendasar dan lebih kaya dari fenomena yang disebut “seni” itu, ada baiknya kita melihat dahulu kaitannya dengan pengalaman sehari-hari , lalu melihatnya dalam skala besar peradaban. Dari situ barangkali kita bisa mendapat pemahaman baru, semacam re-definisi, lalu melihat relevansinya dalam problematika kehidupan nyata.
Seni, pengalaman dan peradaban.
Akar pengalaman estetik bagaimana pun juga adalah pengalaman keseharian, seperti yang pernah dibahas oleh John Dewey,misalnya. Utamanya adalah pengalaman tentang sisi dramatik dinamika gerak dan perubahan bentuk kehidupan itu sendiri. Pengalaman kecemasan orang yang berkerumun saat melihat kecelakaan di jalanan. Pengalaman ketegangan penonton saat mengikuti lompatan-lompatan bola dalam permainan sepak bola. Pengalaman keharuan seorang wanita yang melihat bunga pertama menyeruak dari tanaman yang selalu disiraminya. Perasaan aneh ketika kita melihat api membesar saat kita menyiramkan minyak ke atas bara. Keharuan ganjil saat pertama melihat embrio anak kita pada foto USG. Keterkejutan menyejukan saat melihat orang yang angker dan pendiam tiba-tiba tertawa renyah. Berbagai kesan yang timbul dari dinamika perubahan bentuk yang menggoncang persepsi kita tentang hakekat dan denyut kehidupan, yang penuh warna itu, adalah pola-pola dasar persepsi estetik yang melatari ungkapan dan apresiasi seni rupa, tarian, drama,musik, film,dsb.
Kesan-kesan lewat “medan bentuk” macam itu merangsang imajinasi , pikiran dan perasaan untuk menggerayang meraba-raba makna hidup yang lebih dalam, menyentuh-nyentuh misteri kehidupan dan alam. “Keindahan” adalah istilah klasik untuk menyebut pengalaman keharuan maknawi macam itu. Keindahan adalah awal dan akhir pemikiran imajinatif paling brilian; keharuan tanpa alasan atas matahari, angin, bebauan, tanaman atau pun hujan. Keindahan adalah sesuatu yang muncul saat kepekaan inderawi, lewat medan bentuk dan imajinasi, tiba-tiba terbuka terhadap kaitan-kaitan halus terselubung antar segala; saat kegiatan persepsi itu sendiri terasa mengasyikkan dan keasyikan itu sendiri saja yang memotivasi persepsi; saat imajinasi terbang tinggi namun tidak kehilangan pijakan di bumi. Kesadaran baru yang muncul dari dinamika “medan bentuk” itu lantas diungkapkan dalam dunia bentuk juga, bentuk cerita, bentuk visual benda, bentuk bunyi dst. Sikap reaktif berubah menjadi kreatif; reseptif menjadi formatif. Semesta yang ditangkap manusia dirayakannya dengan mengukir atau menggambarkannya pada batu ,dinding gua atau kayu. Perang pun dirayakannya dengan keindahan misteri hidup dan mati : dihiasnya tubuh,tombak atau pun perisai dengan warna-warni.
Dunia manusia lantas adalah dunia “bentuk” yang diciptakannya, yang pada gilirannya mengubah pula persepsi-diri, sikap batin dan perilaku manusia itu sendiri. Jingkrak-jingkrak kebahagiaan yang tak terkoordinasi berubah menjadi tarian. Gerak komunikasi tubuh tanpa bentuk menjadi bahasa isyarat. Seruan rasa yang kacau menjadi tatanan melodi dan ritme musik. Insight-insight diberinya bentuk matematis atau geometris, dirangkainya menjadi sistem gagasan. Sistem nilai ditata ulang kembali setiap kali. Kekerasan, misalnya, lama kelamaan dianggap isyarat kelemahan, sedang pihak yang lemah perlahan kian menjadi “sakral” dan wajib dilindungi. Kekejaman pedang pun mesti berhenti di hadapan lawan yang tak berdaya. Memaafkan menjadi lebih mulia daripada membalas-dendam.
Itu semua berarti bahwa tendensi kreatif untuk “membentuk”, yang dijiwai idealisme “keindahan” memang akhirnya menghasilkan rasa “keberadaban”, suatu standar umum evolusi kualitas kemanusiaan. Tidaklah mengherankan bila filsuf macam Friedrich Schiller menyebut tingkat tertinggi peradaban sebagai Aesthetic State, suatu situasi hidup bersama yang dikelola oleh rasa “keindahan terdalam” ( Ultimate Beauty ). Disana Peradaban, katanya, adalah situasi dimana manusia sebagai Ruh makin mampu memandang lebih dalam aspek keRuhaniannya , dimana kekuasaan berubah menjadi kepedulian, nafsu menjadi afeksi cinta, hasrat menjadi solidaritas, sedang kerendahan hati dan belarasa menjadi sesuatu yang sangat mulia. Dalam konteks ini “Estetik” lantas menjadi sisi lain dari “Etik”, dan “Keindahan” adalah kata lain untuk “Kebaikan”. Bagi Hegel seni adalah ungkapan tertinggi kebenaran Ruh juga dalam periode tertentu sejarah manusia ( hanya saja nantinya kian menyempurnakan diri lewat agama ke pemahaman konseptual rasional murni ).
Maka seni akhirnya adalah soal makin tajamnya kesadaran makna dan nilai di balik “bentuk”, bentuk proposisi dogma, bentuk sistem gambar geometris, bentuk pola gerak,dsb. Imajinasi kreatif yang menggerakkannya adalah yang membentuk juga kebudayaan dan peradaban, yang akhirnya membentuk citra kemanusiaan yang diidealkan. Pada titik ini imajinasi estetik akhirnya adalah imajinasi kreatif yang menciptakan dunia dan diri manusia sendiri, yang melahirkan iptek, segala sistem kepercayaan dan sistem-sistem gagasan (sains,agama dan filsafat). Dalam arti luas seluruh peradaban adalah karya seni. Dalam arti sempit, seni adalah wilayah yang murni mengkonsentrasikan diri pada kegiatan olah bentuk inderawi (sensuous), berdasarkan rasa dan imajinasi, dalam rangka olah pengalaman, intensifikasi persepsi atas pengalaman. Meminjam gagasan Dewey, karya-karya seni besar adalah “paradigma-paradigma pengalaman”, artinya, lewat karya-karya itu kita bisa memasuki kemungkinan-kemungkinan pemaknaan lebih dalam atas pengalaman. Dalam peristilahan Schopenhauer, karya-karya itu bisa memberi “akses langsung” menuju hakekat terdalam kenyataan. Pada titik ini sesungguhnya “Keindahan” adalah kata lain untuk “Kebenaran”.
Perumusan ulang hakekat “seni”
Seni, sebagai bidang khusus, telah mengalami perjalanan panjang, dan pemahaman atasnya telah mengalami demikian banyak perubahan. Ketika ia masih merupakan bagian essensial dari kehidupan religiomitis , seni cenderung berfokus pada penggayaan bentuk dan dekorasi. Ia berfungsi lebih sebagai penunjang perayaan ritual. Orientasi utama bukanlah pernyataan diri personal melainkan semesta kosmis dan alam transendental. Ketika fajar rasionalitas muncul dalam peradaban, seni berubah fokus, tekanan lebih besar pada pernyataan personal, dan tendensi dasarnya mimetis natural. Tendensi ini memuncak pada abad-abad awal kemodernan, terutama ketika agama makin tersisih dan tidak lagi menduduki posisi sentral. Konsekuensi radikal dari itu adalah bahwa di alam modern akhirnya seni terlepas sama sekali dari bidang religius. Ia menjadi bidang otonom yang lantas terus-menerus memperkarakan pola ungkap dan hakekat dirinya sendiri. Dari mimesis dunia luar, ia bergeser menjadi representasi dunia dalam (Ekspressionisme), lantas memperkarakan medium dan materi (Abstrak), lalu mempersoalkan hakekat representasi itu sendiri (Cubisme,Surrealisme). Sejak Dada, ia justru berfokus pada gagasan dan sensasi . Sejak itu pula seni terasa makin radikal terus menerus menggugat dirinya sendiri, yang sangat terasa dalam gejolak Avantgardisme. Demikian seni telah bergeser tekanan, dari olah bentuk fisik, ke olah konsep, olah makna dan akhirnya menuju olah sensasi, atau sekedar parodi, ironi dan pastiche; entah dalam rupa happening, instalasi, performance, multimedia atau pun segala bentuk New Media Art. Konsep dasar “harmoni” pun berubah, dari idealisme harmoni sederhana, ke harmoni yang lebih kompleks, lalu harmoni essensial-minimalis, harmoni teroristik, harmoni disharmonis ( Paradoxical juxtaposition ). Dari ideal keabadian transendental berubah ke kekonkritan efemeral; dari orisinalitas murni ke semiotika hibrida; dari pola reproduktif ke pola produktif, dari representasi ke presentasi dalam real time; dari elitis esoteris melebur ke dunia banal sehari-hari dan populis. Kini seni bahkan cenderung tampil dalam bentuk-bentuk patologis, mengejutkan, menyinggung dan menteror, dimana kategori pokok “Keindahan” justru dirusakkan. Akhirnya muncullah paradoks : seni dikelola kini dengan semangat “anti-seni”. Praktis segala “isme” yang dahulu biasa digunakan untuk memahami karya seni kini terasa anakronistik dan sulit untuk digunakan. Tak heran bila Danto mencanangkan “The End of Art”. Tapi yang jelas “seni” ini memang membutuhkan rumusan baru. Kaitannya dengan hidup sehari-hari pun perlu ditinjau ulang. Juga keterkaitannya dengan segala aktivitas seni terapan populis (kria, seni pop, folklore,dsb.) dan ritual religius tradisional. Jelas pula bahwa seni telah bergerak dari wilayah luaran menuju wilayah makin ke dalam : ia akhirnya memperkarakan sensasi batin atas ketubuhan, ambiguitas ruh atau hakekat persepsi itu sendiri.
Bila itu semua adalah cerita di wilayah praxis, maka ada baiknya kini kita lihat seni di wilayah ontologis (filosofis). Kekhasan manusia, yang membedakannya dari binatang dan tingkat kehidupan lebih rendah lainnya sebenarnya bukan persis terletak pada rasionalitasnya. Dalam beberapa hal kini teknologi komputer , meskipun diciptakan oleh manusia, kecepatannya dalam memroses data dan kemampuannya bekerja secara simultan jauh melebihi kemampuan manusia. Yang unik dan sulit tergantikan dalam manusia adalah imajinasi dan kerumitan perasaannya. Daya pikir tanpa menggunakan imajinasi akan lumpuh. Tapi imajinasi bisa tetap terbang leluasa tanpa kemampuan daya pikir yang menonjol sekalipun. Imajinasi dan perasaan pula yang memungkinkan manusia tidak hidup berdasarkan fakta dan data, melainkan berdasarkan nilai dan makna ; tidak hanya memproses teks, melainkan menangkap konteks; tidak hanya menangkap yang tersurat harfiah, melainkan yang tersirat. Binatang tidak mampu melakukannya, tapi komputer canggih pun tidak. Imajinasi dan rasa membuat hidup dan perilaku manusia tak selalu terduga dan tak sepenuhnya bisa direkayasa.
Konsekuensi fundamental dari imajinasi dan rasa ini adalah bahwa hidup manusia lebih ditentukan oleh medan “bentuk”, yang biasa disebut dunia simbol, ketimbang oleh hal-hal real-substansial. Medan bentuk atau dunia simbollah yang membuat manusia menjangkau ketakterbatasan, mampu menciptakan dunia dan hidupnya sesuai dengan yang diimpikan, sambil keluar dari pembatasan-pembatasan alamiahnya.
Pada tingkat binatang dan tanaman pun sebetulnya isyarat menuju wilayah ketakterbatasan sudah ada. Ketika seekor singa kenyang dan rileks mengaum sekedar iseng menikmati kedasyatannya; ketika burung atau serangga sekedar bercericit atau berkicau tanpa memaksudkan sesuatu ; ketika pohon-pohon melahirkan begitu banyak kuncup yang tak semuanya berkembang, atau menyebar banyak akar untuk menangkap nutrisi yang tak semuanya digunakan, disana mereka semua mengalami juga hidup sebagai kebebasan, sebagai permainan, atau yang meminjam istilah Schiller, mengalami “surplus estetik”. Alam sendiri sudah memberi mereka semacam pembebasan dari batasan kebutuhan fisik untuk mulai menikmati “permainan”, yaitu kegiatan yang tidak hendak mencapai sesuatu, yang dilakukan hanya demi merayakan kegiatan itu sendiri semata. Namun kecenderungan ke arah “permainan estetik” itu lebih maksimal dan primer dalam dunia manusia. Imajinasi manusia dan kerumitan perasaannya menjadikannya mahluk yang otonom, selalu berusaha keluar dari pembatasan dan pendiktean alam. Itu dilakukannya dengan menciptakan dunianya sendiri, dunia kultural, dunia bentuk/simbol tadi. Dunia “permainan bentuk/simbol” inilah yang memungkinkannya kian mampu menjangkau ketakterbatasan.
Terutama pada wilayah senilah permainan itu mencapai kebebasannya yang optimal, kebebasan untuk selalu melihat kaitan maknawi baru antara segala sesuatu, juga kebebasan dari perspektif “guna”. Bagi Adorno misalnya, kegunaan seni terletak pada ketidakbergunaannya. Memang paradoks. Seni sejati adalah produk manusia-manusia yang bebas, dan sekaligus membebaskan, ke arah nilai-nilai yang lebih hakiki, ke arah pencaharian kebenaran sebagai misteri. Ia muncul dari orang yang tak lagi merasa terikat tatanan konvensional, bukan karena menyepelekannya, melainkan karena mampu melihat lebih jauh dan lebih dalam. Tidak mengherankan bila karenanya karya-karya besar sering mengejutkan,bahkan menteror, membuat kita marah atau salah tingkah. Ambivalensi nilai seorang seniman kadang mirip posisi seorang sufi/mistikus/filsuf : tidak dimengerti jamannya, dan mengundang banyak kontroversi. Tapi itu konsekuensi jiwa-jiwa yang merdeka. Seni yang bermutu akan menantang ulang pemikiran dengan cara segar dan kedalaman baru, mendesak kita untuk mengkaji ulang cara kita memandang, merasa dan menghayati sesuatu. Ia selalu menawarkan “otherness”, sisi lain yang tak terduga dari kenyataan. Seni mengingatkan bahwa kebenaran tak selalu pas dengan pemahaman logis-proposisional atau pun dogma. Ia merangsang kita untuk setiap kali kembali menggeledah kandungan misterius sisi-dalam kehidupan : perasaan, impian, ketakutan, pola-pola reaksi kita atas dunia luar atau pun konflik-konflik kita yang paling tersembunyi.
Relevansi untuk konteks krisis Indonesia
Salah satu akar mendasar berbagai krisis di Indonesia adalah : lemah dan dangkalnya individu. Ketidakmatangan individu ini yang menyebabkan dalam krisis identitas saat ini orang membabibuta mengutamakan bendera kelompok, nyinyir memperkarakan formalitas harfiah berlebihan, memburu kekuasaan dengan mengorbankan apa pun juga, dan akibatnya tidak mampu menangani persoalan-persoalan substansial mendasar. Itu semua disertai kecenderungan agressif-destruktif yang ganas, sebab semua itu muncul dari ketakutan dan rasa tak aman. Yang lebih mengerikan adalah bahwa untuk itu segala nilai dan simbol -nilai religius, politik, maupun tradisi- betul-betul dipermainkan ( seperti dijunjung tinggi padahal diinjak-injak).
Akibat dari itu kita mengalami banyak sekali kontradiksi, hingga kemunafikan jadi terasa begitu inheren dalam kebudayaan kita. Pluralisme yang kita banggakan sebagai kekayaan, dalam kenyataan kita alami selalu sebagai ancaman. Konsep kesatuan yang selalu kita canangkan sebetulnya sepanjang sejarah selalu kita alami sebagai penindasan, pemerasan dan pemasungan. Agama kita agungkan sebagai acuan tertinggi nilai, tapi dalam kenyataan ia malah melegitimasi kebobrokan nilai ( kita mengira mengalami kebangkitan agama, sementara yang terjadi adalah kebangkrutan agama). Tradisi kebudayaan selalu kita anggap warisan adiluhung, padahal ia sering lebih dirasakan sebagai beban yang tak kita mengerti mesti diapakan. Citra diri manusia Indonesia sebagai manusia estetis kreatif kita kibar-kibarkan, padahal kenyataan menunjukkan betapa kita telah menjadi mahluk-mahluk harfiah yang tak mampu membedakan mana simbol mana substansi, hingga menjadi sangat nyinyir bahkan ganas bila simbol-simbol kelompok sedikit saja terlukai.
Dalam konteks semacam itu seni sebagai pola kritis dalam memandang dan merasa menjadi penting bukan hanya karena menghaluskan perasaan, melainkan terutama karena mampu menggeledah konflik-konflik tersembunyi di balik segala topeng kita, memacu daya cipta untuk memberi bentuk baru atas segala bentuk yang tak lagi relevan, menginfus keberanian untuk berpikir dan bersikap mandiri sebagai individu, membuat kita lebih fasih merumuskan pengalaman-penalaman batin yang sulit dirumuskan,yang “sublim” (yang tak terpikirkan serentak tak terelakkan), menarik kita ke tataran lebih dalam, ke persoalan-persoalan hati dan Ruh yang lebih sejati, mendobrak kebekuan-kebekuan cara memandang dan menghayati sesuatu, dan berani melihat berbagai sisi baru yang tak terduga dari diri kita. Seni dengan begitu menjadi peluang-peluang pembebasan, peluang-peluang untuk meninjau ulang segala yang kita anggap berharga, dengan cara-cara unik, personal dan jujur, yang tak bisa ditemukan dalam sains, filsafat maupun agama. Bahkan kalau pun seni menggunakan sains, teknologi atau pun agama, ia akan tetap unik. Unik, karena seni menciptakan bahasanya sendiri yang spesifik, menerabas lintas kategori konseptual apa pun dalam rangka melihat keterkaitan maknawi baru antar apa pun, dan langsung mengalir dari sumber energi fundamental manusia : imajinasi dan rasa. Namun tentu yang kita bicarakan adalah seni sebagai kerangka epistemologis, sebagai pola berpikir, merasa dan membayangkan.
Dr. I.Bambang Sugiharto, lulusan Universita San Tomasso,Roma, Italia. Mengajar Filsafat di Universitas Parahyangan, FSRD ITB, dan Universitas Maranatha.
Kepustakaan
Adorno, T.W, Teoria Estetica, Torino : Piccola Bibliotteca Einaudi, 1977
Cothey A.L.,The Nature of Art, London : Routledge, 1990
Foster Hal, (ed), The Anti-Aesthetic,essays on Postmodern Culture,Washington : Bay Press, 1983
Gablik Suzi, Conversations Before the End of Time, London : Thames and Hudson Ltd, 1995
Goldblatt,et al, Aesthetics, a reader in Philosophy of the arts,New Jersey : Prentice Hall, 1997
Kristine et al (ed) Contemporary Art, A Source Book of Artists’ writings, Berkeley : University of California Press,1996
Marcuse,H, The Aesthetic Dimension, London : Macmillan, 1990
Pattison,G. Art, Modernity and Faith, London : SCM Press, 1991
Sim, Stuart, Beyond Aesthetics, Confrontations with Poststructuralism and Postmodernism, New York :Harvester Wheatsheaf, 1992
Wallis Brian, Art After Modernism, New York : The New Museum of Modern Art,1984
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Terima Kasih banyak Prof. Saya banyak terbantu oleh teks-teks Prof yang ter-list di blog ini. Selain juga teks-teks Prof yang telah dibukukan. :)
Posting Komentar