Oleh : Bambang Sugiharto
Pertanyaan tentang “apa itu seni” sudah berumur 2500-an tahun. Namun sepertinya setiap jawaban selalu saja dibatalkan kembali, justru oleh karya-karya seni sendiri, yang senantiasa mengandung ketakterdugaan inheren dalam dirinya. Kesenian agaknya se-misterius kehidupan manusia sendiri, selalu mengelak saat hendak dirumuskan dengan pasti. Tak heran bahwa hasil paling menonjol dari seminar tiga hari bertema “APA ITU SENI, SAAT INI” di Universitas Parahyangan, Bandung, 3-5 Juni 2004 hanyalah kian tampilnya kompleksitas sekitar gejala yang bernama “seni” itu.
Perubahan mendasar
Pertanyaan “Apa itu seni,hari ini” dalam seminar itu dimunculkan sebagai sebuah respons atas tampilnya gelagat-gelagat baru, khususnya di wilayah seni rupa mutakhir, yang telah mengakibatkan tidak lagi memadainya berbagai kategori konvensional yang biasa kita gunakan untuk memahami karya. Diantara berbagai perubahan mendasar yang telah terjadi dapat dilihat misalnya pergeseran lokus kiprah seni rupa. Berawal dari galeri-galeri pribadi, seni rupa telah berpindah ke museum, lantas ngerumpi di medan-medan institusi, kemudian masuk ke jaringan diskursif media, dan akhirnya kini melebur ke wilayah sosio-kultural sehari-hari. Fokus nilai pun berubah, berawal dari urusan keindahan, bergeser ke persoalan teknis, lantas ke urusan makna, berubah lagi ke effek-effek sensasi, dan akhirnya kini menuju proses-proses signifikasi bersama, dimana seniman , karya dan apresiator berkarya dalam situasi sehari-hari demi kepentingan bersama. Sosok sang seniman atau pun karya bukan lagi hal utama. Yang belakangan ini, seperti diamati seniman video Krisna Murti, tampak nyata misalnya pada proyek instalasi internet dari seniman Maki Ueda di pesantren Daarut Tauhid (Aa Gym), yang telah memungkinkan warga kampung di Bandung Utara itu berkomunikasi suka-suka setiap saat dengan orang-orang di Rotterdam. Atau juga proyek TV-Komunitas dari Jompet, seniman Yogya, yang menggalang kerjasama warga sekampungnya untuk membuat program TV dari dan untuk kepentingan mereka sendiri . Itu untuk menyebut beberapa contoh saja.
Modalitas atau cara kerja gejala seni rupa pun berubah, dari keterikatannya pada medium ( medium-specific), lantas terikat pada situs (site-specific), berubah lagi menjadi terikat pada wacana (discourse-specific) dan kini agaknya terikat pada masalah-masalah sosio-kultural konkrit (problem-specific).
Segala perubahan itu agaknya mesti dilihat bukan semata-mata sebagai perubahan di dunia seni , yang spesifik dan terbatas, melainkan sebagai manifestasi dari perubahan-perubahan mendasar dalam hubungan antara manusia (sang seniman) dengan realitas umumnya dalam dunia sosio-kultural-teknologis saat ini. Soal dinamika pengalaman, soal refleksi-diri tentang siapa aku, dalam hubungan-hubungan baru dengan lingkungannya yang senantiasa berubah itu. Kurator Aminudin TH.Siregar dan Agung Hijatnikajennong dengan tajam mengamati lapisan dasar Aesthetics of Existence ini.
Horisontal dan Vertikal
Pada awalnya bukanlah Logos, bukan Kata, bukan wacana. Pada tingkat paling primer yang terjadi sebenarnya adalah hubungan antara sang seniman dengan realitas eksistensialnya yang konkrit. Sebut saja ini aras “vertikal”, aras dinamika pergumulan seniman dengan segala upayanya untuk memberi “bentuk” pada pengalaman yang sebenarnya selalu ambigu dan amorf. Karya seni adalah konfigurasi bentuk yang berfungsi ibarat lensa untuk memandang realitas, cara pengalaman-pengalaman dirumuskan dan dimaknai oleh si seniman, dan lantas dilempar ke medan publik, demi dialog batin bersama .
Namun karya itu disebut “seni” atau bukan memang ditentukan secara spesifik oleh “dunia seni” dengan berbagai unsurnya yang kompleks seperti : paradigma seni, medan sosial seni dengan berbagai institusinya, sejarah seni, filsafat seni, tapi juga teknologi, sponsor, kosmologi kultural dan biografi pribadi seniman, misalnya. Sebut saja dunia seni yang khusus ini aras “horizontal” , dengan segala jalur percabangan style, genre dan kriteria validitasnya yang plural dan kaleidoskopis. Pada jalur-jalur horisontal ini standar-standar validitas kekaryaan diperlukan demi peningkatan intensitas dan mutu. Semacam proses involusi dalam artian positif : proses perumitan dan penghalusan. Namun keberlakuan standar itu dengan sendirinya terbatas pada lingkup genre masing-masing maupun pada konteks partikularnya. Kerumitan problematika dunia seni beserta medan sosial, institusi dan teoretisasinyanya itu sempat disoroti dengan piawai oleh para kurator dan kritikus macam Asmudjo Irianto, Nurdian Ichsan dan Herry Dim.
Dunia seni di aras horisontal ini dalam kenyataannya juga muncul paling kuat dalam sosok wacana publik. Seniman Tisna Sanjaya dan kurator Rizky A.Zaelani mengangkat dengan jeli masalah itu. Antara wacana dan aktivitas berkarya sering terasa ada kesenjangan serius. Dalam proses berkaryanya seniman bisa tak peduli pada segala wacana, dan sebaliknya wacana estetika bisa sedemikian canggih dan abstrak tanpa terkait pada dunia karya. Rizky melihat bahwa orang memang bisa berangkat dari wacana estetika lantas mengamati fenomena karya. Bisa juga sebaliknya dari fenomena karya ke wacana estetika. Yang jelas wacana tak akan cukup berarti dan bermanfaat bila hanya berupa penilaian teknis, apalagi moralistis, belaka. Bagi penulis sendiri, peran wacana adalah sebagai upaya untuk memahami dan memaknai karya, tapi juga untuk mendudukannya dalam konteks lebih luas, bisa konteks teknis-institusional dunia seni, konteks sosio-kultural , bisa pula konteks ontologis hidup manusia. Karena itu tak heran bila wacana sering terasa over-interpretatif, dengan segala terminologinya sendiri yang mungkin bahkan bagi si seniman sendiri terasa asing. Ini dapat dianggap wajar juga karena ketika suatu karya menjadi publik, ia menjadi terbuka, dan pendapat dari si seniman sendiri bukanlah tafsir yang terbaik tentangnya. Makna karya seni selalulah bersifat dialektis-dialogis, lebih luas daripada yang diduga senimannya.
Seni yang menyangkal dirinya sendiri
Masalahnya adalah bahwa seni tak hanya mengalami involusi. Akibat aras vertikalnya, seni juga mengalami evolusi, ke wilayah yang tak terduga. Pergumulan seniman dengan realitas aktualnya bisa saja menemukan bahwa pola-pola ungkap konvensional di wilayah dunia seni horisontal beserta kaidah-kaidahnya tak lagi memadai untuk mengungkapkan aspirasi estetik-eksistensialnya. Pada titik ini yang menjadi isu sentral bukan lagi genre, gaya, atau paradigma teknis tertentu, melainkan isu yang lebih mendasar : dalam situasi dan kondisi yang telah berubah , berkesenian itu mesti dimengerti sebagai apa. Ini bukan lagi soal kualitas kekaryaan, bukan pula menyoal seni sebagai kata benda, melainkan seni sebagai kata kerja. Pergulatan macam inilah agaknya yang setiap kali telah melahirkan paradigma-paradigma berkesenian baru, yang telah melahirkan pergeseran dari Realisme ke Impressionisme, ke Ekspressionisme, ke Abstraksionisme, dsb.dsb. Sebuah perjalanan evolusioner seni rupa dalam memahami dirinya sendiri, yang telah bergerak dari olah rupa, olah bentuk, olah media, olah konsep, olah peristiwa, olah tubuh, hingga kini menjadi olah-batin dan olah realitas sosio-kultural sehari-hari, seperti dilukiskan Andar Manik dan Marintan Sirait. Sebuah proses pengkajian-diri ulang yang terus menerus melepaskan dirinya dari penjara-penjara kategorial ciptaannya , proses marginalisasi diri dari teritori-teritori buatannya sendiri, yang akhirnya memang memaksa si seniman menciptakan strategi-strateginya sendiri pula, seperti yang dibahas kurator Heru Hikayat. Memang terasa paradoks, bahwa dari sudut itu seolah pencapaian tertinggi atau state of the art senirupa kini muncul justru dalam sosok the end of Art .
Pada titik ini menjadi penting usulan Jim Supangkat dan Gustaff Iskandar, yang menyarankan agar kini seni dilihat saja sebagai teks kebudayaan, gejala bahasa atau gejala artistik biasa diantara berbagai gejala kultural lainnya. Dan kebudayaan pun cukup dilihat sebagai medan negosiasi atau transaksi bebas segala bentuk aktivitas pemaknaan pengalaman. Barangkali kini berkesenian mesti diartikan secara luas sebagai segala aktivitas autopoiesis, segala kegiatan dalam merebut nilai dan merumuskan makna dari centang perenangnya peristiwa, segala upaya merumuskan dan mengkomunikasikan pengalaman unik manusia. Sedang dalam arti sempitnya, “Dunia Seni” dengan institusi, medan sosial dan percaturan wacananya, adalah wilayah dimana segala kegiatan diatas direfleksikan dan dipelajari secara sangat khusus, beserta segala konsekuensi teknis, material maupun filosofisnya . Itu saja.
Penulis adalah pengajar Filsafat di Unpar dan ITB
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar