Senin, 09 Juni 2008

GELAGAT POST-ESTETIK DALAM SENI KONTEMPORER

Oleh : Bambang Sugiharto

Modern art, while enjoying its autonomy, has turned into elitism, excessive technical preoccupation and monolythic tendency. In this way the arts have eventually become foreign to real socio-cultural problems. This,in turn, has sparked off a counter reaction paving the way to a new paradigm, the so called “post-aesthetic” paradigm. This article seeks to reflect upon the significance of the paradigm and show how the arts are accordingly redefined.

Salah satu hal yang sangat menarik dalam era kesejagatan saat ini adalah meriapnya kesadaran baru dimana-mana tentang aspek politis di balik formasi segala kategori dasar yang selama ini digunakan untuk memahami diri, kebudayaan , dan kemanusiaan. Hampir segala kategori pokok yang kita gunakan untuk memandang dan mengalami, berpikir dan merasa, seperti konsep-konsep tentang "diri","Subyek","Obyek", "Kebenaran","Barat","Timur",dsb.dsb. kini diragukan makna dan relevansinya. Berbagai tradisi pemikiran yang telah demikian lama menghidupi dunia manusia kini digugat otoritas dan kredibilitasnya. Semua gejala ini tampak terutama dalam menjamurnya berbagai istilah yang umumnya berawalan "post", seperti : post-industri,post-literasi, post-western, post-ideologi,dst.dst., yang kemudian berkulminasi dalam istilah "postmodern" (seolah merangkum segala "post" lainnya). Namun itu tampak pula dalam berbagai istilah yang berawalan "de", seperti : dekonstruksi, dedifferensiasi,desentralisasi, demistifikasi,dsb.dsb. Sepertinya ini adalah sebuah jaman dimana perilaku, konsep dan pola-pola hubungan perlu dipikirkan dan dirumuskan kembali secara baru.
Dalam konteks kiprah berkesenian goncangan-goncangan kategori macam itu terutama melanda konsep dasar macam "kebudayaan","seni","identitas","otentisitas", dsb. Artinya konsep-konsep tersebut kini diragukan makna dan validitasnya. Ada semacam skeptisisme bersama dimana-mana yang cenderung mencurigai segala bentuk klasifikasi, standardisasi dan kategorisasi umum. Dalam kerangka macam inilah dapat dikatakan bahwa terjadi suatu transformasi yang mendasar dalam hal struktur visual seni, identitas karya seni, dan persepsi tentang apa artinya menjadi seniman saat ini. Dengan istilah dari Thomas Kuhn , agaknya dalam dunia seni sedang terjadi "pergeseran paradigma" : pergeseran itu tidak hanya pada tingkat teknis atau pun "gaya" (style) melainkan menghunjam ke tingkat dasar epistemologis kesenian itu sendiri.


Senjakala Modernisme

Untuk mengkaji ulang apa itu "modernisme" mungkin baik juga kita menengok ke belakang dahulu. Seorang kritikus seni terkemuka tahun 1940-an , Clement Greenberg, mempopulerkan istilah "modernisme" itu dalam bidang wacana kesenian. Dalam essaynya "Avant-Garde and Kitsch" (1939) dan " Towards a Newer Laocoon" (1940), Greenberg menyatakan bahwa karya seni yang maju adalah yang bergerak dari kompleksitas tinggi ke arah yang lebih sederhana.1 Karya seni macam ini biasanya berfungsi serentak sebagai perlawanan terhadap kecenderungan totaliterisme standarisasi penilaian dan degradasi nilai oleh "kitsch" kultur pop. Sementara dalam essaynya yang lain yaitu "Modernist Painting" (1961) Greenberg menulis lagi :
"Essensi Modernisme terletak pada ......digunakannya suatu metode dari
disiplin tertentu justru untuk mengkritik disiplin itu sendiri. .....Apa yang harus ditampilkan adalah hal yang unik dan tak terreduksikan dari karya seni itu. Setiap seni itu harus menampilkan kekhasan effek-effeknya..."2

Pendeknya Greenberg menghendaki agar setiap medium artistik itu merujuk dirinya sendiri dan dari sana bergerak dengan proses abstraksi menuju hal yang essensialnya. Misalnya, kekhasan lukisan yang mesti di eksplorasi seorang pelukis adalah bidang datar dan pembatasan bidang datar itu. Maka katakanlah Greenberg ini menganggap khas kemodernan terletak pada keterpilahan bidang-bidang kesenian itu secara tegas. Tentu saja pandangan macam ini langsung terasa sangat miskin, dan karenanya menjadi bahan perdebatan yang ramai juga.
Satu hal yang jelas adalah kenyataan bahwa sejak tahun 1900-an hingga 1970-an kesenian, terutama seni rupa, mengalami perubahan konseptual sangat cepat yang tak pernah ada padanannya sebelumnya dalam sejarah. Secara garis besar perubahan itu dapat dikategorikan sebagai berikut ini : Pertama, seni sebagai representasi realitas, yang isi konsepnya berubah-ubah diwakili oleh Impressionisme, Cubisme, Dadaisme dan akhirnya Surrealisme. Masing-masing dari aliran yang disebut ini sesungguhnya pun sangat berbeda satu sama lain pandangannya mengenai apa itu "representasi" namun pada dasarnya mereka masih dapat dimasukkan dalam kategori besar "representasi" ini. Kedua, seni sebagai presentasi dari realitas yang tak terpresentasikan . Dapat dimasukkan dalam kategori-payung (umbrella category) ini adalah Abstrak Ekspressionisme, Konstruktivisme, De Stijl dan Minimalisme. Dan akhirnya , ketiga, adalah seni yang berpusat justru pada "non-representasi" dimana proses estetik cenderung tak dianggap perlu. Konsep ini agaknya diwakili terutama oleh Konseptualisme.
Semua itulah yang kerap disebut sebagai seni "modern". Maka menjadi jelas disana bahwa kemodernan lebih ditandai oleh kecenderungan "diskontinuitas" dalam rangka mencari "originalitas". Kecenderungan yang biasa disebut juga sebagai kecenderungan "Avant-garde" ini adalah kecenderungan untuk senantiasa ber-eksperimentasi mencari kebaruan tak habis-habisnya, eksplorasi kemungkinan baru terus-menerus. Yang menarik adalah bahwa kecenderungan macam ini membawa konsekuensi logis disangkalnya terus-menerus konsep-konsep sebelumnya, hingga akhir yang sudah terraba adalah disangkalnya kata "kesenian" itu sendiri : "The end of art", seperti kata Arthur Danto.3 Tidaklah mengherankan bila orang menganggap bahwa modernisme sudah selalu mengandung konsep "post" ( sesudah), sehingga kelak ketika muncul istilah "post-modern" pengertiannya menjadi kacau balau.
Sebagai paradigma sebetulnya kekhasan modernisme terletak pada konsep humanismenya yang liberal dan rasional, serta pada keyakinannya yang agak naif terhadap idealisme "kemajuan" ala Pencerahan ( Enlightenment). Di balik keyakinan ini terdapatlah praandaian bahwa dasar objektif baik bagi nilai-nilai dasar dan universal, maupun bagi tindakan-tindakan yang otonom itu mungkin.4
Lepas dari persoalan apakah sebagai kerangka filsafati idealisme modern itu dapat terpenuhi atau tidak , dalam kerangka kesenian proyek modernisme itu telah menggelindingkan arus eksperimentasi diatas tadi yang pada dasarnya merupakan gerakan-gerakan yang hendak menjadikan seni sebagai wilayah otonom . Yang dianggap sebagai "kemajuan" dalam bidang seni ternyata umumnya adalah aneka perubahan dan inovasi teknis guna mendapatkan pengalaman "estetik" yang lebih murni. Di balik hingar-bingar aliran-aliran baru itu , dalam perjalanannya kesenian modern macam itu ternyata makin jauh dari perkara-perkara sosio-kultural real dan makin masuk dalam suatu wilayah teknis dan imajiner tersendiri, wilayah kenikmatan reflektif ideal yang asing.
Namun barangkali yang membuatnya makin hari makin kehilangan wibawa adalah kenyataan bahwa kegilaan melabrak pola-pola baku sebelumnya yang terkandung dalam semangat avant-garde itu akhirnya juga melembaga. Modernisme menjadi suatu institusi kultural tersendiri yang menguasai sekolah-sekolah kesenian . Keradikalannya hilang dan ia menjadi kultur resmi, tempat berkumpul justru kaum neokonservatif. Memang ironis. Karya-karya Picasso, Joyce, Lawrence, Brecht, Pollock dan Sartre misalnya akhirnya menjadi karya-karya standard yang digunakan sebagai acuan baku studi akademis sedemikian hingga berbagai bentuk dan kegiatan seni yang tak bersesuaian dengan kanon tersebut menjadi tersisih, dianggap tak penting. Modernisme menjadi hegemoni kultural yang monolitis.
Itulah sebabnya kegiatan seni maupun kritik-kritik seni yang muncul sejak tahun 1960-an umumnya berkecenderungan justru untuk membongkar mitos modernisme yang monolitic itu , menumbangkan hegemoni gagasan dari para "empu" modern. Dominasi Abstrak ekspressionisme, Nouveau Roman, Eksistensialisme, film-film Avant-garde, New Criticism,dsb. segera digerogoti oleh bentuk-bentuk kesenian baru yang umumnya ( sengaja) bertolak belakang terhadap konsep-konsep modern itu. "Pop-art", misalnya, dengan sengaja mengolah tema-tema dan objek dari wilayah budaya-pop yang bisanya dianggap budaya rendahan oleh modernisme; "Minimalisme" misalnya, kendati sering dianggap juga produk modernisme akhir, toh di sisi lain justru merupakan sinisme karikatural atas kecenderungan formalistik modernisme yang berlebihan. Ada pula kecenderungan untuk justru memadukan berbagai disiplin seni seperti tarian di campur dengan lukisan dan sastera,misalnya. Dari gerakan-gerakan ini semua akhirnya yang dirombak bukanlah hanya "gaya" yang bersifat teknis, melainkan konsep tentang apa itu "seni" sendiri.
Gagasan-gagasan kritis di wilayah filsafat lantas seperti menggarisbawahi semua kecenderungan mendobrak paradigma modernisme itu. Pemikiran-pemikiran dari Sekolah Frankfurt, Roland Barthes, Michel Foucault, Jean Baudrillard, Jaques Derrida, Jaques Lacan dsb. akhirnya menggeser fokus dari kritik terhadap para "empu" dan "adikarya" modern ke arah cara kerja Modernisme itu sendiri, dan dari pemilahan modern yang ketat atas disiplin-disiplin ke arah pola interaksi dan kajian interdisipliner atas dinamika bentuk-bentuk representasi kultural manusia kontemporer. Misalnya saja dibukalah kajian-kajian atas peran mitos-mitos kultural dalam representasi, konstruksi representasi dalam sistem-sistem sosial, dsb.
Demikian dalam situasi dimana paradigma modern kian luruh, bentuk-bentuk ungkap kesenian tampil sangat berbeda kini karena konsep maupun materi yang diolahnya pun berbeda : pengolahan tubuh dalam seni "performance", penggunaan gas, telepati, dan skala-skala besar dalam seni yang berkaitan dengan isu lingkungan, intervensi-intervensi terhadap intitusi sosial-politik, penggunaan komputer dan media-media elektronik, dsb. Seniman telah menciptakan pula kartu-pos, rekaman-rekaman CD Rom, bahkan menulis buku,dst. Dan makin hari makin jelas bahwa kecenderungan pembauran interdisipliner kian kuat, seperti pada model seni "installasi", "performance art", "Action" dsb.dsb.. Kian kuat pula kecenderungan seni untuk terlibat dalam persoalan-persoalan sosio-kultural konkrit.
Di Indonesia, kendati denyutnya tak sehingar-bingar itu toh pergeseran yang serupa terjadi juga. Kesenian "modern" yang sempat diwakili sejak Raden saleh, Basuki Abdullah lantas Soedjojono, Affandi, Hendra Goenawan, dsb. hingga generasi A.D. Pirous, Sadali, dsb. sempat digebrak oleh Gerakan Senirupa Baru tahun 1975-an dan Pameran "senirupa Kepribadian apa" tahun 1977-an, yang menampilkan kecenderungan jauh lebih bebas dalam pola-pola ungkap keseniannya, serentak memperkarakan kiblat dan konsep dasar kesenian di Indonesia umumnya. Sejak itu para seniman generasi berikut hingga kini praktis berkiblat dan berkiprah sesuai dengan kecenderungan kontemporer seperti di dunia Barat. Sebut misalnya Heri Dono, Krisna Murti, Agus Suwage, Marintan Sirait, Dadang Kristanto, dsb.dsb. Adapun dalam dunia musik , pola musik kontemporer menjamur pula dengan sosok-sosok utamanya seperti Paul Gutama Soegiyo, Harry Rusli, Tony Prabowo,Sukahardjana, dsb. Dalam bidang teater kita kenal Putu Wijaya, sedang di bidang sastera ada Sutardji Calzoum Bachri, Danarto dan Budidarma; di bidang seni tari kita kenal Sardono W.Kusumo, dst.
Yang menarik adalah bahwa di Indonesia kecenderungan kontemporer itu serentak berpadu dengan upaya menggali inspirasi-inspirasi dasar dari khasanah tradisi. Hasilnya seringkali sangat memikat dan mencengangkan . Berbagai pencapaian sangat berarti dalam hal perpaduan itu misalnya : G.Sidharta dalam seni patung; Dadang Kristanto , Heri Dono dan Krisna Murti dalam seni installasi; Sardono dalam seni tari; Garin Nugroho dalam film; Sukahardjana dan Tony Prabowo dalam musik; Danarto , Putu Widjaja dan Sutardji dalam sastra. Untuk menyebut beberapa saja yang langsung terasa menonjol.

Abad post-estetik ?
Salah satu arus pemikiran pokok yang melatarbelakangi kritik-kritik terhadap modernisme adalah pemikiran dari Michel Foucault. Dalam The Order of Things ( 1966) Foucault melukiskan, antara lain bahwa nama, genre, kategori, dan imaji adalah cara-cara untuk membatasi alur pengetahuan dengan memilih keserupaan-keserupaan tertentu dan menetapkannya sebagai ukuran pemilahan-pemilahan. Dengan kata lain, kode-kode kultural yang kita gunakan untuk menghayati realitas, tatanan-tatanan wacana yang kita ikuti, segala bentuk representasi realitas, sesungguhnya bukanlah sesuatu yang alamiah dan pasti, melainkan sesuatu yang sebetulnya "acak" dan sangat ditentukan oleh sejarah : karena itu selalu bisa dikritik dan direvisi. Lagipula penseleksian unsur yang kemudian digunakan sebagai patokan itu sangat ditentukan pula oleh kepentingan-kepentingan tertentu, yang dengan demikian sudah selalu menyarankan keterbatasan tertentu.
Tentu saja ada banyak bentuk "representasi" realitas. Seni adalah salah satunya saja. Representasi adalah konstruksi artifisial melalui mana kita memahami realitas. Representasi mengandung unsur-unsur pokok seperti definisi, bahasa, imaji, dsb yang kemudian diberi status sebagai "fakta". Kenyataan ini meng-implikasikan sekurang-kurangnya dua hal : pertama, bahwa ada suatu otoritas tertentu yang mengumpulkan, menseleksi dan membatasi; kedua, suatu teori yang hendak mengkritiknya akan membantu kita memahami efek-efek negatif dari representasi itu. Dari sanalah dapat kita serentak meraba sejauh mana tipe representasi itu mengandung semacam kekerasan atau pemerkosaan tertentu dalam proses dekontekstualisasi yang dilaluinya.5 Sebab, meminjam istilah Roland Barthes, representasi adalah "formasi" serentak "deformasi".
Dalam konteks sosial, representasi berkaitan erat dengan kepentingan kekuasaan. Setiap bentuk pelembagaan suatu representasi , disadari atauppun tidak, selalu berkaitan dengan pelembagaan kekuasaan. Meminjam perspektif Louis Althusser, kekuasaan itu menyusup dalam komunikasi ikonografi maupun dalam penilaian-penilaian anonim terhadap aparat-aparat situasi ideologis seperti keluarga, agama, kebudayaan atau pun nasionalitas. Jadi, representasi-representasi khas budaya seperti foto-foto di media massa, film, iklan, fiksi dan kesenian sebetulnya membawa kecederungan ideologis tertentu. Iklan,misalnya, membawa pesan ideologis dan stereotip tertentu tentang ideal "hidup yang baik", serta memproyeksikan kepentingan kelas-kelas tertentu yang ingin melestarikan kepentingannya. Demikianlah semua bentuk representasi kultural, termasuk representasi gender, kelas dan ras, bekerja dengan cara seperti itu. Yang jadi perkara adalah bahwa pola-pola representasi itu dibentuk selalu berdasarkan hirarki nilai tertentu alias diskriminatif, diskriminasi kognitif.
Pandangan dasar Foucault macam ini membuka kemungkinan pemahaman baru terhadap kesenian dan kritik seni. Seni, sebagai bidang yang selalu bergumul dengan konstruksi-konstruksi kultural seperti imaji, ideologi dan simbol, boleh jadi justru merupakan bidang yang strategis ke arah kritik representasi itu, representasi pada skala kultural yang luas maupun pola-pola representasi dalam dunia kesenian itu sendiri. Bila dilihat dari sudut ini maka lantas perkaranya pun menjadi lebih jauh : bukan lagi bagaimana kritik seni bisa mengabdi kesenian, melainkan bagaimana kesenian bisa menjadi lahan subur bagi segala bentuk sikap kritis , terutama kritis terhadap bentuk-bentuk representasi yang opressif. Pemahaman baru semacam ini dengan sendirinya mengubah persepsi umum terhadap kiprah berkesenian . Kesenian lantas dilihat berdimensi politis , bukan dalam artian "representasi (aliran-aliran) politis" melainkan , sebaliknya , dalam artian "politik representasi" : ia bergumul dengan strategi-strategi pelembagaan dan legitimasi representasi-representasi yang opressif, dan dari dalam representasi-representasi itu mencari kemungkinan baru.
Dengan gagasan Foucault itu, maka makin terbuka lebarlah kemungkinan ke arah kiprah baru berkesenian keluar dari kerangka parameter dan kiblat kesenian "modern". Sekurang-kurangnya tiga hal penting yang kemudian berkembang dari dasar inspirasi foucauldian itu, yang bisa dianggap menandai keterputusan kiblat kesenian baru dari yang lama (modernisme). Pertama, "matinya" sang pengarang (pencipta). Kedua, berubahnya konsep "originalitas". Ketiga, berubahnya pola produksi "makna" , dimana titik pusat pemaknaan tidak lagi pada sang seniman melainkan pada sosok karya itu sendiri dan pada para penontonnya .
Yang pertama, ini berkaitan erat dengan gagasan dasar kaum post-strukturalis umumnya, dengan Roland Barthes khususnya. Pada intinya Barthes berpendapat bahwa sebuah teks adalah suatu jaringan kombinasi makna yang otonom , yang selalu bisa ditafsirkan tanpa mengkaitkannya pada pengarangnya. Interpretasi adalah upaya membuat jaringan kombinasi baru atas jaringan yang ada. Tekslah yang memungkinkan suatu aspirasi , fiksi atau pun representasi realitas tertentu dapat dibaca dan karenanya berkembang biak lewat bacaan itu. Dan teks itu otonom: dalam proses baca-tafsir ia berkembang biak sendiri dan mengalami deformasi terus menerus disana. Sang pencipta/pengarangnya bukan lagi subyek atau produser. Kebalikannya : gambaran tentang si penciptanya itu justru dibentuk oleh teks. Kenyataan ini kian jelas ketika teks itu direproduksi terus-menerus, semakin otonom, semakin tak terlalu berkaitan dengan penciptanya. Karya seni sama halnya , melalui reproduksi dan percaturan wacana kritik atasnya ia menjadi sosok mandiri. Figur si seniman itu sendiri akhirnya menjadi tak terlalu penting .6
Kedua, berkaitan dengan hal itu konsep tentang "originalitas" pun berubah. Kiprah kesenian pada masa modern sangat berfokus pada pencarian originalitas. "Kebaruan" menjadi semacam obsesi jaman kala itu. Maka perubahan demi perubahan style dalam melukis misalnya bergulir terus dan memuncak pada kecenderungan kaum avant-gardist yang sangat eksperimental. Eksplorasi kebaruan umumnya berjalan di wilayah teknis : teknik-teknik baru dieksplorasi terus. Dan para pembaharu itu kemudian dianggap sebagai semcam "empu" dan karya-karya mereka lantas dibaptis menjadi "adikarya". Kecenderungan itu semua perlahan berubah bersama dengan tampilnya beberapa gejala, antara lain : sistem reproduksi, digunakannya barang-barang yang telah siap pakai, dan orientasi lebih pada makna ketimbang pada teknik.
Sistem reproduksi kini telah memungkinkan karya dari khasanah tradisi apa pun dapat dinikmati oleh siapa pun dan dimana pun . Ini memungkinkan sistem referensi yang tanpa batas sehingga penciptaan menjadi makin sulit untuk sungguh-sungguh "original" bagaikan "lahir baru" seperti yang biasa dibayangkan kaum avant-gardist dahulu.7 Masa lalu adalah hari ini sekaligus masa depan. Dan penciptaan kini lebih cenderung berarti "perakitan baru" barang-barang yang siap-pakai. Memang kadang ini menuntut semacam tindakan "dekonstruksi", tapi lebih dalam arti "dekontekstualisasi" : melepaskan elemen-elemen tertentu dari konteksnya semula kemudian merakitnya kembali dalam konteks baru yang tak terduga. Dengan perkataan lain, penciptaan kini lebih merupakan proses pembuatan kolase. Unsur-unsur tertentu dihadirkan kembali dalam pola representasi yang baru, dan dengan begitu dilepaskan dari pola representasi aslinya. Maka lebih jelasnya lagi, yang "baru" itu akhirnya adalah "pemaknaannya" ,bukan pertama-tama bentuk formalnya atau pun tekniknya. Dengan ini arah kinerja berkesenian sudah terasa mengalami pergeseran paradigma. Dalam doublet "bentuk dan isi", kini tekanan bergeser lebih ke isi, meskipun tentu saja kesenian selalu tetaplah perkara "olah bentuk" juga.
Ketiga, berubahnya pola produksi makna. Ketika penciptaan "adikarya" tidak lagi dianggap satu-satunya fokus, format lukisan yang akrab dengan dinding (museum) berubah ke arah format installasi , multimedia dan kecenderungan interdisipliner, maka serta merta aspek dialogis atau komunikatif jadi lebih menonjol. Karya hadir tidak hanya untuk "ditonton", melainkan untuk didialogkan dan lebih lagi : dialami. Dalam seni kontemporer lantas "karya" lebih merupakan "peristiwa". Dalam kerangka dialogis itu otomatis sang seniman lebih berfungsi sebagai semacam "fasilitator" yang memberi umpan atau perangsang bagi penciptaan makna bersama pemirsanya. Dengan begitu seniman itu sendiri posisinya bukan lagi pusat. Pusatnya adalah "makna" yang diharapkan terbentuk dari interaksi dialogis antara si seniman itu, karyanya dan persepsi penonton.
Dengan munculnya ketiga gejala diatas tadi menjadi jelas bahwa paradigma representasi versi modernisme yang berpusat pada pribadi seniman sendiri sebagai "genius", penciptaan "adikarya" yang abadi ( karenanya perlu museum), originalitas sebagai diskontinuitas terhadap tradisi, dan kecenderungan teknis formalistiknya yang sangat kuat, akhirnya bergeser ke paradigma representasi baru dengan segala konsekuensi ikutannya. Dengan kata lain, bila "estetika" diartikan secara sempit sebagai "kaidah-kaidah berkesenian modern" macam di atas itu, maka hari-hari ini mesti dikatakan bahwa sosok dan kiprah kesenian kontemporer cenderung "anti-estetik". Bahkan bila ini memang betul bersifat paradigmatik. bisa saja dikatakan bahwa di bidang kesenian abad ini dan mendatang adalah abad "post-estetik".
Sementara istilah "post-estetik" masih terasa problematis dan karenanya terbuka bagi perdebatan, satu hal kiranya jelas, yaitu bahwa arah baru dalam kinerja kesenian hari-hari ini telah memaksa orang untuk meninjau ulang hakekat seni yang sesungguhnya. Dalam bentuknya yang sekarang, dimana makna lebih dipertaruhkan ketimbang olah-bentuknya, seni tak lagi bisa dipahami dari sudut "keindahan" dan kenikmatan inderawi. Sekurang-kurangnya kategori "keindahan" tak lagi memadai untuk itu. Antara lain dalam arti ini juga dapat dikatakan bahwa seni kini memasuki era "post-estetik". Secara tradisional istilah "Estetik" sudah terlanjur erat berkaitan dengan konsep "keindahan" itu, sehingga kalau pun kini masih hendak digunakan, perlu dibuat isi pemahaman baru terhadap istilah itu.8
Kalau saja kita mengembalikan istilah "estetika" kepada akar kata Yunaninya, yaitu aisthanomai, maka sebetulnya maknanya justru jadi dekat dengan pemahaman orang saat ini. Aistanomai artiya "saya menyadari sesuatu". Dalam konteks kontemporer karya-karya seni umumnya merupakan produk kegiatan kreatif untuk me-refigurasi realitas sehari-hari sedemikian hingga bentuk- bentuk representasi pengalaman terkena kritik. Dengan kata lain seni hari ini umumnya merupakan kritik atas pola-pola artikulasi yang menguasai pengalaman . Ia menyadarkan kita tentang bagaimana kita de facto mengalami realitas sehari-hari dan memberi profil pada pengalaman itu, justru dengan cara me -revisi pengalaman-pengalaman itu dan mengarahkannya pada nilai-nilai tertentu. Dalam rangka memberi titik berat pada aspek "pengalaman" itu pula agaknya karya-karya seni hari ini lantas tak terlalu menggubris kaidah-kaidah estetik konvensional, yang karena itu sering di sebut "anti-estetik".9 Tapi bila kita melihatnya dari sudut fungsinya pada terbukanya kesadaran baru, maka seni kontemporer justru berkorelasi erat dengan akar kata "estetika", yaitu aisthanomai itu tadi . Dari sudut ini tentu masih bisa disebut "estetis".

Catatan :
1 Clement Greenberg,"Avant-Garde and Kitsch", Partisan Review 6 (Fall 1939) : 34-49; "Towards a Newer Laocoon", Partisan Review 7 ( July-August 1940) : 296-310
2 Clement Greenberg, "Modernist Painting", Arts Yearbook 4 ( 1961) : 109-16, dicetak ulang dalam Gregory Battcock,ed. The New Art ( New york : E.P.Dutton,1966) : 101-3,107
3 Lihat wawancara Arthur Danto dengan Suzi Gablik, dalam Suzi Gablik, Conversation Before The End of Time ,( London:Thames and Hudson,1995):277; juga Arthur C. Danto, Beyond the Brillo Box : The Visual Arts in Post-historical Perspectives ( New York : Farrar,Straus and Giroux,1992)
4 Hal ini misalnya ditegaskan oleh Habermas dalam "Modernity versus Postmodernity", New German Critique 22 ( Winter 1981): 3-14
5 bandingkan Edward Said,"In the Shadow of the West", Wedge,nos 7-8 (Winter-Spring 1985):4
6 Bandingkan Roland Barthes,Image-Music-Text (New York : Hill and Wang,1977):155-164
7 Dalam gerakan Avant-garde ada semacam keyakinan bahwa "diri sendiri" adalah sumber originalitas sedemikian hingga penciptaan dihayati sebagai sejenis kelahiran baru. Brancusi misalnya mengatakan, "Kalau kita bukan lagi anak-anak, berarti kita mati". Atau Malevich :" yang hidup hanyalah dia yang menolak keyakinan-keyakinannya dari masa lalu". Lihat Rosalind Krauss, " The Originality of the Avant-Garde: A postmodernist Repetition", dalam Brian Wallis (ed) Art After Modernism: Rethinking Representation ( New York : The New Museum of Contemporary Art,1984): 18
8 A.J. Baumgarten (1714-62) salah seorang yang paling awal memberi batasan arti "estetika", dalam karyanya Aesthetica, menyebut estetika itu sebagai teori tentang "keindahan". Dan selanjutnya pemahaman ini menjadi sesuatu yang baku dalam dunia akademis.
9 Elaborasi atas gagasan macam ini dari sudut Heidegger dan Benjamin dilakukan misalnya oleh Krzysztof Ziarek ,"After Aesthetics: Heidegger and Benjamin on Art and Experience", dalam Philosophy Today, Spring 1997: 199-208


Dr. I.Bambang Sugiharto , meraih doktorat di Universitas Angelicum,Roma, Italia. Kini mengajar di Fak.Filsafat dan Pascasarjana Unpar serta Pascasarjana SeniRupa ITB.