Oleh : Bambang Sugiharto
         
 Modern art, while enjoying  its autonomy, has turned into elitism, excessive technical  preoccupation and monolythic tendency. In this way  the arts have eventually become foreign to real socio-cultural problems. This,in turn, has sparked off a counter reaction paving the way to a new paradigm, the so called “post-aesthetic” paradigm. This article seeks to reflect upon the significance of the paradigm and show how the arts are accordingly redefined.                           
   
      Salah satu hal yang sangat menarik  dalam era kesejagatan saat ini adalah meriapnya kesadaran baru dimana-mana tentang aspek politis di balik formasi segala   kategori dasar yang selama ini digunakan untuk memahami diri, kebudayaan , dan kemanusiaan. Hampir segala kategori pokok yang kita gunakan  untuk memandang dan mengalami, berpikir dan merasa, seperti konsep-konsep tentang "diri","Subyek","Obyek", "Kebenaran","Barat","Timur",dsb.dsb. kini diragukan makna dan relevansinya. Berbagai tradisi pemikiran yang telah demikian lama menghidupi dunia manusia kini digugat otoritas dan kredibilitasnya. Semua gejala ini tampak terutama dalam menjamurnya berbagai istilah yang umumnya berawalan "post", seperti : post-industri,post-literasi, post-western, post-ideologi,dst.dst., yang kemudian berkulminasi dalam istilah "postmodern" (seolah merangkum segala "post" lainnya). Namun itu tampak pula dalam berbagai istilah yang berawalan "de", seperti : dekonstruksi, dedifferensiasi,desentralisasi, demistifikasi,dsb.dsb. Sepertinya ini adalah sebuah jaman dimana perilaku, konsep dan pola-pola hubungan perlu dipikirkan  dan dirumuskan kembali secara baru.
     Dalam konteks kiprah berkesenian goncangan-goncangan kategori macam itu terutama melanda konsep dasar  macam "kebudayaan","seni","identitas","otentisitas", dsb. Artinya konsep-konsep tersebut  kini diragukan makna dan validitasnya. Ada semacam skeptisisme bersama dimana-mana yang cenderung mencurigai segala bentuk  klasifikasi, standardisasi dan kategorisasi umum. Dalam kerangka macam inilah  dapat dikatakan bahwa  terjadi suatu transformasi yang mendasar dalam hal struktur visual seni, identitas  karya seni, dan persepsi tentang apa artinya menjadi seniman saat ini.  Dengan istilah dari Thomas Kuhn , agaknya  dalam dunia seni sedang terjadi "pergeseran paradigma" : pergeseran itu tidak hanya pada tingkat teknis atau pun  "gaya" (style) melainkan menghunjam  ke tingkat  dasar epistemologis kesenian itu sendiri.
 Senjakala Modernisme
       
     Untuk mengkaji ulang apa itu "modernisme" mungkin baik juga kita menengok ke belakang dahulu.   Seorang kritikus  seni terkemuka  tahun 1940-an , Clement Greenberg, mempopulerkan istilah "modernisme" itu dalam bidang  wacana kesenian.  Dalam essaynya "Avant-Garde and Kitsch" (1939) dan " Towards a Newer Laocoon" (1940), Greenberg  menyatakan bahwa karya seni yang maju  adalah yang bergerak dari  kompleksitas tinggi ke arah yang lebih sederhana.1  Karya seni  macam ini  biasanya berfungsi serentak  sebagai perlawanan terhadap kecenderungan totaliterisme standarisasi penilaian dan  degradasi nilai  oleh  "kitsch"  kultur pop.  Sementara dalam essaynya yang lain yaitu "Modernist Painting" (1961)  Greenberg menulis lagi :
                                   "Essensi Modernisme terletak pada ......digunakannya suatu metode dari
disiplin tertentu justru untuk  mengkritik disiplin itu sendiri.    .....Apa yang harus ditampilkan adalah hal yang unik  dan  tak terreduksikan dari karya seni itu. Setiap seni itu  harus  menampilkan kekhasan effek-effeknya..."2
            
             Pendeknya  Greenberg   menghendaki agar  setiap medium artistik itu  merujuk dirinya      sendiri dan dari sana bergerak dengan proses abstraksi menuju hal yang essensialnya.  Misalnya, kekhasan  lukisan yang mesti di eksplorasi seorang pelukis adalah bidang datar dan pembatasan bidang datar itu.  Maka katakanlah Greenberg ini  menganggap khas kemodernan  terletak pada keterpilahan bidang-bidang kesenian itu secara tegas. Tentu saja pandangan macam ini langsung terasa sangat miskin, dan karenanya menjadi bahan perdebatan yang ramai juga.
               Satu hal yang jelas adalah kenyataan bahwa sejak tahun 1900-an hingga  1970-an  kesenian, terutama  seni rupa, mengalami perubahan konseptual sangat cepat yang tak pernah ada padanannya sebelumnya dalam sejarah. Secara garis besar  perubahan itu dapat dikategorikan sebagai berikut ini : Pertama, seni sebagai representasi realitas, yang isi konsepnya berubah-ubah diwakili oleh  Impressionisme, Cubisme, Dadaisme dan akhirnya Surrealisme.  Masing-masing dari aliran yang disebut ini sesungguhnya pun sangat berbeda  satu sama lain pandangannya mengenai apa itu "representasi" namun pada dasarnya mereka masih dapat dimasukkan dalam kategori besar  "representasi" ini.  Kedua, seni sebagai presentasi dari realitas yang tak terpresentasikan . Dapat dimasukkan dalam kategori-payung (umbrella category) ini adalah Abstrak Ekspressionisme, Konstruktivisme, De Stijl dan Minimalisme.  Dan akhirnya , ketiga, adalah seni  yang berpusat justru pada "non-representasi"  dimana proses estetik  cenderung tak dianggap perlu. Konsep ini agaknya diwakili terutama oleh Konseptualisme.
        Semua itulah yang kerap disebut sebagai seni "modern".  Maka  menjadi jelas disana bahwa kemodernan lebih ditandai oleh  kecenderungan "diskontinuitas" dalam rangka mencari "originalitas". Kecenderungan yang biasa disebut juga  sebagai kecenderungan "Avant-garde" ini adalah kecenderungan untuk senantiasa ber-eksperimentasi mencari kebaruan tak habis-habisnya, eksplorasi kemungkinan baru terus-menerus.  Yang menarik adalah bahwa kecenderungan macam ini membawa konsekuensi logis disangkalnya terus-menerus konsep-konsep sebelumnya, hingga akhir yang sudah terraba adalah disangkalnya kata "kesenian" itu sendiri : "The end of art", seperti kata Arthur Danto.3 Tidaklah mengherankan bila orang menganggap bahwa  modernisme sudah selalu mengandung konsep "post" ( sesudah), sehingga kelak ketika muncul istilah "post-modern"  pengertiannya menjadi  kacau balau. 
          Sebagai paradigma sebetulnya  kekhasan modernisme terletak pada konsep humanismenya yang liberal dan rasional, serta pada keyakinannya yang agak naif terhadap idealisme "kemajuan" ala  Pencerahan ( Enlightenment). Di balik keyakinan ini terdapatlah praandaian bahwa  dasar objektif   baik bagi nilai-nilai dasar dan universal, maupun bagi tindakan-tindakan yang otonom itu mungkin.4
          Lepas  dari persoalan apakah  sebagai kerangka filsafati  idealisme modern itu dapat terpenuhi atau tidak , dalam kerangka kesenian proyek modernisme itu  telah menggelindingkan  arus eksperimentasi  diatas tadi yang pada dasarnya merupakan  gerakan-gerakan  yang hendak menjadikan seni sebagai wilayah otonom .  Yang dianggap sebagai "kemajuan" dalam bidang seni  ternyata umumnya adalah aneka perubahan dan inovasi teknis  guna  mendapatkan  pengalaman "estetik" yang lebih murni. Di balik hingar-bingar aliran-aliran baru itu , dalam perjalanannya  kesenian modern  macam itu ternyata makin jauh dari perkara-perkara  sosio-kultural real  dan makin masuk dalam suatu wilayah teknis dan imajiner tersendiri, wilayah kenikmatan  reflektif ideal yang asing.
      Namun barangkali yang membuatnya  makin hari makin kehilangan wibawa adalah  kenyataan bahwa  kegilaan melabrak pola-pola baku sebelumnya yang terkandung dalam semangat avant-garde itu akhirnya  juga melembaga. Modernisme menjadi suatu institusi kultural tersendiri yang menguasai sekolah-sekolah kesenian .  Keradikalannya hilang dan ia menjadi kultur resmi, tempat berkumpul  justru kaum neokonservatif. Memang ironis.  Karya-karya Picasso, Joyce, Lawrence, Brecht, Pollock dan Sartre misalnya akhirnya menjadi karya-karya standard yang digunakan sebagai acuan  baku studi akademis sedemikian hingga  berbagai bentuk dan kegiatan seni yang tak bersesuaian dengan kanon tersebut  menjadi tersisih, dianggap tak penting.  Modernisme menjadi hegemoni kultural yang monolitis.
        Itulah sebabnya  kegiatan seni maupun kritik-kritik seni yang muncul sejak tahun 1960-an  umumnya berkecenderungan  justru untuk membongkar mitos modernisme yang monolitic itu , menumbangkan hegemoni gagasan dari para "empu" modern.  Dominasi Abstrak ekspressionisme, Nouveau Roman, Eksistensialisme, film-film Avant-garde, New Criticism,dsb. segera  digerogoti oleh bentuk-bentuk kesenian baru  yang umumnya  ( sengaja) bertolak belakang terhadap konsep-konsep modern itu. "Pop-art", misalnya, dengan sengaja mengolah  tema-tema dan objek dari wilayah  budaya-pop yang bisanya dianggap budaya rendahan  oleh modernisme; "Minimalisme" misalnya, kendati sering dianggap juga produk modernisme akhir, toh di sisi lain justru merupakan sinisme karikatural atas  kecenderungan formalistik modernisme yang berlebihan.  Ada pula kecenderungan untuk justru memadukan berbagai disiplin seni seperti  tarian di campur dengan lukisan  dan sastera,misalnya.  Dari gerakan-gerakan ini semua akhirnya yang dirombak bukanlah hanya "gaya" yang bersifat teknis, melainkan  konsep tentang apa itu "seni"  sendiri.
           Gagasan-gagasan kritis di wilayah filsafat  lantas seperti menggarisbawahi semua kecenderungan  mendobrak paradigma modernisme itu. Pemikiran-pemikiran dari Sekolah Frankfurt, Roland Barthes, Michel Foucault, Jean Baudrillard, Jaques Derrida, Jaques Lacan dsb. akhirnya menggeser fokus dari kritik terhadap para "empu" dan "adikarya" modern  ke arah  cara kerja Modernisme itu sendiri, dan dari  pemilahan modern yang ketat atas disiplin-disiplin  ke arah  pola interaksi dan kajian interdisipliner  atas dinamika  bentuk-bentuk representasi  kultural manusia kontemporer. Misalnya saja  dibukalah  kajian-kajian atas peran mitos-mitos kultural dalam representasi, konstruksi representasi dalam sistem-sistem sosial, dsb.
        Demikian dalam situasi dimana paradigma modern  kian luruh, bentuk-bentuk ungkap kesenian tampil  sangat berbeda kini karena konsep maupun materi yang diolahnya pun berbeda : pengolahan tubuh dalam  seni "performance",  penggunaan gas, telepati, dan skala-skala besar  dalam seni yang berkaitan dengan isu lingkungan, intervensi-intervensi  terhadap intitusi sosial-politik, penggunaan komputer dan media-media elektronik, dsb.  Seniman  telah menciptakan pula kartu-pos, rekaman-rekaman CD Rom, bahkan menulis buku,dst.  Dan makin hari makin jelas bahwa kecenderungan  pembauran interdisipliner kian  kuat, seperti pada model seni "installasi", "performance art", "Action" dsb.dsb.. Kian  kuat pula kecenderungan seni untuk terlibat dalam persoalan-persoalan sosio-kultural konkrit. 
          Di Indonesia, kendati denyutnya tak sehingar-bingar itu toh pergeseran yang serupa terjadi juga.  Kesenian "modern" yang sempat diwakili sejak Raden saleh, Basuki Abdullah lantas  Soedjojono, Affandi, Hendra Goenawan, dsb. hingga generasi  A.D. Pirous, Sadali, dsb. sempat digebrak  oleh Gerakan Senirupa Baru tahun 1975-an  dan Pameran "senirupa Kepribadian apa" tahun 1977-an, yang menampilkan kecenderungan jauh lebih bebas dalam pola-pola ungkap keseniannya, serentak  memperkarakan kiblat dan konsep dasar kesenian di Indonesia umumnya. Sejak itu  para seniman  generasi berikut hingga kini praktis  berkiblat dan berkiprah  sesuai dengan  kecenderungan kontemporer seperti di dunia Barat. Sebut misalnya  Heri Dono, Krisna Murti, Agus Suwage, Marintan Sirait,  Dadang Kristanto, dsb.dsb.  Adapun dalam dunia musik , pola musik kontemporer menjamur pula  dengan sosok-sosok  utamanya seperti Paul Gutama Soegiyo, Harry Rusli, Tony Prabowo,Sukahardjana, dsb. Dalam bidang teater kita kenal Putu Wijaya, sedang di bidang sastera ada Sutardji Calzoum Bachri, Danarto dan Budidarma; di bidang seni tari kita kenal Sardono W.Kusumo, dst.
             Yang menarik adalah bahwa di Indonesia  kecenderungan kontemporer itu serentak berpadu dengan upaya menggali inspirasi-inspirasi dasar dari khasanah tradisi.  Hasilnya seringkali sangat memikat dan mencengangkan .  Berbagai pencapaian sangat berarti  dalam hal perpaduan itu misalnya : G.Sidharta dalam seni patung;   Dadang Kristanto , Heri Dono dan Krisna Murti  dalam seni installasi;  Sardono dalam seni tari; Garin Nugroho dalam film; Sukahardjana dan Tony Prabowo dalam  musik;  Danarto , Putu Widjaja dan Sutardji dalam sastra.  Untuk menyebut beberapa saja yang langsung terasa menonjol.  
Abad  post-estetik ?
       Salah satu arus pemikiran pokok yang melatarbelakangi  kritik-kritik terhadap modernisme adalah  pemikiran dari Michel Foucault.  Dalam  The Order of Things ( 1966)  Foucault melukiskan, antara lain  bahwa  nama, genre, kategori, dan imaji adalah  cara-cara untuk membatasi  alur pengetahuan dengan memilih keserupaan-keserupaan  tertentu  dan menetapkannya sebagai ukuran pemilahan-pemilahan.  Dengan kata lain, kode-kode kultural  yang kita gunakan untuk menghayati realitas, tatanan-tatanan  wacana yang kita ikuti, segala bentuk  representasi realitas, sesungguhnya  bukanlah sesuatu yang alamiah dan pasti, melainkan  sesuatu yang sebetulnya "acak" dan sangat ditentukan oleh sejarah : karena itu selalu bisa dikritik dan direvisi. Lagipula  penseleksian unsur yang kemudian digunakan sebagai patokan  itu sangat ditentukan pula oleh kepentingan-kepentingan tertentu, yang dengan demikian sudah selalu menyarankan keterbatasan tertentu.
         Tentu saja ada banyak bentuk "representasi" realitas. Seni adalah salah satunya saja. Representasi adalah konstruksi artifisial  melalui mana kita memahami realitas. Representasi mengandung unsur-unsur pokok seperti definisi, bahasa, imaji, dsb yang kemudian diberi status sebagai "fakta".  Kenyataan ini meng-implikasikan sekurang-kurangnya dua hal : pertama, bahwa ada suatu otoritas tertentu yang mengumpulkan, menseleksi dan membatasi; kedua, suatu teori yang hendak mengkritiknya akan membantu kita memahami efek-efek negatif dari representasi itu. Dari sanalah  dapat kita serentak meraba  sejauh mana tipe representasi itu mengandung  semacam kekerasan  atau pemerkosaan tertentu dalam proses dekontekstualisasi yang dilaluinya.5 Sebab, meminjam istilah Roland Barthes, representasi adalah "formasi" serentak "deformasi".
       Dalam konteks sosial, representasi berkaitan erat dengan kepentingan  kekuasaan.  Setiap bentuk pelembagaan suatu representasi , disadari atauppun tidak, selalu berkaitan dengan pelembagaan kekuasaan.   Meminjam perspektif Louis Althusser, kekuasaan itu menyusup dalam komunikasi ikonografi maupun dalam  penilaian-penilaian anonim terhadap aparat-aparat situasi ideologis seperti keluarga, agama, kebudayaan atau pun nasionalitas. Jadi,  representasi-representasi khas budaya seperti  foto-foto di media massa, film, iklan, fiksi dan kesenian sebetulnya membawa kecederungan ideologis tertentu.  Iklan,misalnya, membawa  pesan  ideologis dan stereotip tertentu tentang ideal "hidup yang baik", serta  memproyeksikan kepentingan kelas-kelas tertentu yang ingin melestarikan kepentingannya.  Demikianlah semua bentuk representasi kultural, termasuk representasi gender, kelas dan ras, bekerja dengan cara  seperti itu. Yang jadi perkara adalah bahwa pola-pola representasi itu dibentuk selalu berdasarkan hirarki nilai tertentu alias diskriminatif, diskriminasi kognitif.
         Pandangan dasar Foucault macam ini  membuka kemungkinan pemahaman baru terhadap  kesenian dan kritik seni.  Seni, sebagai bidang yang selalu bergumul dengan konstruksi-konstruksi kultural seperti imaji, ideologi dan simbol, boleh jadi justru merupakan bidang yang strategis ke arah kritik representasi itu, representasi pada skala kultural yang luas maupun pola-pola representasi dalam dunia kesenian itu sendiri. Bila dilihat dari sudut ini maka lantas perkaranya pun menjadi lebih jauh :  bukan lagi bagaimana kritik seni bisa mengabdi  kesenian, melainkan bagaimana kesenian bisa menjadi lahan subur bagi  segala bentuk sikap kritis , terutama kritis terhadap bentuk-bentuk representasi yang opressif.  Pemahaman baru semacam ini dengan sendirinya mengubah persepsi umum terhadap kiprah berkesenian . Kesenian  lantas dilihat berdimensi politis , bukan dalam artian  "representasi  (aliran-aliran) politis" melainkan , sebaliknya , dalam artian "politik representasi" : ia bergumul dengan strategi-strategi  pelembagaan dan legitimasi representasi-representasi yang opressif, dan dari dalam representasi-representasi itu mencari kemungkinan baru.
            Dengan  gagasan Foucault itu, maka  makin terbuka lebarlah kemungkinan ke arah   kiprah baru berkesenian  keluar dari kerangka parameter dan kiblat kesenian "modern". Sekurang-kurangnya tiga hal penting yang  kemudian berkembang  dari dasar inspirasi foucauldian  itu, yang bisa dianggap menandai keterputusan kiblat kesenian baru dari yang lama (modernisme). Pertama, "matinya" sang  pengarang (pencipta).  Kedua, berubahnya konsep "originalitas".  Ketiga,  berubahnya pola produksi "makna" , dimana titik pusat pemaknaan tidak lagi pada  sang seniman melainkan pada sosok karya itu sendiri dan pada para penontonnya .  
         Yang pertama,  ini berkaitan erat dengan gagasan dasar kaum post-strukturalis umumnya, dengan Roland Barthes khususnya.  Pada intinya Barthes berpendapat bahwa sebuah teks  adalah suatu jaringan kombinasi makna yang otonom , yang selalu bisa ditafsirkan  tanpa mengkaitkannya pada pengarangnya. Interpretasi adalah upaya membuat jaringan kombinasi baru atas  jaringan yang ada. Tekslah yang memungkinkan  suatu aspirasi , fiksi atau pun representasi realitas tertentu dapat dibaca dan karenanya berkembang biak lewat bacaan itu. Dan teks itu otonom: dalam proses baca-tafsir ia berkembang biak sendiri dan mengalami deformasi terus menerus disana. Sang pencipta/pengarangnya  bukan lagi subyek  atau produser. Kebalikannya : gambaran tentang si penciptanya itu justru dibentuk oleh teks.  Kenyataan ini kian jelas ketika teks itu direproduksi terus-menerus, semakin otonom, semakin  tak terlalu berkaitan dengan penciptanya. Karya seni sama halnya , melalui reproduksi dan percaturan wacana kritik atasnya ia  menjadi sosok mandiri. Figur si seniman itu sendiri akhirnya menjadi tak terlalu penting .6
           Kedua, berkaitan dengan hal itu  konsep tentang "originalitas" pun berubah. Kiprah kesenian pada masa modern sangat berfokus pada pencarian originalitas. "Kebaruan" menjadi semacam obsesi jaman kala itu.  Maka perubahan demi perubahan style dalam melukis  misalnya bergulir terus  dan memuncak pada kecenderungan kaum avant-gardist yang sangat eksperimental. Eksplorasi kebaruan umumnya berjalan di wilayah teknis : teknik-teknik baru dieksplorasi terus.  Dan para pembaharu itu kemudian dianggap sebagai semcam "empu" dan karya-karya mereka lantas dibaptis menjadi  "adikarya". Kecenderungan itu semua perlahan berubah bersama dengan  tampilnya beberapa gejala, antara lain : sistem reproduksi,  digunakannya barang-barang yang telah siap pakai, dan orientasi lebih pada makna ketimbang pada teknik. 
       Sistem reproduksi   kini telah memungkinkan karya dari khasanah tradisi apa pun dapat dinikmati oleh siapa pun dan dimana pun . Ini memungkinkan sistem referensi yang tanpa batas  sehingga penciptaan menjadi makin sulit  untuk sungguh-sungguh "original" bagaikan "lahir baru" seperti yang biasa dibayangkan kaum avant-gardist dahulu.7 Masa lalu adalah hari ini sekaligus masa depan. Dan  penciptaan kini lebih cenderung berarti "perakitan baru" barang-barang yang siap-pakai. Memang kadang ini menuntut semacam tindakan "dekonstruksi", tapi lebih dalam arti "dekontekstualisasi" : melepaskan elemen-elemen tertentu dari konteksnya semula  kemudian  merakitnya kembali dalam konteks baru yang tak terduga. Dengan perkataan lain, penciptaan kini lebih merupakan proses pembuatan  kolase. Unsur-unsur tertentu dihadirkan kembali dalam pola representasi yang baru, dan dengan begitu  dilepaskan dari pola representasi aslinya.  Maka lebih jelasnya lagi, yang "baru"  itu akhirnya adalah "pemaknaannya" ,bukan  pertama-tama bentuk formalnya atau pun tekniknya.  Dengan ini arah kinerja berkesenian sudah terasa mengalami pergeseran paradigma. Dalam doublet "bentuk dan isi", kini tekanan bergeser lebih ke isi, meskipun tentu saja kesenian selalu tetaplah perkara "olah bentuk" juga.  
       Ketiga, berubahnya pola produksi makna. Ketika penciptaan  "adikarya" tidak lagi dianggap satu-satunya fokus, format lukisan yang akrab dengan dinding (museum) berubah ke arah format installasi , multimedia dan  kecenderungan interdisipliner, maka serta merta  aspek dialogis atau komunikatif  jadi lebih menonjol. Karya hadir tidak hanya untuk "ditonton", melainkan untuk didialogkan dan lebih lagi : dialami. Dalam seni kontemporer lantas "karya" lebih merupakan "peristiwa". Dalam kerangka dialogis itu  otomatis sang seniman  lebih berfungsi sebagai semacam "fasilitator" yang memberi umpan  atau perangsang  bagi penciptaan makna bersama  pemirsanya. Dengan begitu seniman itu sendiri posisinya bukan lagi pusat. Pusatnya adalah "makna" yang  diharapkan terbentuk dari interaksi dialogis antara si seniman itu, karyanya dan persepsi penonton. 
          Dengan munculnya ketiga gejala diatas tadi  menjadi jelas bahwa  paradigma representasi  versi modernisme  yang  berpusat pada pribadi seniman sendiri sebagai "genius", penciptaan "adikarya" yang  abadi ( karenanya perlu museum), originalitas  sebagai diskontinuitas  terhadap tradisi,  dan  kecenderungan teknis formalistiknya yang sangat kuat, akhirnya bergeser ke paradigma  representasi baru dengan segala konsekuensi ikutannya. Dengan kata lain, bila "estetika" diartikan secara sempit sebagai "kaidah-kaidah berkesenian modern" macam di atas itu, maka hari-hari ini  mesti dikatakan  bahwa  sosok dan kiprah kesenian kontemporer  cenderung   "anti-estetik".  Bahkan bila ini memang betul bersifat paradigmatik. bisa saja dikatakan bahwa di bidang kesenian  abad ini dan mendatang adalah abad "post-estetik".
           Sementara  istilah "post-estetik"  masih  terasa problematis dan karenanya terbuka bagi perdebatan, satu hal kiranya jelas, yaitu bahwa arah baru dalam kinerja kesenian hari-hari ini telah memaksa orang untuk meninjau ulang hakekat  seni yang sesungguhnya. Dalam bentuknya  yang sekarang, dimana makna lebih dipertaruhkan ketimbang olah-bentuknya, seni tak lagi bisa dipahami  dari sudut "keindahan" dan kenikmatan  inderawi. Sekurang-kurangnya kategori "keindahan" tak lagi memadai  untuk itu.  Antara lain dalam arti ini juga dapat dikatakan bahwa seni  kini memasuki era "post-estetik". Secara tradisional istilah "Estetik"  sudah terlanjur erat berkaitan dengan konsep "keindahan" itu, sehingga kalau pun kini masih hendak digunakan, perlu dibuat isi pemahaman baru terhadap istilah itu.8 
           Kalau saja kita mengembalikan istilah "estetika"  kepada  akar kata Yunaninya, yaitu aisthanomai, maka  sebetulnya maknanya justru jadi dekat dengan pemahaman orang  saat ini. Aistanomai   artiya "saya  menyadari sesuatu".  Dalam konteks kontemporer   karya-karya seni umumnya merupakan  produk kegiatan kreatif  untuk me-refigurasi  realitas sehari-hari sedemikian hingga  bentuk- bentuk representasi pengalaman  terkena kritik. Dengan kata lain seni hari ini umumnya merupakan kritik atas pola-pola artikulasi yang  menguasai pengalaman . Ia menyadarkan kita tentang bagaimana kita de facto mengalami realitas sehari-hari dan memberi profil pada pengalaman itu, justru dengan cara me -revisi pengalaman-pengalaman itu dan mengarahkannya pada nilai-nilai tertentu.  Dalam rangka memberi titik berat pada aspek "pengalaman" itu pula agaknya  karya-karya seni hari ini lantas tak terlalu menggubris kaidah-kaidah estetik konvensional, yang karena itu sering di sebut "anti-estetik".9  Tapi bila  kita melihatnya dari sudut fungsinya  pada terbukanya kesadaran baru, maka  seni kontemporer justru berkorelasi  erat dengan akar kata "estetika", yaitu aisthanomai  itu tadi . Dari sudut ini tentu masih bisa disebut  "estetis".
Catatan :
1 Clement Greenberg,"Avant-Garde and Kitsch", Partisan Review 6 (Fall 1939) : 34-49; "Towards a Newer Laocoon", Partisan Review 7 ( July-August 1940) : 296-310
2  Clement Greenberg, "Modernist Painting", Arts Yearbook   4 ( 1961) : 109-16, dicetak ulang dalam Gregory Battcock,ed. The New Art  ( New york : E.P.Dutton,1966) : 101-3,107
3  Lihat wawancara Arthur Danto dengan Suzi Gablik, dalam  Suzi Gablik, Conversation Before The End of Time ,( London:Thames and Hudson,1995):277;  juga Arthur C. Danto, Beyond the Brillo Box : The Visual Arts in Post-historical Perspectives ( New York : Farrar,Straus and Giroux,1992)
4  Hal ini misalnya ditegaskan  oleh Habermas dalam  "Modernity versus Postmodernity", New German Critique 22 ( Winter 1981): 3-14
5 bandingkan Edward Said,"In the Shadow of the West", Wedge,nos 7-8 (Winter-Spring 1985):4
6 Bandingkan  Roland Barthes,Image-Music-Text (New York : Hill and Wang,1977):155-164
7 Dalam  gerakan Avant-garde ada semacam keyakinan bahwa "diri sendiri" adalah  sumber originalitas sedemikian hingga penciptaan dihayati sebagai sejenis kelahiran baru. Brancusi misalnya mengatakan, "Kalau kita bukan lagi anak-anak, berarti kita mati". Atau Malevich :" yang hidup hanyalah dia yang menolak keyakinan-keyakinannya dari masa lalu".  Lihat  Rosalind Krauss, " The Originality of the Avant-Garde: A postmodernist Repetition", dalam  Brian Wallis (ed)  Art After Modernism: Rethinking Representation  ( New York : The New Museum of Contemporary Art,1984): 18
8 A.J. Baumgarten  (1714-62) salah seorang yang paling awal memberi batasan  arti "estetika", dalam karyanya Aesthetica, menyebut estetika itu sebagai teori tentang "keindahan".  Dan selanjutnya pemahaman ini menjadi  sesuatu yang baku dalam dunia akademis. 
9  Elaborasi atas gagasan macam ini dari sudut Heidegger dan Benjamin dilakukan misalnya oleh Krzysztof  Ziarek  ,"After Aesthetics: Heidegger and Benjamin on Art and Experience", dalam  Philosophy Today, Spring 1997: 199-208
Dr. I.Bambang Sugiharto , meraih doktorat di Universitas Angelicum,Roma, Italia. Kini mengajar di Fak.Filsafat  dan Pascasarjana Unpar serta Pascasarjana SeniRupa ITB.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 
.jpg)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
1 komentar:
zzzzzzzz
no comment
Posting Komentar