Bambang Sugiharto[*]
Membicarakan ‘seni’ sebagai sesuatu yang penting, apalagi pokok, selalu terasa berlebihan. Sebabnya adalah karena seni umumnya dianggap sekedar sebagai hiburan dan hiasan. Sebagai hiburan, pentingnya seni hanyalah untuk membuat hati senang dan pikiran tenang, membantu kita untuk sejenak melarikan diri dari persoalan. Sebagai hiasan, pentingnya seni hanyalah untuk membuat diri tampil lebih menawan, atau membuat suasana terasa lebih nyaman. Begitulah, sebagai hiburan dan hiasan, seni berkait erat dengan urusan kesenangan, keindahan atau sekedar soal kemasan. Karena itu sesungguhnyalah ia tak teramat penting, kebutuhan ketujuh atau kesepuluh, suatu kemewahan. Ia hanya berarti, bila segala kebutuhan pokok sudah tercukupi.
Namun bahkan bagi mereka yang berkecimpung di bidang seni sekalipun, persoalannya kurang-lebih sama juga : mendudukan seni sebagai sesuatu yang penting dalam peradaban kini bukan lagi sesuatu yang sederhana, bahkan mungkin terasa mengada-ada. Pasalnya adalah konon ‘Seni sudah berakhir’, kata Arthur Danto, Victor Burgin, Joseph Kosuth, Hal Foster atawa Adorno.[1] Betapa tidak, dalam kehidupan yang kian dikelola oleh pasar, seni telah menjadi sekedar siasat pemasaran, atau lebih gawat lagi, strategi pembiusan, demi meraih berbagai keuntungan ( keuntungan ekonomi, juga politik, sosial, bahkan keagamaan). Sementara pada bentuknya yang paling serius pun –yang biasa disebut ‘Seni Kontemporer’- memang tak lagi jelas bedanya mana karya yang sungguh-sungguh ‘seni’, mana yang sekedar perilaku ganjil tak senonoh dari orang-orang frustrasi, kehilangan identitas atau sakit jiwa, yang mencari perhatian secara kekanak-kanakan. Tak heran bila bagi sementara orang, kalau pun seni masih ada, maka itu hanya terdapat pada karya-karya ‘adiluhung’, ‘klasik’ atau pun ‘modern’, yang bercitarasa keindahan tinggi dan halus (sublime). Dan di luar itu adalah sampah.[2]
Meskipun demikian, itu semua hanyalah pandangan selintas kesan. Dan kesan macam itu tak mesti sepenuhnya relevan; dari sisi tertentu bahkan menunjukkan kenaifan pemahaman dan kesempitan wawasan. Dalam sejarahnya, kata ‘seni’ memang telah mengalami berbagai perubahan konotasi. Bila kita telusuri sejenak berbagai perubahan itu maka kita dapat melihat gejala yang disebut ‘seni’ itu pada tingkat yang lebih dalam, lebih lentur, beserta perannya dalam kehidupan dan peradaban.
Seni Dalam lintasan sejarah
Pada dasarnya apa yang disebut ‘seni’ dan ‘bukan seni’ sudah selalu relatif dan terkait erat pada konstruksi budaya setempat. Batasan-batasan kategorial tentangnya bukanlah sebuah keniscayaan umum yang tak terganggu gugat. Sebuah keris, wayang atau gamelan, bagi masyarakat Jawa adalah ‘seni tinggi’ , berbobot filsafati dan merupakan produk kerja kontemplasi. Di dunia Barat kerap kali ia dianggap sekedar produk kriya, paling banter hanya penting sebagai artefak antropologi atau data penunjang etnografi. Sama halnya kaligrafi, yang di Cina, Jepang atau Arab merupakan seni tinggi dengan bobot spiritual mendalam, di dunia Barat tidaklah dianggap karya seni yang cukup berarti.
Namun pada skala umum konsep tentang seni pun memang berubah-ubah sepanjang sejarah. Dalam alam religiomitik-pramodern seni menyatu dengan segala kegiatan kehidupan sehari-hari, ia mengurusi sejak perkara pernak-pernik sesajen hingga misteri hidup dan mati. Di sini karakter umum seni itu simbolis dan langgam dasarnya dekoratif. Simbolis, sebab yang ditangkap bukanlah medan rupa seperti tampaknya, melainkan enerji batin di baliknya, misteri ilahi yang memancar dari auranya.[3] Dekoratif, sebab seni berfungsi menggarisbawahi suasana perayaan bersama. Itu sebabnya pula sosok senimannya tak teramat penting disana. Semua adalah dari dan untuk bersama. Dalam hal ini seni bukan pertama-tama menyangkut benda, melainkan menunjuk pada keseluruhan peristiwa, dimana kata, gerak, nada dan benda saling berkomunikasi, saling merasuki, menjadi mantra dan keajaiban upacara. Di sini seni menyatu dengan agama, filsafat dan pengetahuan, seperti yang masih kita saksikan jejak-jejaknya macam di Bali, Toraja atau Papua.
Dalam alam modern, itu semua berubah. Seni menjadi sesuatu yang lain. Kehidupan modern bersandar pada pemilahan-pemilahan tegas antar segala. Seni menjadi kegiatan mandiri, terpisah dari filsafat, ilmu pengetahuan dan agama. Seni menjadi medan penggalian makna hidup yang bersifat sangat pribadi, cermin kebebasan individu, perpaduan unik antara kehalusan rasa, kecanggihan keterampilan, ketakterdugaan imajinasi dan kecerdasan intelegensi seseorang yang disebut ‘seniman’ ( seni menjadi suatu profesi). Seni menjadi eksklusif dan elitis : sosoknya bukan lagi sebuah ‘peristiwa’, melainkan sebuah ‘karya’, produk para jenius, dengan tandatangan yang demikian prestisius, dan hanya dapat diapresiasi oleh mereka yang memiliki pengetahuan dan wawasan khusus. Bentuknya pun dipilah-pilah, menjadi seni lukis, seni patung, teater, sastra, tari, musik, dst., yang kelak masing-masing menemukan evolusinya sendiri-sendiri juga. Dan ketika di alam modern akhirnya agama semakin kehilangan wibawa, tersingkir oleh pesona filsafat dan kekuatan ilmu pengetahuan, seni otomatis mengambil-alih peran agama : seni menjadi medan eksplorasi kehidupan batin (spiritualitas), lengkap dengan lembaganya (museum, galeri,dsb) dan para ‘nabi’nya (para maestro). Untuk merenungi hakekat adikarya para jenius itu dibutuhkan kemampuan mengambil jarak kontemplatif dan kesanggupan melepaskan segala kepentingan (disinterested). ‘Kegunaan’ seni terletak pada ‘ketidakbergunaan’nya, ujar Adorno. Hanya dengan cara perenungan tanpa pamrih macam itulah konon kita dapat menangkap dimensi kedalaman batin yang paling halus, tersembunyi dan penting, di balik sebuah mahakarya ( the sublime: the unthinkable, yet inevitable).[4] Yang menarik adalah bahwa konsekuensi dari karakter reflektif seni moderen macam ini akhirnya membawa seni ke perumusan ulang terus menerus ihwal apa artinya ‘seni’ dan ‘berkesenian’ itu. Maka dalam era modern kita menyaksikan aliran demi aliran saling menolak dan baku-bantai. Dalam seni rupa, Impresionisme disusul Ekspresionisme, disangkal oleh Kubisme, diperdalam oleh Abstraksionisme, dibubarkan oleh Dadaisme,dst.dst. Alhasil, istilah ‘keindahan’ atawa ‘harmoni’ akhirnya tidak lagi penting. Yang penting adalah eksplorasi teknis dan filosofis. Musik, dari pengurasan kemungkinan musikal ala musik klasik akhirnya bergeser ke perenungan mendalam tentang ‘hakekat’ musik, fenomena ‘bunyi’ atau pun peran ‘sunyi’. Maka karya John Cage hanyalah sepotong ‘sunyi’, dan pemusik kontemporer Toni Prabowo menyetubuhi ‘bunyi’. Tarian, dari penataan simbolik gerak-indah menjadi upaya pencarian hakekat ‘gerak’ itu sendiri. Maka seniman tari Sardono W.Kusumo gemar berkubang di lumpur , di pantai atau menggelinding-gelinding di jalanan. Melukis, dari meniru benda-benda di luar-sana berubah menjadi petualangan ke alam ‘persepsi’, ke lapisan-lapisan terdalam jiwa , akhirnya ke ambang-ambang batas rasa sakit, kegilaan dan kematian.[5] Maka Chris Burden menciptakan karya berupa kegiatan menembak dirinya sendiri, Rudolph Schwarzkögler menyayati kemaluannya hingga mati, dan Günther von Hagens memamerkan 200 mayat yang diplastinasi. Sastra dan teater, dari olah konsep, karakter dan narasi pengalaman eksistensial berubah menjadi problematisasi bahasa, fiksi dan fakta itu sendiri. Maka teatrawan Antonin Artaud menggebuk bahasa, novelis Jorge Luis Borges mengacaukan fiksi dan fakta, penulis George Bataille mengaduk-aduk logika.
Kini, di era yang biasa disebut dengan istilah ‘Postmodern’ yang kontroversial itu, seni seperti melepaskan diri dari dunia intelektualistik-elitisnya yang sulit dimengerti, ia melebur kembali ke habitatnya semula : kehidupan sehari-hari. Sejak gerakan ‘anti-seni’ Marcell Duchamp menggelar pispot dan velg sepeda, sejak Warhol melukis kaleng sup ‘campbell’ dalam ukuran raksasa, sejak Performance Art masuk ke dalam kegiatan hidup sehari-hari yang biasa , mana ‘seni’ dan ‘bukan seni’ menjadi sulit membedakannya. Seni kembali menjadi bagian dari denyut kehidupan sehari-hari yang biasa.
Dalam tradisi Estetika Barat, seni telah selalu dimengerti sebagai ars (keterampilan), tékhnê (keahlian) dan berkaitan erat dengan ‘keindahan’. Yang sering lupa ditekankan adalah bahwa seni terutama berkaitan dengan ‘penciptaan’ (poein), dan akar kata ‘Estetika’ adalah aisthesthai , yang artinya adalah ‘persepsi’. Seni terutama adalah soal ‘menciptakan persepsi’ baru. Ia lebih terkait dengan ‘kebenaran’ kehidupan, daripada dengan ‘keindahan’.[6] Bukan kebenaran dalam arti kebenaran moral (Kebenaran yang diidealkan dan dinormakan), bukan pula kebenaran ilmiah (kebenaran yang dipolakan), melainkan kebenaran ‘eksistensial’ : kebenaran tentang ‘kehidupan ini sesungguhnya apa’ sejauh dialami, direnungkan, dirasakan dan diimpikan ( realitas Lebenswelt, kata Husserl).[7] Disini seni bernilai terutama karena ia mampu mengungkapkan hal-hal penting yang tak mungkin diungkapkan, melukiskan hal-hal yang dialami namun tak terpikirkan, tapi sekaligus kreatif menciptakan kembali terus-menerus kemungkinan-kemungkinan baru untuk memandang dan menghayati kenyataan. Pada sisi ini indah atau tidak indah tak lagi teramat relevan. Itulah sebabnya istilah ‘seni’ dalam kehidupan sehari-hari dikenakan pada berbagai kegiatan macam ‘seni memasak’, ‘seni merangkai bunga’, ‘seni berbicara’, ‘seni berpolitik’,dsb. Ia menunjuk pada keterampilan dan keahlian mencipta ulang dan menyiasati kemungkinan-kemungkinan yang tersedia. Pada titik inilah seni berkaitan erat juga dengan kegiatan ilmiah , teknologi dan seluruh denyut peradaban.
Seni, Ilmu dan Teknologi
Secara umum seni adalah proses berpikir melalui perasaan dan imajinasi. Berkat Fenomenologi Hussrelian kini kita menyadari bahwa kenyataan pertama dan paling dasar kehidupan adalah ‘kehidupan yang dialami dan dirasakan’ pada tingkat pra-reflektif dan pra-teoretis. Rekaman pengalaman kehidupan konkrit utama dan pertama yang langsung, mendalam dan padat itu antara lain adalah ‘perasaan’, alias emosi, hasrat dan gairah. Dunia versi ilmu hanyalah salah satu tafsiran saja atas kenyataan primer yang langsung dialami itu. Dunia dan kehidupan bukanlah ‘obyek’ yang daripadanya bisa kita tarik ‘hukum-hukum’nya. Dunia dan kehidupan adalah latar belakang dan medan segala pemikiran kita, sesuatu yang senantiasa menjadi bagian intim dalam diri, dan kita sudah selalu demikian menyatu dengannya. Dan kesatuan asasi itu muncul dalam ‘perasaan’,’imajinasi’ dan ‘perilaku’. [8] Pengalaman primer ini seringkali lebih tepat ‘dilukiskan’ lewat karya seni (novel, teater, musik, lukisan,dsb), daripada ‘dijelaskan’ oleh ungkapan ‘obyektif’ ilmiah, yang memang tak mungkin. Karena sifatnya yang selalu ‘umum’, penjelasan ilmiah atas kehidupan selalu terasa terlampau tipis, terpola dan abstrak dibandingkan dengan pelukisan lewat karya seni, yang selalu lebih tebal, menyentuh, konkrit dan tak terduga.
Dalam alam berpikir ilmiah-modern lama sekali ‘perasaan’ dicurigai bahkan didiskreditkan sebagai unsur irrasional yang bisa mengganggu bahkan membutakan penalaran dan ‘obyektivitas’. Namun adalah Michael Polanyi yang menyadarkan kita bahwa bahkan dalam kegiatan ilmiah pun selalu ada unsur perasaan, gairah dan hasrat (passion, desire, emotion) yang demikian menentukan. Dalam kegiatan ilmiah unsur perasaan itu berperan selektif, heuristik dan persuasif. Selektif, karena perasaanlah (intuisi) yang memberi isyarat apakah suatu penelitian itu berharga atau tidak berharga, layak ditekuni atau tidak, data mana yang kira-kira relevan dan persoalan mana yang mungkin dipecahkan. Heuristik (penggunaan cara di luar kelaziman sistem), karena penelitian yang mencari penemuan baru selalu membutuhkan keberanian untuk mengubah cara berpikir. Keberanian ini adalah juga soal perasaan. Persuasif, sebab setiap temuan baru perlu dikomunikasikan, dibela dan diperjuangkan agar dapat diterima dan diakui oleh komunitas ilmuwan. Dan disini perasaan ikut menentukan cara bagaimana temuan itu harus dikomunikasikan. Sebuah pembaharuan konsep, teorema atau pun aksioma, seringkali baru bisa diterima karena ketepatan metafora yang digunakan, elegansa penalaran, serta korelasi imajinatif-rasawi dari model yang digunakan. Dan semua itu adalah soal ketepatan perasaan dan imajinasi, soal ‘seni’ menyiasati medan dan kenyataan, ‘seni’ merumuskan dan melukiskan hal yang awalnya tak terrumuskan dan tak terbayangkan.[9]
Namun relevansi paradigma estetik atau seni umumnya terutama terasa pada ilmu-ilmu sosial-budaya atau ilmu-ilmu kemanusiaan (Human Sciences). Ketika di awal millennium ketiga ini ideologi-ideologi besar telah ambruk, dasar-dasar metafisik-transendental kehilangan kepercayaan, kerangka-kerangka makna tradisional tak lagi bergigi, sedang kanon-kanon kebenaran pun tak lagi pasti, maka ilmu-ilmu yang berurusan dengan manusialah yang justru harus berperan memegang kendali. Ilmu-ilmu yang dahulu disebut ‘Humaniora’ (ilmu yang membuat manusia lebih manusiawi), yakni Filsafat, Sejarah, Studi Agama, Sastra, Seni dan Bahasa, perlulah diberikan sebagai kajian kritis atas riwayat panjang pergumulan batin manusia, serentak peluang terbuka ke arah penciptaan diri individu yang matang. Di sini pulalah paradigma estetik menjadi sentral sebagai “Aesthetics of Existence”, yaitu proses penciptaan diri dan kehidupan sebagai karya seni pribadi; proses mengelola perasaan, imajinasi dan hasrat untuk mengartikulasikan pengalaman dan merumuskan pemikiran; proses menjajagi secara kritis dan imajinatif berbagai kemungkinan menjelaskan dan memberi makna kenyataan.[10] Dalam rangka itu, bahkan ilmu-ilmu pasti dan ilmu teknik pun bisa diajarkan sebagai permainan menjajagi bermacam tawaran kemungkinan memahami dan merekayasa kenyataan macam itu, bukan proses penjejalan ‘hukum alam’ dengan segala pretensi keniscayaannya yang pasti dan abadi.
Akan halnya di bidang teknologi, seni berperan penting di sana karena teknologi adalah sesuatu yang didesain. Aktivitas perancangan dan rekayasa itu selalu melibatkan imajinasi artistik karena berurusan banyak dengan olah-bentuk, olah-fungsi dan olah- makna. Tapi teknologi berkait erat dengan seni terutama karena teknologi adalah sarana pembentuk dan penyampai substansi ‘isi’ (pesan). Itu terutama terasa dalam teknologi komputer dan televisi dimana substansi isi itu ( game, internet, acara TV, dsb) tidak hanya ditentukan oleh kemajuan teknik, melainkan terutama oleh keterampilan dan visi artistik.[11] Lebih jauh lagi, makna teknologi terutama terletak pada dampak praksisnya, yang telah mengubah tata-nilai, cara bersikap, cara merasa dan pola-pola hubungan dalam dunia manusia hingga ke tingkat yang teramat pelik. Sedemikian pelik dampak itu hingga untuk memahaminya, mengandalkan kajian teoretik ilmiah saja akan terlalu steril dan kerdil. Pada titik inilah karya-karya seni dalam bentuk novel, seni-rupa, teater, film,dsb. seringkali lebih mampu melukiskan secara effektif bagi kesadaran, imajinasi dan hati, kepelikan dan kompleksitas dunia tekno-praksis tadi: resiko yang mendalam dari teknologi; kemungkinan barunya yang menjanjikan sekaligus menakutkan; kemampuannya mengubah tatanilai, perasaan dan imajinasi; korban-korbannya; ketaksaannya, dsb.
Peradaban
Akar pengalaman estetik sebenarnya adalah pengalaman keseharian, terutama pengalaman tentang sisi dramatik dinamika gerak dan perubahan kehidupan[12]. Kecemasan orang yang berkerumun saat melihat kecelakaan di jalanan. Ketegangan penonton saat mengikuti lompatan-lompatan bola dalam permainan sepak-bola. Keharuan seseorang saat melihat bunga pertama menyeruak dari tanaman yang selalu disiraminya. Perasaan aneh saat melihat api membesar ketika kita siramkan minyak ke atas bara. Kepekaan atas medan bentuk serta pengalaman atas gerak-denyut kehidupan macam itulah akar dari kesadaran estetik dan kecenderungan berkesenian. Itulah pengalaman-pengalaman yang membuka indera manusia pada kaitan-kaitan halus terselubung antar berbagai kejadian, yang menggiringnya pada perenungan lebih mendalam ihwal misteri alam dan kehidupan, yang menjebaknya pada keharuan-keharuan tanpa alasan atas matahari, angin, tanaman atau pun hujan, tapi juga yang mendorongnya sampai pada pemikiran-pemikiran paling imajinatif dan brilian.
Pengalaman macam itulah yang akhirnya mengubah sikap reaktif menjadi kreatif, pola reseptif menjadi formatif. Maka semesta yang ditangkapnya lantas dirayakan dan diungkapkannya juga dalam medan bentuk, rupa, kata, gerak dan nada; diukirnya pada batu, kayu, tubuh atau pun dinding gua. Bahkan perang pun dirayakannya dengan dekor misteri hidup dan mati : dihiasnya tubuh, tombak atau pun perisai dengan warna-warni. Alhasil dunia manusia adalah dunia ‘bentuk’ yang diciptakannya. Dan ‘seni’ adalah segala upaya untuk memberi bentuk manusiawi pada hidup dan semesta, berbagai cara membiakan aspirasi batin lewat penciptaan benda dan peristiwa. Dan dunia yang diciptakannya itu diubahnya kembali setiap kali, karena perubahan situasi dan kondisi, tapi juga karena hidup memang sebuah proses ‘menjadi’, proses pertumbuhan ruh ke tingkat lebih halus dan lebih tinggi. Maka jingkrak-jingkrak spontan kebahagiaan yang tak terkoordinasi berubah menjadi tarian, gerak komunikasi tubuh tanpa bentuk menjadi perilaku santun terpolakan, seruan rasa yang kacau menjadi bahasa pelik sarat gagasan, pencerapan ukuran diberinya bentuk matematis-geometris demi penghitungan. Sistem-sistem nilai pun ditata ulang kembali setiap kali. Kekerasan , dari simbol kekuatan berubah menjadi isyarat kelemahan; sedang mereka yang lemah, awalnya dianggap sebagai pihak yang kalah, perlahan berubah, menjadi pihak yang wajib dilindungi, bahkan wajah suci sapaan ilahi. Kekejaman pedang harus berhenti dihadapan lawan yang tak berdaya. Memaafkan menjadi lebih mulia daripada balas-dendam .
Demikianlah, seni, sebagai tendensi kreatif umum untuk membentuk dunia manusia menjadi lebih manusiawi akhirnya menghasilkan rasa ‘keberadaban’, suatu tolok ukur umum evolusi kemanusiaan. Tak mengherankan bila filsuf macam Friedrich Schiller menyebut tingkat tertinggi peradaban sebagai Aesthetic State, suatu situasi hidup bersama yang dikelola oleh rasa ‘keindahan terdalam’. Disana, katanya, peradaban adalah situasi dimana manusia sebagai Ruh semakin mampu memandang lebih dalam aspek keRuhaniannya, dimana kekuasaan berubah menjadi kepedulian, nafsu menjadi komitmen cinta, hasrat menjadi solidaritas, sedang kerendahan hati dan belarasa menjadi sesuatu yang sangat mulia.[13]
Seni akhirnya adalah soal makin tajamnya kesadaran makna dan nilai di balik ‘bentuk’, bentuk alam semesta, bentuk perilaku manusia, tapi juga bentuk sistem dogma, bentuk kehidupan bersama, dsb. Imajinasi kreatif yang menggerakannya adalah juga yang melahirkan ilmu dan teknologi, segala sistem kepercayaan dan sistem-sistem gagasan, artinya, yang membentuk seluruh gerak kebudayaan dan peradaban. Dalam arti luas, seni adalah berbagai siasat untuk memasuki kemungkinan-kemungkinan pemaknaan lebih dalam atas pengalaman, kesemestaan dan kemanusiaan. Pada titik ini ‘keindahan’ hanyalah kata lain untuk ‘kebenaran’ dan ‘kebaikan’.
[*] Prof.Dr. Bambang Sugiharto, pengajar filsafatdi UNPAR dan ITB
Catatan
[1] Tengoklah berbagai pendakuan macam itu antara lain pada Victor Burgin, The End of Art Theory: Criticism and Postmodernity ( Atlantic Highlands, NJ : Humanities Press nternational, 1986); Arthur Danto, Philosophical Disenfranchisement of Art (New York : Columbia University Press, 1986), atau Hal Foster, The Anti-Aesthetic : Essays on Postmodern Culture (New York : New Press, 1983).
[2] Lihatlah berbagai artikel dalam Ahmad Norma (ed), Seni, Politik, Pemberontakan (Yogyakarta : Bentang, 1998), terutama artikel Barbara Rose , “Protes dalam Seni”, hlm 106-26. Dan pandangan macam ini sebetulnya beredar luas di kalangan mereka yang sangat memuja seni klasik dan modern, di dunia Barat tapi juga di Indonesia.
[3] Kecenderungan masyarakat pra-modern untuk mendistorsi bentuk hingga menjadi sangat stilistik bukanlah cermin ketidakakuratan perceptual mereka, melainkan ungkapan intensi mereka untuk menampilkan interioritas di balik bentuk fisik, aura sacral-misterius di balik tampilan material.
[4] Pandangan modern tentang apresiasi seni macam ini terutama diolah dengan canggih oleh Immanuel Kant ( abad 18) dan selanjutnya menjadi semacam doktrin umum Estetika Modern.
[5] Produk seni mutakhir banyak sekali diwarnai kegilaan, kekerasan dan kematian. Telaah atas tendensi negatif ini telah banyak ditulis orang. Salah satu yang menarik adalah tulisan Paul Virilio, Art and Fear, (London : Continuum, 2000)
[6] Fokus pada ‘keindahan’ dalam seni berakar pada filsafat Thomas Aquinas yang Aristotelian yang memadankan keindahan, dengan kebenaran dan kebaikan (Pulchrum,Verum, Bonum), namun selanjutnya mendapat penekanan berlebihan dalam tradisi Barat sejak Alexander Gottlieb Baumgarten mencanangkan istilah ‘Estetika’ di abad 18.
[7] Proyek fenomenologi Hussrel sebetulnya bermaksud mencari dasar tak tergugat bagi kepastian ilmu pengetahuan (strenge wissenschaft) namun yang akhirnya ia temukan adalah pengalaman pra-reflektif di balik segala tafsiran kita, suatu realitas yang ia sebut Lebenswelt, yakni dunia kehidupan yang dihayati secara konkrit dan langsung, yang mendahului segala kegiatan pemikiran dan tafsiran kita atasnya. Bandingkan E.Husserl, Cartesian Meditations, terj. David Cairns (The Hague : Martinus Nijhoff, 1960) hlm. 136-37
[8] Ini terutama adalah penelusuran fenomenologis lebih lanjut dari Merleau-Ponty, lihat Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, terj. Colin Smith (New York : The Humanities Press, 1962) hlm viii-xi
[9] Lihat Michael Polanyi, Personal Knowledge (London : Routledge and Kegan Paul, 1969) hlm 143-59; juga perlu dilihat bahwa dalam pembentukan teori, terminologi baru beserta model yang menyertainya, imajinasi metaforik -seperti yang berperan di bidang seni- sangatlah ikut menentukan. Bandingkan Max Black, dalam A.Ortony (ed), Metaphor and Thought ( Cambridge : Cambridge University Press, 1993) dan Marry B. Hesse, Models and Analogies in Science ( Notre Dame,IN : University of Notre Dame Press, 1966)
[10] ‘Aesthetics of Existence” adalah inspirasi dari tradisi Nietzschean, yang lebih lanjut banyak dikembangkan oleh kaum post-strukturalis macam Michel Foucault, Derrida atau pun Roland Barthes.
[11] “The Medium is the message”, kata Marshall McLuhan, artinya bahwa konstruksi teknologi itu sendiri akhirnya menentukan substansi macam apa yang dimungkinkan beredar dan dikomunikasikan. Telaah lebih dalam mengenai ini lihat Eric McLuhan, Essential McLuhan ( Concord : House of Anansi Press Ltd, 1995)
[12] John Dewey membahas dengan mendalam dan cemerlang keterkaitan antara estetika dan pengalaman keseharian. Disana sempat ia katakana bahwa karya-karya seni besar adalah ‘paradigma pengalaman’. Lihat John Dewey, Art as Experience ( New York : Perigee Book, 1934)
[13] Lihat Friedrich Schiller, “ On the Aesthetic Education of Man” dalam David E.Cooper (ed), Aesthetics, the Classic Readings (Oxford : Blakwell Publishers Ltd, 1997) hlm123-136
Kepustakaan
Burgin, Victor, The End of Art Theory : Criticism and Postmodernity ( Atlantic Highlands, NJ: Humanities Press International, 1986)
Cooper, David (ed), Aesthetics, the Classic Readings (Oxford : Blackwell Publishers Ltd, 1997)
Danto, Arthur, Philosophical Disenfranchisement of Art (New York : Columbia University Press, 1986)
Dewey, John, Art as Experience (New York : Perigee Book,1934)
Foster, Hal, The Anti-Aeshetic : Essays on Postmodern Culture ( New York: New Press, 1983)
Hesse, Mary B., Models and Analogies in Science (Notre Dame, IN : University of Notre Dame Press, 1966)
Husserl, Edmund, Cartesian Meditations (The Hague : Martinus Nijhoff,1960)
McLuhan, Eric, Essential McLuhan (Concord : House of Anansi Press Ltd, 1995)
Merleau-Ponty, Maurice, Phenomenology of Perception (New York : The Humanities Press,1962)
Norma, Ahmad, Seni, Politik, Pemberontakan ( Yogyakarta : Bentang, 1998)
Ortony, A, Metaphor and Thought (Cambridge : Cambridge University Press, 1993)
Polanyi, Michael, Personal Knowledge (London : Routledge and Kegan Paul, 1969)
Virilio, Paul, Art and Fear (London : Continuum, 2000)
Jumat, 06 Juni 2008
SENI, LINGKUNGAN DAN SKIZOFRENIA
Oleh : Bambang Sugiharto
Hal yang demikian dekat dengan kita seringkali justru jauh dari kesadaran. Layaknya ikan sulit menyadari dan memahami air, manusia modern pun harus melalui perjalanan panjang berputar untuk menyadari pentingnya lingkungan. Manusia modern dan lingkungan alam memang senantiasa berada dalam tegangan: antara melepaskan diri darinya atau justru meleburkan diri ke dalamnya, antara titik berat pada kultur atau menjadi bagian dinamis dalam natur. Dunia seni adalah manifestasi menarik dari tegangan macam itu.
Di satu pihak manusia modern menyadari misteri, keunikan dan pesona alam semesta umumnya melalui representasi artistiknya berupa lukisan, foto, musik, video atau pun film; di pihak lain kerangka artistik modern sendiri justru bertendensi kuat kian menghilangkan lingkungan alam sebagai bahan refleksinya (sebagai subject matter-nya). Ketika terlepas dari agama dan menjadi suatu wilayah otonom tersendiri dalam kiprah peradaban manusia, seni modern berangsur-angsur kian terlepas dari eksterioritas dan menyuruk kian mendalam ke wilayah interioritas, terperangkap dalam inflasi individu, dan memasuki wilayah skizofrenia yang ambigu dan kadang berbahaya.
Modernitas, estetika dan alam
Sekurang-kurangnya sejak abad 17 hingga 18, dualisme Cartesian demikian kuat menguasai sikap manusia terhadap lingkungan alam. Alam adalah realitas wadag material, res extensa; sedangkan manusia, terutama akalnya, adalah realitas batin, pikiran-non-material, res-cogitans . Dualisme yang telah mengompori kinerja ilmiah awal ini lantas berselingkuh dengan kepentingan teknologi dan kapitalisme, sehingga kian terlembagalah pola sikap Subyek-Obyek : manusia adalah subyek, alam adalah obyek belaka, medan untuk ditaklukan, dieksplorasi dan dieksploitasi. Maka alam kehilangan pesona magisnya, kehidupan kehilangan misterinya. Pusat gravitasi adalah manusia, dengan segala kepentingannya.
Di sisi lain, sikap epistemologis-teknis macam itu diimbangi oleh sikap estetis, yang justru menghargai lingkungan alam. Memang tampak paradoks. Perspektif klasik estetika abad 18, yang menggumpal pada Immanuel Kant, meyakini bahwa yang pokok dalam apresiasi estetis adalah sikap “tanpa kepentingan” ( disinterestedness), yaitu sikap yang melepaskan diri dari kepentingan sehari-hari yang teknis dan praktis atau pun kepentingan pribadi. Lingkungan , baik urban, rural, atau pun belantara hutan, dilihat sebagai sesuatu yang sublim dan indah. Namun disini lingkungan alam sebenarnya tetaplah juga diapresiasi secara formalistik sebagai medan obyek, dan terutama sebagai lanskap, yang berkarakter picturesque. Pada abad ini memang ada juga orang seperti J.J.Rousseau, yang melihat lebih jauh, yakni melihat alam sebagai setting kodrat manusia yang lebih otentik ketimbang setting kultural iptek modern, yang dianggapnya meracuni potensi-potensi natural manusia. Namun pandangan macam ini baru menemukan gaungnya yang tepat kelak di abad 19 pada masa Romantik.
Romantisisme abad 19 memang jatuh cinta pada alam . Henry David Thoreau atau juga John Muir misalnya, dengan cara yang berbeda, menekankan pentingnya interaksi dengan alam liar. Alam liar bagi mereka lebih tinggi daripada peradaban dan kultur manusia. Interaksi non-eksploitatif dengan alam itu akan membawa transformasi penting bagi dunia manusia. Darwin bahkan mendudukkan manusia sekedar sebagai salah satu unsur saja dalam alam. Sementara alam sudah dilihatnya sebagai berbagai unsur yang saling tergantung satu sama lain. Di sisi lain, para pengritik budaya modern teknologis macam Herder, Goethe, Humboldt atau pun Schiller, kendati cenderung menganggap modernitas sebagai dangkal dan non-reflektif, toh tetap juga memberi prioritas lebih pada kultur ketimbang natur, pada seni ketimbang teknologi. Seperti halnya Hegel, yang dalam sistem filsafatnya juga tetap memprioritaskan realitas artifaktual sebagai antitesis atas realitas natural. Tapi pada Nietzsche agak lain. Dalam kerangka berpikirnya kultur, seni dan natur bukanlah hal-hal bertentangan. Ketika dikritiknya bahwa peradaban modern (Zivilisation) adalah proses de-naturalisasi insting dan de-intellektualisasi kultur, maka bagi Nietzsche kultur yang sebenarnya haruslah merupakan manifestasi dari insting natural daya-daya hidup, dan itu pula kekuatan yang mesti diungkapkan seni. Kendati semua itu, secara umum pola apresiasi terhadap alam dalam karya seni tetaplah : subyek terhadap obyek artifaktual seni. Artinya alam tampil dalam representasi artistiknya.
Di penghujung abad 19 tendensi ambivalen macam di atas itu mulai menghilang dalam style baru yang muncul saat itu : “impressionisme”. Sebabnya karena alam sendiri sebagai obyek mulai menyublim disana. Munculnya kamera foto saat itu mengakibatkan pola “mimetis” dan konsep “representasi” dalam kiprah seni menjadi problematis. Maka para seniman lantas asyik mempersoalkan misteri “persepsi” itu sendiri. Timbullah gagasan bahwa melukis, misalnya, bukan berarti menangkap realitas wujud dalam arti harfiah fisikalnya, melainkan menangkap kesan sesaat: menangkap cuaca, cahaya, kabut, udara, kontur imaji total dalam momen-momen yang berlari, kesemantaraan yang tidak abadi. Ada pergeseran titik berat disana, dari visualitas ke impressi jiwa; dari benda ke suasana.
Pergeseran dari eksterioritas ke interioritas ini makin radikal dalam “ekspressionisme” yang masuk lebih ke dalam , memberi tekanan berat pada reaksi mental, emosi, gelegak energi si seniman pribadi. Maka, atas nama ekspressi, obyek pun didistorsi sesuka senimannya. Kalau pun alam menjadi obyeknya, bukan alam itu sendiri yang penting, melainkan disposisi mental sang seniman (van Gogh, dsb), atau upaya untuk mengundang reaksi emosi dan rasa dari sang pemirsa(Matisse, Derain,dsb). Dan tendensi ini kian mengkristal dalam “abstraksionisme”. Disana aspek representasi obyek di luar hilang sama sekali. Yang terjadi lantas hanyalah eksplorasi ruang batin pada tingkatnya yang paling sublim, gelap dan misterius, yang tak terpikirkan sekaligus tak terelakkan (Kandinsky, Rothko, Pollock,dsb) . Ironisnya, di sisi lain abstraksionisme adalah juga renungan atas elemen-elemen dasar bentuk, rupa dan materialitas itu sendiri juga (Malevich, Mondrian, Kurt Schwitters,dll). Maka yang terjadi disini sebenarnya adalah proses interiorisasi subyek sekaligus penyelaman ke balik obyek. Kalau pun masih ada jejak-jejak obyek luaran disana, itu muncul dalam bentuk reduksinya ke dalam elemen-elemen dasarnya belaka.
Di abad 20, sejak pasca Perang Dunia I dan II, Dadaisme, dan revolusi kaum muda tahun 60-an, terjadi perubahan mendasar ihwal hubungan antara seni dan lingkungan di luarnya. Dari sudut bentuk terjadi eksplorasi segala kemungkinan baru, yang bahkan menerabas segala batasan kategorial modern. Ini khususnya terasa intens dalam tendensi Avantgardisme. Lukisan dua-dimensi dibongkar , berubah menjadi “kolase”; kolase menjadi “assemblase” 3 dimensi; assemblase tumpah keluar bidang kanvas dan tergerai di lantai menjadi “installasi”; installasi menjelma menjadi gerak dalam “performance-art” atau happening. Di awal abad 21 performance-art akhirnya ke luar dari ruang eksklusifnya menjadi aksi sosial dalam segala banalitas konteksnya. Yang terjadi di sini adalah lenyapnya batas angker antara dunia seni yang eksklusif dan situasi sehari-hari. Pola apresiasi seni pun berubah total bukan lagi sekedar Subyek terhadap Obyek, melainkan Subyek terhadap Setting . Seni menjadi peristiwa kolektif dalam setting multisensoris totalnya.
Permasalahannya
Ketika seni menyatu kembali dengan denyut kehidupan sehari-hari, tentu peluang bagi seni untuk mencebur kembali dengan alam pun besar. Masalahnya adalah bahwa, sejak impressionisme hingga berbagai bentuk avantgardisnya, seni modern terlanjur demikian kuat terperangkap dalam kerangka interioritas dunia manusia. Seni mengalami “inflasi individu” sedemikian hingga terasa narsistik. Ia menjadi semacam petualangan kedalam lapisan-lapisan psike paling tersembunyi dalam diri, wilayah gelap yang paling tabu, tak terduga dan liar ( Rudolf Schwarzkogler yang menyayati kemaluannya hingga mati, misalnya, atau Vito Acconci yang merekam dirinya bermasturbasi) . Ia bermain dengan ambang batas daya toleransi kejiwaan dan kebertubuhan (Stelarc yang menggantung tubuhnya dengan kail-kail besar, misalnya),serta mengeksplorasi wilayah insting-insting paling purba, ganas dan keras. Konsekuensi dari ini semua adalah makin lenyapnya alam dalam karya seni, dan sekaligus makin besar tendensi skizofrenia alias kegila-gilaan disana. Karya seni bukan hanya mengeksplorasi wilayah kegilaan, melainkan sendirinya juga berkarakter skizofrenik. Tengoklah karya-karya macam body-art dari Chris Burden (yang menembak dirinya sendiri), atau performance-art dari Carolee Schneeman (yang memasuk-keluarkan benda tertentu ke dalam vaginanya), teater Artaudian yang mengeksplorasi impuls-impuls tubuh dan emosi paling liar, atau film-film Peter Greenaway dan Jarman yang persis memainkan ambiguitas pengalaman-pengalaman liminal tubuh, emosi dan imajinasi. Tak mengherankan bahwa akhirnya dunia seni macam ini melahirkan pula seni-mayat seperti yang dipamerkan seniman ahli bedah Günther von Hagens, yang karya seninya berupa 200-an mayat yang telah diplastinasi menjadi berbagai patung tubuh. Semua gejala ini akhirnya juga memaksa para apresiator awam memasuki ambang-batas daya tahan psikenya sendiri juga.
Yang terjadi di sini lantas bukan hanya seni kehilangan dimensi transendensi, melainkan bahwa ia tenggelam dalam medan imanensi: imanensi dunia manusia, tapi juga imanensi dunia seni yang eksklusif itu sendiri. Seni terus-menerus memperkarakan dirinya sendiri saja, lantas menjadi begitu akrab bukan saja dengan naluri kegilaan, melainkan juga dengan naluri-naluri kematian. Bukan hanya para senimannya menyiksa diri sampai mati atau mengeksplorasi kematian, setiap aliran pun saling mencurigai bahkan saling bantai. Yang muncul, khususnya dalam Avantgardisme, akhirnya hanyalah sensasi demi sensasi, tanpa isi. Tidaklah mengherankan bahwa seni modern sendiri pun akhirnya “mati” (kata Arthur Danto).
Dalam seni modern memang kategori “keindahan” tak lagi dipedulikan, diganti “kebermaknaan”, “kebenaran” (kebenaran eksistensial) atau pun sensasi permukaan ( the erotics , kata Susan Sontag). Dan memang sulit sekali mengapresiasi keindahan dalam karya-karya modern yang kadang demikian brutal itu. Tentu saja fokus kuat pada kebenaran eksistensial ini bukan tanpa nilai. Ia telah membawa seni memasuki medan reflektivitas manusia ke tema-tema dan kedalaman paling tersembunyi dan paling tak terduga, yang dalam karya-karya besar klasik tak pernah dieksplorasi dan diolah secara demikian eksplisit. Dan fokus terhadap kebenaran eksistensial itu pula yang akhirnya telah membawa seni melebur kembali dalam banalitas hidup sehari-hari, yang pantas disyukuri. Sayangnya, ketika ia telah menyatu dengan kehidupan sehari-hari ia cenderung menjadi gerakan-gerakan sosial biasa. Pada titik ini ia pun terancam kehilangan kekuatan craftsmanshipnya, dan dengan itu kehilangan pula daya magis-metaforiknya, lantas jatuh menjadi sekedar aktivisme yang kelewat harfiah belaka. Singkatnya, permasalahan seni modern terletak pada narsisismenya yang cenderung skizofrenik, keterkungkungannya pada imanensi yang akhirnya sering jatuh menjadi sekedar rangkaian sensasi, hilangnya sisi “keindahan” dan lemahnya kekuatan metaforis-magis.
Aspek keindahan dan kekuatan metaforik mestinya tetaplah penting dalam seni. Hanya saja keindahan barangkali kini perlu juga dipahami secara lebih luas. Bukan sekedar keindahan kompositoris atau picturesque bentuk visual, tapi terutama keindahan dalam arti kemampuan suatu gubahan olah-bentuk untuk menyentuh lapisan batin paling dalam dan effektif dalam membuka kesadaran. Keindahan penting karena ia adalah cara paling efektif dimensi transendensi menyentuh indera batin kita; sekaligus cara manusia keluar dari keterpenjaraan intern-nya dan menyatu dengan Ruh Semesta, dengan Anima Mundi, dengan dunia batin alam yang lebih luas. Sedang metafor penting karena ia merangsang proses transformasi kesadaran ke tingkat lebih tinggi, proses de-literalisasi kenyataan sehari-hari, yang memungkinkan kita melihat hal yang lebih jauh dan lebih besar di balik hal-hal fisik yang tampak sepele. Bila keindahan dan kekuatan metaforik tetap diperhitungkan dalam praktik berkesenian, maka lebih mudah agaknya seni menggamit kembali realitas di luarnya: lingkungan semesta, bahkan keilahian kosmik transendental.
Kiblat baru berkesenian
Ketika periode avantgard modern berlalu, dalam kiprah seni kontemporer pasca modernisme hari ini sebenarnya kepedulian terhadap alam memang makin besar. Alam digunakan sebagai bagian integral dari patung, tarian, teater atau pun installasi, dan menjadi inspirasi utama pula dalam berbagai bentuk kerja desain. Sepertinya seniman mutakhir saat ini tak lagi sedemikian terkungkung oleh individualitasnya. Sosok karya seni pun bukan lagi semata berupa entitas artifaktual mandiri, melainkan sering pula berupa proses dan interaksi. Nilai karya seni Christo yang umumnya berupa instalasi-instalasi raksasa dalam setting alam, misalnya (Layar raksasa yang membentangi perbukitan atau mem-frame pulau-pulau), terletak bukan saja pada nilai kekaryaan monumental dari seorang seniman bernama Christo, melainkan juga pada daya gugah puitiknya bagi kesadaran pemirsa terhadap alam, sekaligus pada seluruh proses kerja Christo yang melibatkan demikian banyak pihak dan tahapan proses birokrasi. Totalitas proses dan interaksi macam itu pula yang menandai kebermaknaan proyek-proyek teater-lingkungan dari seniman macam Richard Schechner , proyek tarian Sardono W. Kusumo, aksi tanam pohon Tisna Sanjaya, kiprah Arahmaiani di desa-desa di jawa tengah, atau bahkan dalam pembuatan film-film Garin Nugroho, misalnya. Dan berkat makin gencarnya gerakan environmentalisme, kiprah kesenian pun makin banyak menggarap tema dan perspektif lingkungan.
Namun dalam kaitan dengan lingkungan, barangkali yang lebih radikal menentukan keterkaitan antara seni dan lingkungan sebenarnya adalah imajinasi metafisik di balik konsep “seni” dan “berkesenian” itu sendiri. Selagi seni tetap dimengerti sebagai reflektivitas dan virtuositas individual seperti dibayangkan dalam kerangka estetika Aufklärung Kantian, maka seni akan tetap urusan para genius yang langka, suatu kemewahan elitis, yang hanya pantas dipandangi di etalase galeri, museum atau pun panggung-panggung kesenian bergengsi, tanpa sungguh-sungguh bisa diapresiasi dan dipahami kebanyakan orang, tanpa relevansi dengan kehidupan sehari-hari.
Pada titik ini pandangan metafisik tradisional pra-modern tentang kesenian justru menjadi sangat menarik dan relevan. Seperti masih banyak kita saksikan di daerah-daerah, macam di Bali, Toraja atau pun Asmat, seni bukanlah semata-mata perkara teknis, skill dan virtuositas, karenanya bukanlah hanya urusan para genius. Seni bukan pula soal perspektif disinterested berjarak, melainkan justru sebaliknya, soal keterlibatan total dalam lingkungan, yang dasarnya adalah imajinasi metafisik yang berkarakter monistik : bahwa manusia adalah bagian dari totalitas kenyataan kehidupan yang satu jua; bahwa segenap realitas adalah totalitas yang berjiwa. Disini seni lantas adalah perayaan hubungan ruhani kosmik itu, adalah aktivitas-aktivitas olah-bentuk dalam rangka memberi dimensi batin pada benda-benda dan peristiwa. Dalam kerangka macam ini seni lantas adalah urusan semua orang. Seni bukan pertama-tama soal kepiawaian, melainkan soal ritual dan perayaan. Kecanggihan teknis bernilai dalam rangka intensifikasi perayaan itu. Dalam perspektif ini bukan para seniman yang merupakan manusia istimewa, melainkan setiap manusia adalah seniman istimewa. Yang dianggap karya seni pun bukan lagi sekedar obyek artifaktual tertentu, melainkan keseluruhan proses dan interaksi yang terjadi, keseluruhan unsur dan peristiwa. Seni bukan pula ekspressi pribadi yang idiocyncratic, melainkan proses artikulasi diri-komunal, yang setiap kali mendefinisikan ulang hakekat kesatuan dasariah antara manusia dan alam, realitas mikro dan realitas makro; proses me-recharge ruh individu maupun kolektif dengan menyatukannya setiap kali dengan Anima Mundi. Kesenian adalah aneka ritual yang setiap kali mengingatkan kembali misteri, kerumitan, keagungan dan keindahan daya-daya kosmik transendental. Maka disini kepekaan estetik adalah sekaligus kepekaan terhadap yang sakral.
Maka agaknya seni akan bisa lebih total menggamit kembali lingkungan alam kini hanya bila seni kontemporer dapat bersekutu kembali dengan khasanah dan worldview metafisik tradisional macam itu. Berbagai gejala ke arah sana telah muncul dimana-mana, entah dalam rupa ritualisme baru, performance art sebagai gerakan sosial atau pun berbagai eksperimen yang mensenyawakan ruh tradisional dengan seni kontemporer. Dan disana yang menjadi kunci akhirnya adalah bahwa krisis ekologis fisik sebenarnya berakar pada masalah krisis spiritual. Bukanlah kebetulan, bahwa ketika seni modern terlepas dari medan spiritual ia menjadi teramat akrab dengan naluri-naluri kematian, penghancuran dan kegilaan. Namun di sisi lain ini tak mesti berarti bahwa lantas seni mesti dikait-kaitkan dengan agama. Medan spiritual jauh lebih luas dan lebih misterius ketimbang yang sempat diartikulasikan oleh agama. Bahkan pada titik tertentu agama sebagai pelembagaan spiritualitas bisa justru mematikan dinamika spiritual yang otentik dan membunuh seni juga , atas nama legalisme formal, ritualisme, dogmatisme, dsb. Yang lebih dibutuhkan adalah bagaimana seni mampu di satu pihak mengartikulasikan gejolak batin kolektif yang otentik, di pihak lain sekaligus menghadirkan dimensi transendensi ke dalam realitas sehari-hari. Demikian transendensi, keindahan dan kekuatan metaforis agaknya bukanlah hal yang kedaluarsa. Sebaliknya, itu tetaplah unsur-unsur esensial yang menjaga kebermaknaan dan kesehatan kesenian dan dunia manusia.
Bambang Sugiharto, pengajar Filsafat di Unpar dan ITB, Bandung.
Hal yang demikian dekat dengan kita seringkali justru jauh dari kesadaran. Layaknya ikan sulit menyadari dan memahami air, manusia modern pun harus melalui perjalanan panjang berputar untuk menyadari pentingnya lingkungan. Manusia modern dan lingkungan alam memang senantiasa berada dalam tegangan: antara melepaskan diri darinya atau justru meleburkan diri ke dalamnya, antara titik berat pada kultur atau menjadi bagian dinamis dalam natur. Dunia seni adalah manifestasi menarik dari tegangan macam itu.
Di satu pihak manusia modern menyadari misteri, keunikan dan pesona alam semesta umumnya melalui representasi artistiknya berupa lukisan, foto, musik, video atau pun film; di pihak lain kerangka artistik modern sendiri justru bertendensi kuat kian menghilangkan lingkungan alam sebagai bahan refleksinya (sebagai subject matter-nya). Ketika terlepas dari agama dan menjadi suatu wilayah otonom tersendiri dalam kiprah peradaban manusia, seni modern berangsur-angsur kian terlepas dari eksterioritas dan menyuruk kian mendalam ke wilayah interioritas, terperangkap dalam inflasi individu, dan memasuki wilayah skizofrenia yang ambigu dan kadang berbahaya.
Modernitas, estetika dan alam
Sekurang-kurangnya sejak abad 17 hingga 18, dualisme Cartesian demikian kuat menguasai sikap manusia terhadap lingkungan alam. Alam adalah realitas wadag material, res extensa; sedangkan manusia, terutama akalnya, adalah realitas batin, pikiran-non-material, res-cogitans . Dualisme yang telah mengompori kinerja ilmiah awal ini lantas berselingkuh dengan kepentingan teknologi dan kapitalisme, sehingga kian terlembagalah pola sikap Subyek-Obyek : manusia adalah subyek, alam adalah obyek belaka, medan untuk ditaklukan, dieksplorasi dan dieksploitasi. Maka alam kehilangan pesona magisnya, kehidupan kehilangan misterinya. Pusat gravitasi adalah manusia, dengan segala kepentingannya.
Di sisi lain, sikap epistemologis-teknis macam itu diimbangi oleh sikap estetis, yang justru menghargai lingkungan alam. Memang tampak paradoks. Perspektif klasik estetika abad 18, yang menggumpal pada Immanuel Kant, meyakini bahwa yang pokok dalam apresiasi estetis adalah sikap “tanpa kepentingan” ( disinterestedness), yaitu sikap yang melepaskan diri dari kepentingan sehari-hari yang teknis dan praktis atau pun kepentingan pribadi. Lingkungan , baik urban, rural, atau pun belantara hutan, dilihat sebagai sesuatu yang sublim dan indah. Namun disini lingkungan alam sebenarnya tetaplah juga diapresiasi secara formalistik sebagai medan obyek, dan terutama sebagai lanskap, yang berkarakter picturesque. Pada abad ini memang ada juga orang seperti J.J.Rousseau, yang melihat lebih jauh, yakni melihat alam sebagai setting kodrat manusia yang lebih otentik ketimbang setting kultural iptek modern, yang dianggapnya meracuni potensi-potensi natural manusia. Namun pandangan macam ini baru menemukan gaungnya yang tepat kelak di abad 19 pada masa Romantik.
Romantisisme abad 19 memang jatuh cinta pada alam . Henry David Thoreau atau juga John Muir misalnya, dengan cara yang berbeda, menekankan pentingnya interaksi dengan alam liar. Alam liar bagi mereka lebih tinggi daripada peradaban dan kultur manusia. Interaksi non-eksploitatif dengan alam itu akan membawa transformasi penting bagi dunia manusia. Darwin bahkan mendudukkan manusia sekedar sebagai salah satu unsur saja dalam alam. Sementara alam sudah dilihatnya sebagai berbagai unsur yang saling tergantung satu sama lain. Di sisi lain, para pengritik budaya modern teknologis macam Herder, Goethe, Humboldt atau pun Schiller, kendati cenderung menganggap modernitas sebagai dangkal dan non-reflektif, toh tetap juga memberi prioritas lebih pada kultur ketimbang natur, pada seni ketimbang teknologi. Seperti halnya Hegel, yang dalam sistem filsafatnya juga tetap memprioritaskan realitas artifaktual sebagai antitesis atas realitas natural. Tapi pada Nietzsche agak lain. Dalam kerangka berpikirnya kultur, seni dan natur bukanlah hal-hal bertentangan. Ketika dikritiknya bahwa peradaban modern (Zivilisation) adalah proses de-naturalisasi insting dan de-intellektualisasi kultur, maka bagi Nietzsche kultur yang sebenarnya haruslah merupakan manifestasi dari insting natural daya-daya hidup, dan itu pula kekuatan yang mesti diungkapkan seni. Kendati semua itu, secara umum pola apresiasi terhadap alam dalam karya seni tetaplah : subyek terhadap obyek artifaktual seni. Artinya alam tampil dalam representasi artistiknya.
Di penghujung abad 19 tendensi ambivalen macam di atas itu mulai menghilang dalam style baru yang muncul saat itu : “impressionisme”. Sebabnya karena alam sendiri sebagai obyek mulai menyublim disana. Munculnya kamera foto saat itu mengakibatkan pola “mimetis” dan konsep “representasi” dalam kiprah seni menjadi problematis. Maka para seniman lantas asyik mempersoalkan misteri “persepsi” itu sendiri. Timbullah gagasan bahwa melukis, misalnya, bukan berarti menangkap realitas wujud dalam arti harfiah fisikalnya, melainkan menangkap kesan sesaat: menangkap cuaca, cahaya, kabut, udara, kontur imaji total dalam momen-momen yang berlari, kesemantaraan yang tidak abadi. Ada pergeseran titik berat disana, dari visualitas ke impressi jiwa; dari benda ke suasana.
Pergeseran dari eksterioritas ke interioritas ini makin radikal dalam “ekspressionisme” yang masuk lebih ke dalam , memberi tekanan berat pada reaksi mental, emosi, gelegak energi si seniman pribadi. Maka, atas nama ekspressi, obyek pun didistorsi sesuka senimannya. Kalau pun alam menjadi obyeknya, bukan alam itu sendiri yang penting, melainkan disposisi mental sang seniman (van Gogh, dsb), atau upaya untuk mengundang reaksi emosi dan rasa dari sang pemirsa(Matisse, Derain,dsb). Dan tendensi ini kian mengkristal dalam “abstraksionisme”. Disana aspek representasi obyek di luar hilang sama sekali. Yang terjadi lantas hanyalah eksplorasi ruang batin pada tingkatnya yang paling sublim, gelap dan misterius, yang tak terpikirkan sekaligus tak terelakkan (Kandinsky, Rothko, Pollock,dsb) . Ironisnya, di sisi lain abstraksionisme adalah juga renungan atas elemen-elemen dasar bentuk, rupa dan materialitas itu sendiri juga (Malevich, Mondrian, Kurt Schwitters,dll). Maka yang terjadi disini sebenarnya adalah proses interiorisasi subyek sekaligus penyelaman ke balik obyek. Kalau pun masih ada jejak-jejak obyek luaran disana, itu muncul dalam bentuk reduksinya ke dalam elemen-elemen dasarnya belaka.
Di abad 20, sejak pasca Perang Dunia I dan II, Dadaisme, dan revolusi kaum muda tahun 60-an, terjadi perubahan mendasar ihwal hubungan antara seni dan lingkungan di luarnya. Dari sudut bentuk terjadi eksplorasi segala kemungkinan baru, yang bahkan menerabas segala batasan kategorial modern. Ini khususnya terasa intens dalam tendensi Avantgardisme. Lukisan dua-dimensi dibongkar , berubah menjadi “kolase”; kolase menjadi “assemblase” 3 dimensi; assemblase tumpah keluar bidang kanvas dan tergerai di lantai menjadi “installasi”; installasi menjelma menjadi gerak dalam “performance-art” atau happening. Di awal abad 21 performance-art akhirnya ke luar dari ruang eksklusifnya menjadi aksi sosial dalam segala banalitas konteksnya. Yang terjadi di sini adalah lenyapnya batas angker antara dunia seni yang eksklusif dan situasi sehari-hari. Pola apresiasi seni pun berubah total bukan lagi sekedar Subyek terhadap Obyek, melainkan Subyek terhadap Setting . Seni menjadi peristiwa kolektif dalam setting multisensoris totalnya.
Permasalahannya
Ketika seni menyatu kembali dengan denyut kehidupan sehari-hari, tentu peluang bagi seni untuk mencebur kembali dengan alam pun besar. Masalahnya adalah bahwa, sejak impressionisme hingga berbagai bentuk avantgardisnya, seni modern terlanjur demikian kuat terperangkap dalam kerangka interioritas dunia manusia. Seni mengalami “inflasi individu” sedemikian hingga terasa narsistik. Ia menjadi semacam petualangan kedalam lapisan-lapisan psike paling tersembunyi dalam diri, wilayah gelap yang paling tabu, tak terduga dan liar ( Rudolf Schwarzkogler yang menyayati kemaluannya hingga mati, misalnya, atau Vito Acconci yang merekam dirinya bermasturbasi) . Ia bermain dengan ambang batas daya toleransi kejiwaan dan kebertubuhan (Stelarc yang menggantung tubuhnya dengan kail-kail besar, misalnya),serta mengeksplorasi wilayah insting-insting paling purba, ganas dan keras. Konsekuensi dari ini semua adalah makin lenyapnya alam dalam karya seni, dan sekaligus makin besar tendensi skizofrenia alias kegila-gilaan disana. Karya seni bukan hanya mengeksplorasi wilayah kegilaan, melainkan sendirinya juga berkarakter skizofrenik. Tengoklah karya-karya macam body-art dari Chris Burden (yang menembak dirinya sendiri), atau performance-art dari Carolee Schneeman (yang memasuk-keluarkan benda tertentu ke dalam vaginanya), teater Artaudian yang mengeksplorasi impuls-impuls tubuh dan emosi paling liar, atau film-film Peter Greenaway dan Jarman yang persis memainkan ambiguitas pengalaman-pengalaman liminal tubuh, emosi dan imajinasi. Tak mengherankan bahwa akhirnya dunia seni macam ini melahirkan pula seni-mayat seperti yang dipamerkan seniman ahli bedah Günther von Hagens, yang karya seninya berupa 200-an mayat yang telah diplastinasi menjadi berbagai patung tubuh. Semua gejala ini akhirnya juga memaksa para apresiator awam memasuki ambang-batas daya tahan psikenya sendiri juga.
Yang terjadi di sini lantas bukan hanya seni kehilangan dimensi transendensi, melainkan bahwa ia tenggelam dalam medan imanensi: imanensi dunia manusia, tapi juga imanensi dunia seni yang eksklusif itu sendiri. Seni terus-menerus memperkarakan dirinya sendiri saja, lantas menjadi begitu akrab bukan saja dengan naluri kegilaan, melainkan juga dengan naluri-naluri kematian. Bukan hanya para senimannya menyiksa diri sampai mati atau mengeksplorasi kematian, setiap aliran pun saling mencurigai bahkan saling bantai. Yang muncul, khususnya dalam Avantgardisme, akhirnya hanyalah sensasi demi sensasi, tanpa isi. Tidaklah mengherankan bahwa seni modern sendiri pun akhirnya “mati” (kata Arthur Danto).
Dalam seni modern memang kategori “keindahan” tak lagi dipedulikan, diganti “kebermaknaan”, “kebenaran” (kebenaran eksistensial) atau pun sensasi permukaan ( the erotics , kata Susan Sontag). Dan memang sulit sekali mengapresiasi keindahan dalam karya-karya modern yang kadang demikian brutal itu. Tentu saja fokus kuat pada kebenaran eksistensial ini bukan tanpa nilai. Ia telah membawa seni memasuki medan reflektivitas manusia ke tema-tema dan kedalaman paling tersembunyi dan paling tak terduga, yang dalam karya-karya besar klasik tak pernah dieksplorasi dan diolah secara demikian eksplisit. Dan fokus terhadap kebenaran eksistensial itu pula yang akhirnya telah membawa seni melebur kembali dalam banalitas hidup sehari-hari, yang pantas disyukuri. Sayangnya, ketika ia telah menyatu dengan kehidupan sehari-hari ia cenderung menjadi gerakan-gerakan sosial biasa. Pada titik ini ia pun terancam kehilangan kekuatan craftsmanshipnya, dan dengan itu kehilangan pula daya magis-metaforiknya, lantas jatuh menjadi sekedar aktivisme yang kelewat harfiah belaka. Singkatnya, permasalahan seni modern terletak pada narsisismenya yang cenderung skizofrenik, keterkungkungannya pada imanensi yang akhirnya sering jatuh menjadi sekedar rangkaian sensasi, hilangnya sisi “keindahan” dan lemahnya kekuatan metaforis-magis.
Aspek keindahan dan kekuatan metaforik mestinya tetaplah penting dalam seni. Hanya saja keindahan barangkali kini perlu juga dipahami secara lebih luas. Bukan sekedar keindahan kompositoris atau picturesque bentuk visual, tapi terutama keindahan dalam arti kemampuan suatu gubahan olah-bentuk untuk menyentuh lapisan batin paling dalam dan effektif dalam membuka kesadaran. Keindahan penting karena ia adalah cara paling efektif dimensi transendensi menyentuh indera batin kita; sekaligus cara manusia keluar dari keterpenjaraan intern-nya dan menyatu dengan Ruh Semesta, dengan Anima Mundi, dengan dunia batin alam yang lebih luas. Sedang metafor penting karena ia merangsang proses transformasi kesadaran ke tingkat lebih tinggi, proses de-literalisasi kenyataan sehari-hari, yang memungkinkan kita melihat hal yang lebih jauh dan lebih besar di balik hal-hal fisik yang tampak sepele. Bila keindahan dan kekuatan metaforik tetap diperhitungkan dalam praktik berkesenian, maka lebih mudah agaknya seni menggamit kembali realitas di luarnya: lingkungan semesta, bahkan keilahian kosmik transendental.
Kiblat baru berkesenian
Ketika periode avantgard modern berlalu, dalam kiprah seni kontemporer pasca modernisme hari ini sebenarnya kepedulian terhadap alam memang makin besar. Alam digunakan sebagai bagian integral dari patung, tarian, teater atau pun installasi, dan menjadi inspirasi utama pula dalam berbagai bentuk kerja desain. Sepertinya seniman mutakhir saat ini tak lagi sedemikian terkungkung oleh individualitasnya. Sosok karya seni pun bukan lagi semata berupa entitas artifaktual mandiri, melainkan sering pula berupa proses dan interaksi. Nilai karya seni Christo yang umumnya berupa instalasi-instalasi raksasa dalam setting alam, misalnya (Layar raksasa yang membentangi perbukitan atau mem-frame pulau-pulau), terletak bukan saja pada nilai kekaryaan monumental dari seorang seniman bernama Christo, melainkan juga pada daya gugah puitiknya bagi kesadaran pemirsa terhadap alam, sekaligus pada seluruh proses kerja Christo yang melibatkan demikian banyak pihak dan tahapan proses birokrasi. Totalitas proses dan interaksi macam itu pula yang menandai kebermaknaan proyek-proyek teater-lingkungan dari seniman macam Richard Schechner , proyek tarian Sardono W. Kusumo, aksi tanam pohon Tisna Sanjaya, kiprah Arahmaiani di desa-desa di jawa tengah, atau bahkan dalam pembuatan film-film Garin Nugroho, misalnya. Dan berkat makin gencarnya gerakan environmentalisme, kiprah kesenian pun makin banyak menggarap tema dan perspektif lingkungan.
Namun dalam kaitan dengan lingkungan, barangkali yang lebih radikal menentukan keterkaitan antara seni dan lingkungan sebenarnya adalah imajinasi metafisik di balik konsep “seni” dan “berkesenian” itu sendiri. Selagi seni tetap dimengerti sebagai reflektivitas dan virtuositas individual seperti dibayangkan dalam kerangka estetika Aufklärung Kantian, maka seni akan tetap urusan para genius yang langka, suatu kemewahan elitis, yang hanya pantas dipandangi di etalase galeri, museum atau pun panggung-panggung kesenian bergengsi, tanpa sungguh-sungguh bisa diapresiasi dan dipahami kebanyakan orang, tanpa relevansi dengan kehidupan sehari-hari.
Pada titik ini pandangan metafisik tradisional pra-modern tentang kesenian justru menjadi sangat menarik dan relevan. Seperti masih banyak kita saksikan di daerah-daerah, macam di Bali, Toraja atau pun Asmat, seni bukanlah semata-mata perkara teknis, skill dan virtuositas, karenanya bukanlah hanya urusan para genius. Seni bukan pula soal perspektif disinterested berjarak, melainkan justru sebaliknya, soal keterlibatan total dalam lingkungan, yang dasarnya adalah imajinasi metafisik yang berkarakter monistik : bahwa manusia adalah bagian dari totalitas kenyataan kehidupan yang satu jua; bahwa segenap realitas adalah totalitas yang berjiwa. Disini seni lantas adalah perayaan hubungan ruhani kosmik itu, adalah aktivitas-aktivitas olah-bentuk dalam rangka memberi dimensi batin pada benda-benda dan peristiwa. Dalam kerangka macam ini seni lantas adalah urusan semua orang. Seni bukan pertama-tama soal kepiawaian, melainkan soal ritual dan perayaan. Kecanggihan teknis bernilai dalam rangka intensifikasi perayaan itu. Dalam perspektif ini bukan para seniman yang merupakan manusia istimewa, melainkan setiap manusia adalah seniman istimewa. Yang dianggap karya seni pun bukan lagi sekedar obyek artifaktual tertentu, melainkan keseluruhan proses dan interaksi yang terjadi, keseluruhan unsur dan peristiwa. Seni bukan pula ekspressi pribadi yang idiocyncratic, melainkan proses artikulasi diri-komunal, yang setiap kali mendefinisikan ulang hakekat kesatuan dasariah antara manusia dan alam, realitas mikro dan realitas makro; proses me-recharge ruh individu maupun kolektif dengan menyatukannya setiap kali dengan Anima Mundi. Kesenian adalah aneka ritual yang setiap kali mengingatkan kembali misteri, kerumitan, keagungan dan keindahan daya-daya kosmik transendental. Maka disini kepekaan estetik adalah sekaligus kepekaan terhadap yang sakral.
Maka agaknya seni akan bisa lebih total menggamit kembali lingkungan alam kini hanya bila seni kontemporer dapat bersekutu kembali dengan khasanah dan worldview metafisik tradisional macam itu. Berbagai gejala ke arah sana telah muncul dimana-mana, entah dalam rupa ritualisme baru, performance art sebagai gerakan sosial atau pun berbagai eksperimen yang mensenyawakan ruh tradisional dengan seni kontemporer. Dan disana yang menjadi kunci akhirnya adalah bahwa krisis ekologis fisik sebenarnya berakar pada masalah krisis spiritual. Bukanlah kebetulan, bahwa ketika seni modern terlepas dari medan spiritual ia menjadi teramat akrab dengan naluri-naluri kematian, penghancuran dan kegilaan. Namun di sisi lain ini tak mesti berarti bahwa lantas seni mesti dikait-kaitkan dengan agama. Medan spiritual jauh lebih luas dan lebih misterius ketimbang yang sempat diartikulasikan oleh agama. Bahkan pada titik tertentu agama sebagai pelembagaan spiritualitas bisa justru mematikan dinamika spiritual yang otentik dan membunuh seni juga , atas nama legalisme formal, ritualisme, dogmatisme, dsb. Yang lebih dibutuhkan adalah bagaimana seni mampu di satu pihak mengartikulasikan gejolak batin kolektif yang otentik, di pihak lain sekaligus menghadirkan dimensi transendensi ke dalam realitas sehari-hari. Demikian transendensi, keindahan dan kekuatan metaforis agaknya bukanlah hal yang kedaluarsa. Sebaliknya, itu tetaplah unsur-unsur esensial yang menjaga kebermaknaan dan kesehatan kesenian dan dunia manusia.
Bambang Sugiharto, pengajar Filsafat di Unpar dan ITB, Bandung.
Kamis, 05 Juni 2008
SENI DAN PARADIGMA : Tinjauan Epistemologis
Oleh : I.Bambang Sugiharto
Wacana seni di Indonesia telah banyak memperbincangkan perlunya konsep-konsep, paradigma dan kategori-kategori khas Indonesia baik dalam penelaahan sejarah, teori estetik, maupun strategi kebudayaan umumnya. Namun membaca berbagai wacana itu selalu saja terasa ada sesuatu yang mengganjal. Misalnya, ada kecenderungan untuk buru-buru bicara tentang paradigma macam apa yang seyogianya digunakan. Dan biasanya lalu digali-galilah khasanah tradisi Indonesia, lantas dipas-paskan sebagai “paradigma” yang bersifat “khas Indonesia”. Dalam rangka ini lantas ada yang keasyikan dan seperti menemukan kerangka “estetik nasional” yang elemen-elemennya konon ditemukan dalam “puncak-puncak” semua tradisi etnik di Indonesia. Terhadap kerangka estetik macam ini biasanya segera saja orang bertanya : “ Bila karya seni saya tak memenuhi kriteria estetik macam itu, apa itu berarti tidak indonesiawi?” atau “ Apakah dengan adanya kriteria itu berarti bahwa saya harus berkesenian secara begitu , agar bisa disebut otentik?” . Pertanyaan-pertanyaan spontan yang penting dan ternyata tak mudah dijawab juga.
Ada kecenderungan kuat pula dalam wacana itu untuk mengambil alih begitu saja konsep-konsep tentang “paradigma” dari dunia sains tanpa cukup waspada bahwa di dunia seni konotasi “paradigma” bisa berbeda. Juga biasanya dengan cepat mata rantai berbagai aliran yang muncul di dunia Barat dijadikan semacam rujukan utama dalam memandang pola “sejarah seni”, misalnya: alur yang kurang lebih linier, suksesi dominasi aliran/gaya, situasi sosial-politik yang berinteraksi di dalamnya, dsb.dsb. Dan dibayangkan bahwa sejarah seni di Indonesia pun kira-kira mesti dilihat seperti itu, tanpa waspada bahwa ada begitu banyak hal dalam situasi perjalanan kesenian di Indonesia yang mungkin sedemikian unik sehingga “pola sejarah” macam itu sesungguhnya tak bisa dikenakan pada konteks Indonesia tanpa jatuh menjadi artifisial.
Dalam kecenderungan itu semua, yang seringkali dilupakan adalah pertanyaan yang sebenarnya lebih mendasar, yaitu : apakah kita memang membutuhkan “paradigma” ? ; “paradigma” dalam artian apa ? ; dan untuk apa ? . Ibaratnya kita itu begitu repot memilih desain kacamata, sementara tak pernah dipertanyakan dahulu apakah kita memang memerlukan kacamata dan kalau pun memerlukannya, kacamata jenis apa, misalnya jenis plus atau minus , anti air (kacamata renang), anti api (kacamata tukang las), atawa malahan tiga-dimensi (seperti untuk nonton film).
“Paradigma” dalam sains
Abad 20 adalah abad yang agaknya paling menarik dalam dunia sains, bukan karena berbagai temuannya kian menakjubkan - temuan apa pun kini makin menjadi hal yang biasa saja- ,melainkan karena belum pernah sebelumnya sains mencapai tingkat refleksivitas demikian mendasar seperti abad ini, refleksivitas yang akhirnya berani dan mampu menggugat identitas diri “sains” itu sendiri. Masalah terbesar yang dihadapi sains di akhir abad 20 ini adalah “ sains itu sesungguhnya apa “. Sertamerta urusannya bukan lagi rumus atau teori ilmiah apa yang revolusioner dan baru. Bukan semata-mata perkara aksioma , metodologi, atau pun epistemologi, melainkan lebih mendasar : persoalan ontologi : sains itu apa, bagaimana sesungguhnya cara ia bekerja dan ber-evolusi, dimana posisi dan perannya bagi peradaban,dst. Hal-hal itu pulalah yang menjelaskan popularitas dan signifikansi nama-nama para filsuf macam Popper,Kuhn,Lakatos , Feyerabend , Gadamer atau pun Rorty.
Istilah “paradigma” muncul dalam suasana reflektif di dunia sains macam itu. Maka bila istilah tersebut lantas menyebar dan digunakan di berbagai bidang lain, ada bagusnya kita tinjau dahulu maknanya di tempat asalnya. Dari sana barangkali kita temukan insight yang berguna untuk mendudukkan perkaranya secara lebih proporsional.
Yang bicara paling eksplisit tentang “paradigma” di akhir abad 20 ini agaknya adalah Thomas Kuhn, meskipun sebagai istilah, “paradeigma” sudah digunakan sejak jaman Plato, yang artinya “model/contoh”.[1] Kendatipun pada Kuhn kerap kita temukan banyak nuansa tentang arti “paradigma” itu , dapatlah dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “paradigma” kurang lebih adalah : segala hasil penelitian terdahulu yang diakui dan digunakan oleh komunitas ilmiah tertentu sebagai patokan dasar dan sumber penelitian selanjutnya. Hasil-hasil penelitian yang dijadikan patokan umum itu biasanya tampil dalam bentuk buku teks baku, baik pada tingkat dasar maupun lanjutan. Isi konkritnya biasanya adalah : hukum-hukum, bangunan teoritik yang sudah diterima, berbagai contoh penerapannya yang berhasil , berbagai observasi dan eksperimen yang dianggap standard, sistem instrumentasi yang diperlukan, beserta cara kerja praktisnya di lapangan. Mengambil contoh dari khasanah klasik, misalnya Physica karya Aristoteles, Almagest dari Ptolemeus, atau Principia dan Opticks dari Newton, telah berperan sebagai semacam “paradigma” itu. Dua karakteristik yang biasanya dimiliki oleh paradigma adalah : 1. menawarkan unsur baru tertentu yang menarik pengikut keluar dari persaingan metode kerja dalam kegiatan ilmiah sebelumnya; 2. (serentak) menawarkan pula persoalan-persoalan baru yang masih terbuka dan belum terselesaikan.[2]
“Paradigma” macam itu pulalah yang lantas akhirnya disebut sebagai tradisi penelitian ilmiah tertentu. Misalnya lalu ada sebutan “ Astronomi Ptolemaic “ , “Astronomi Copernican”, “Dinamika Aristotelian”, “Dinamika Newtonian”,dsb.dsb. Mahasiswa yang memasuki komunitas ilmiah tertentu lalu dididik dengan berbagai paradigma tersebut, dan karenanya -disadari atau pun tidak- masuk dalam pola-pola konsensus dasar komunitas itu. Suasana orientasi text-book ini pada gilirannya mudah menyebabkan si mahasiswa dan para praktisi dalam komunitas tersebut cenderung tidak memperkarakan prinsip atau asumsi-asumsi dasar di balik praktik-praktiknya. Inilah yang disebut Kuhn situasi “normal science”, yaitu situasi ketika sebuah paradigma menjadi sedemikian dominan sehingga ia digunakan sebagai tolok ukur utama dan umum sampai seolah tak lagi perlu mempertanyakan ulang prinsip-prinsip pertamanya. Mahasiswa tinggal saja berkonsentrasi khusus pada berbagai fenomena yang paling pelik dan esoterik dengan cara kerja “puzzle-solving” saja : artinya, bahan-bahan pembentuk puzzlenya sudah dibuatkan oleh buku teks dalam tradisi, tak perlu mencari-cari bahan “puzzle” baru yang samasekali berbeda. Effek bagus dari situasi “normal” ini adalah bahwa kita lebih mudah mendeteksi unsur “kemajuan” disitu.
Tapi dalam situasi modern istilah “paradigma” memang bernuansa agak lain , bila dibandingkan dengan situasi ilmiah pra-modern. Sekurang-kurangnya hingga abad tujuhbelas belum berlaku tolok ukur tunggal atau dominasi paradigma tunggal dalam penentuan ilmiah atau tidaknya suatu hasil penelitian. Jadi misalnya di bidang Fisika, dalam perkara cahaya berkembang berbagai aliran yang saling berkompetisi. Ada yang berkiblat pada Epicurus, ada yang Aristotelian , ada yang Platonik, beserta segala variasinya. Bagi yang satu cahaya diyakini sebagai partikel-partikel yang memancar dari tubuh-tubuh material; bagi yang lain cahaya adalah modifikasi medium antara tubuh dan mata; bagi yang lain lagi cahaya adalah interaksi antara medium dengan pancaran dari mata, dst.dst. Masing-masing mereka mengacu pada metafisika tertentu sebagai sumbernya, dan masing-masing memberi tekanan pada fenomena-fenomena optik khusus yang lebih bisa dijelaskan oleh teori masing-masing itu. Yang menarik adalah bahwa waktu itu mereka semua toh dianggap sebagai ilmuwan. Sebab memang tak ada satu standard umum yang disepakati bersama. Yang menarik lagi adalah bahwa dalam situasi macam itu wacana yang berkembang lebih bersifat horisontal, artinya : lebih terarah pada kubu-kubu satu sama lain yang bersaingan, ketimbang vertikal yaitu terarah pada fenomena alam itu sendiri.
Pada abad tujuhbelas dan delapan belas situasinya berbeda. Pada masa Newton itu mulai muncul semacam keyakinan bersama tentang paham yang dapat dianggap standard. Opticks karya Newton mengajarkan misalnya bahwa cahaya terdiri dari korpuskel-korpuskel material . Maka pandangan itu dijadikan patokan, sehingga kesibukan para fisikawan kemudian adalah mencari bukti-bukti tekanan partikel-partikel cahaya yang mendesak tubuh-tubuh padat. Tapi pada abad sembilanbelas pandangan standard macam itu tertantang oleh tulisan Young dan Fresnel yang menyarankan gagasan bahwa sebenarnya lebih tepatlah cahaya dilihat sebagai gerakan gelombang. Sedang pada abad duapuluh orang umumnya meyakini gagasan lain lagi, yaitu bahwa cahaya adalah photon-photon, alias maujud-maujud mekanika kuantum yang dapat tampil baik sebagai gelombang maupun sebagai partikel. Ini tentu saja gagasan yang diinspirasikan oleh Planck,Einstein,dll.
Yang hendak dikatakan adalah bahwa “keilmiahan” pada situasi pra-modern terasa jauh lebih pluralistik dan istilah “paradigma” tidak sertamerta berarti standard universal. Sedangkan dalam situasi modern, sesuai dengan tuntutan obyektivitas yang meyakini bahwa kebenaran itu tunggal, “paradigma” menjadi ungkapan kesepakatan umum dan karenanya berperan sebagai tolok ukur tunggal universal. Dalam situasi modern karenanya lebih dimungkinkan pula melihat sejarah ilmu secara linier, yaitu sejarah sebagai suksesi dari paradigma dominan ke paradigma lainnya, yang biasanya memang bersifat revolusioner. Dalam kerangka ini pula Kuhn bicara tentang “ revolusi ilmiah”.[3]
Memang akhir-akhir ini sains pun terpaksa agak berubah dalam memahami realitas alam semesta maupun dirinya sendiri. Dalam kerangka klasik Newtonian alam dilihat sebagai benda yang pasif dengan hukumnya yang berjalan bagai otomat sedang sains sendiri dimengerti sebagai observasi ketat dan netral atas data , lantas berurusan dengan kerangka kausalitas yang deterministik. Alam semesta ini dilihat sebagai suatu mekanisme yang sederhana, dikelola oleh hukum-hukum dasar yang abadi, tak kenal waktu, reversible, a temporal. Segala hal dalam alam ini unsur dasarnya satu dan sama, analog dengan segala bentuk bangunan (rumah, mesjid, pabrik,dsb) yang unsur dasarnya hanyalah batu-bata. Itu sebabnya mekanika klasik ini banyak berfokus pada wilayah mikro. Dampak dari pola berpikir macam ini antara lain adalah munculnya dualisme antara worldview ilmiah dan worldview religius, antara realitas yang diyakini sebagai mesin dengan hukum universalnya yang seragam-mekanis dan realitas yang diyakini sebagai proses kreatif, hidup,berkebebasan dan digerakkan kasih Tuhan. Joseph Needham menganggap dualisme macam ini sebagai akar dari skizofrenia Barat.[4]
Tapi semua itu kini telah berubah. Eddington menemukan bahwa penelitian pada tingkat mikro, yaitu pada partikel-partikel elementer sebenarnya tak mampu menjelaskan perilaku pada tingkat makro, yaitu pada konfigurasi total kumpulan molekul- molekul. Sejak munculnya Mekanika Kuantum dan teori Relativitas diyakini bahwa partikel-partikel sebenarnya selalu berada dalam proses transformasi terus menerus kedalam satu sama lain. Dari sana ditemukan bahwa ternyata semesta ini kompleks dan tidak sederhana, pluralistik dan tidak seragam, unik temporal-irreversible dan tidak deterministik-a temporal. Struktur-struktur bisa bermunculan lalu hilang kembali. Realitas ternyata dikendalikan oleh proses yang bersifat fluktuatif Memang ada saatnya ia bisa dipahami secara deterministik, namun kali lain sering lebih bisa dipahami sebagai proses yang bersifat probabilistik. Persisnya, pola determinisme hanya relevan bagi situasi equilibrium, yang sebetulnya langka. Alam semesta pada dasarnya mengandung unsur-unsur yang pada dasarnya acak, unik dan spontan. Materi bukanlah substansi pasif, melainkan aktivitas spontan dan kreatif, soal relasi dan komunikasi, di dalam waktu. Teori tentang Dissipative Structure dari Ilya Prigogine kini meng-eksplisitkan semua itu. Baginya alam semesta ternyata tak selalu berada dalam situasi equilibrium. Bila situasi berubah dari equilibrium ke far-from equilibrium maka pola repetitif-universal-mekanis berubah ke pola spesifik,spontan dan tak terduga. Lantas dimungkinkanlah transformasi dari khaos ke order, terbentuklah tatanan baru , yang oleh Prigogine disebut dissipative structure itu. Jadi pada situasi macam itu semesta ternyata bekerja dalam proses yang bersifat non-linier dan kreatif. Seolah bila dalam keadaan equilibrium materi itu “buta”, dalam keadaan far-from-equilibrium materi jadi bisa “melihat” (melihat masalah dalam medan elektrik atau gravitasional, misalnya) dan cepat mengambil sikap kreatif baru . Perubahan-perubahan kecil pada tingkat elementer mikroskopis dalam konteks ini dapat menggelombang menjadi perubahan besar pola perilaku pada tingkat makroskopis.[5] Baik dari bidang partikel-elementer, kimia, biologi maupun kosmologi kini ditemukan bahwa alam ternyata memiliki unsur-unsur self-organization, kompleksitas dan temporalitas (proses evolusioner).
Perubahan-perubahan itu semua telah membawa perubahan pula bagi pemahaman diri sains itu sendiri. Bahwa ternyata dimungkinkan perubahan pandangan yang demikian radikal dalam dunia sains menunjukkan bahwa ada interaksi sistematik antara konsep-konsep teoritik dan observasi ; bahwa respons alam terhadap interogasi eksperimental sains sebetulnya sangat ditentukan oleh kerangka teoritis yang digunakan sains itu. Dengan kata lain, kini disadari bahwa konstruksi intelektual manusia sendiri ternyata sangat menentukan paham yang didapat tentang “apa”nya realitas. Apa pun yang kita sebut “realitas” sebetulnya dibukakan pada kita hanya melalui konstruksi aktif pikiran kita sendiri . Tagore, pernah berkata bahwa “bahkan kalau pun kebenaran absolut itu ada, kebenaran itu tak akan pernah terjangkau oleh pikiran manusia”. Ternyata omongan ini bukanlah sekedar kegilaan mistik Ternyata segala bentuk pengukuran, eksperimen dan observasi hanya dimungkinkan karena kita sudah punya kerangka teoritis terlebih dahulu.[6] Dari sana dunia ilmiah pun kini menyadari bahwa ternyata yang sebenarnya menjadi persoalan pokok adalah soal “makna”, bukan sekedar perkara “fakta” seperti keyakinan naif dunia ilmiah klasik. Ketika Bohr mengunjungi kastil Kronberg, dia berkata kepada Werner Heisenberg bahwa kastil yang sebetulnya biasa saja seperti kastil lainnya itu tiba-tiba berubah ketika disadari bahwa Hamlet pernah tinggal disitu. Inilah persis persoalan “makna” itu.
Meskipun demikian, masalahnya tetaplah dalam dunia sains itu terdapat keyakinan bahwa ada paradigma umum. Isi paradigmanya memang bisa berubah, taruhlah dalam sains klasik titik berat diletakkan pada perkara “substansi” dan “reversibility” sedangkan sekarang titik berat pada persoalan “relasi” dan “irriversibility”. Bahkan kalau pun tekanan itu diletakkan pada pluralitas dan partikularitas kenyataan, paradigma tentang pluralitas dan partikularitas itu tetaplah diyakini sebagai universal juga.
Sejarah dan paradigma kesenian
Ketunggalan , keuniversalan dan konsepsi yang linear tentang sejarah , pada hemat saya adalah hal-hal pokok yang kelak akan sangat menentukan pula manakala kita bicara tentang senirupa . Pertama-tama harus segera dikatakan bahwa dominasi sains dalam peradaban modern memang sangat menggoda segala bidang lain untuk mengikuti pola-pola kerja sains itu. Keobyektifan dan sifat universal sains beserta mitos “kemajuan” yang dikembangkannya membuat orang tak lagi cukup waspada terhadap kekhasan dasar bidang-bidang lainnya. Bahkan karenanya konsep tentang “sejarah” yang demikian linear itu sendiri pun sepertinya tak pernah diperkarakan.
Demikian, di bidang seni pun lantas sejarah perkembangan seni di Barat, misalnya, selalu saja cenderung dilihat sebagai rangkaian babakan yang ditandai patahan-patahan revolusioner ( ruptures ) yang biasanya dikaitkan dengan peritiwa-peristiwa sosial-politik yang menentukan seperti : abad pertengahan, renesansi, barok, romantik, modern, kontemporer , dsb.; atau dikaitkan dengan perubahan-perubahan mendasar di bidang “gaya” (style,schools ) seperti : naturalisme, impressionisme, ekspressionisme, abstrak-ekspressionisme, dst.dst.. Dan pola memahami sejarah macam itu sertamerta juga menjadi pola baku yang digunakan di berbagai tempat. “Gaya” (aliran atau style) dan kondisi sosial-politik dilihat sebagai dua kunci untuk memahami “paradigma” kesenian.
Mengenai normativitas “gaya” memang betul bahwa di dunia Barat pun terdapat sikap yang ambivalen. Sempat “gaya” atau style dipandang sebagai akal-akalan yang tidak tulus, mengganggu materi dasar yang seharusnya justru tampil. Dan orang lantas berusaha untuk “transparan” atau “style-less” alias tanpa gaya. Dalam hal novel, misalnya, Barthes sempat menyebut istilah “the zero degree of writing” atau “anti metaphorical and dehumanized”. Whitman pernah mengatakan bahwa penyair besar biasanya justru tak mempunyai style yang jelas, sebab ia adalah aliran bebas dari dalam dirinya sendiri. Dan Camus sempat menganggap tulisan-tulisannya berstyle “putih” (white style) sebab ia bersifat impersonal, ekspositoris, lugas dan datar, nyaris “tanpa gaya”.
Tapi sikap macam itu muncul terutama karena style cenderung dimengerti ibarat sebuah tirai, dekorasi belaka, atau cadar yang menutupi kandungan yang lebih dalam. Artinya di balik semua itu ada asumsi dasar bahwa sebuah karya itu terdiri dari kemasan dan isi, bentuk dan essensi. Tapi asumsi dasar bisa lain. Cocteau, misalnya, meyakini bahwa style adalah ibarat roh yang hanya bisa tampil lewat tubuh, atau Susan Sontag yang meyakini bahwa “ art is not only about something, it is something” , artinya : dalam karya seni “isi” itu selalu tampil dalam totalitas fisiognomisnya atau dalam konfigurasi bentuknya yang inderawi. Bentuk dan isi itu tak terpisahkan. Dan apresiasi seni selalulah merupakan proses transformasi yang pada hakekatnya terjadi lewat struktur formal karya. Karya seni dalam stylenya yang khas selalulah merupakan inkarnasi dari roh, jejak yang tampak jelas dari energi atau pun vitalitas. Dari perspektif macam Sontag ini lalu bobot dan kualitas sebuah karya seni memang erat lekat pada style- nya. Hanya saja bagi Sontag “roh” itu sebetulnya selalu sesuatu yang bersifat individual dan karenanya style-pun merupakan idiom yang sifatnya partikular. Bila dipukulrata kedalam kategori aliran-aliran besar individualitas khas karya sebetulnya hilang. Ibarat pola perilaku yang khas seseorang hilang ketika dikategorikan dalam klasifikasi psikologi atau sosiologi, dan sosok konkrit manusianya hilang. Padahal salah satu hal yang unik dalam seni adalah justru kemampuannya menampilkan realitas yang singular ke tingkat eksplisit; membuat kita melihat dan memahami yang partikular dan real.[7]
Pada orang macam Sontag memang style menjadi primer dan normatif, namun tekanannya pada partikularitas menyebabkannya lebih realistis. Yang menjadi masalah adalah bahwa dalam alur sejarah seni Barat style itu menjadi kategori-kategori umum, sedemikian hingga ia menjadi kriteria pembabakan sejarah juga. Ini terutama marak ketika Hegel bicara tentang “Roh Obyektif”, yang kemudian melahirkan anggapan tentang adanya “Roh jaman” alias semacam kesadaran kolektif. Pada titik ini style lebih kuat lagi diyakini sebagai “Roh Jaman” itu. Bahkan lebih jauh, pengertian tentang “seni” pun jadinya erat terkait pada pemahaman tentang perkembangan style versi Barat . Lalu, seperti sains, seolah definisi “seni” pun mesti universal, dan itu berarti definisi seni ala Barat pula yang menjadi patokan.
Kecenderungan diatas itu membawa dampak yang sesungguhnya problematis. Misalnya saja, segala bentuk kesenian tradisional di berbagai negara lain yang non-barat, betapa pun canggihnya , statusnya tak akan lebih daripada “kerajinan” . Menarik bukan pertama-tama sebagai benda seni –seolah “kerajinan” bukanlah seni samasekali- melainkan sebagai data Antropologis yang eksotik saja, bukti-bukti keprimitifan alias keterbelakangan. Sementara di sisi lain segala bentuk “modern” kebarat-baratan yang berkembang di negara-negara non-barat itu cenderung dilihat sebagai seni yang “tidak otentik” . Kecenderungan ambivalen ini mau tak mau senantiasa berdampak mendudukan Barat selalu dalam posisi superior, dan di luar barat menjadi selalu inferior. Betapa pun kuatnya -dalam skala formalisme- bentuk “abstrak-ekspressionistik” patung-patung Asmat atau pun Nias, patung-patung tersebut hanya akan dianggap sebagai ungkapan ketidaktepatan persepsi fisiognomis orang primitif, ibarat lukisan anak-anak yang belum mampu menangkap rincian bentuk normal-natural.[8]
Kajian Sejarah dalam dunia seni sesungguhnya bisa mengincar obyek yang amat berragam dan sifat kajiannya pun bisa berragam. Pada tingkat yang paling sederhana sejarah bisa hanya berupa cerita yang sifatnya deskriptif saja, misalnya tentang bagaimana dari jaman ke jaman manusia menciptakan dan mengolah imaji. Memang dari cerita macam itu orang juga bisa membuat sejarah yang lebih bersifat evaluatif, tak sekedar deskriptif, misalnya : dari berbagai fenomen olah imaji itu lantas mana yang dianggap paling “bermutu” dan layak disebut sebagai “Seni” ( dengan huruf besar). Sejarah juga bisa sekedar cerita perkembangan teknis seperti teknik melukis, alat-alat dan teknik musik, teknik arsitektur,dsb. Bisa juga ia hanya bercerita tentang perubahan selera atau fungsi seni, dsb..
Tapi akhirnya yang akan sangat penting adalah konsep “sejarah” itu sendiri dimengerti sebagai apa. Bila sejarah hanya dimaksudkan sebagai salah satu kegiatan pendataan saja maka kecenderungannya akan lebih bersifat deskriptif saja. Namun bila dalam pengertian “sejarah” terkandung pretensi untuk melihat sejenis “evolusi peradaban”, macam yang dipikirkan Hegel misalnya, mau tak mau muncul kecenderungan kuat ke arah sifat evaluatif bahkan normatif. Dan yang terakhir ini memang merupakan godaan kuat dalam alam berpikir modern : orang tak cukup bersahaja untuk mau melihat realitas sebagai sekedar “perubahan” dan selalu ingin melihatnya dalam perspektif “vertikal” alias dalam kerangka “kemajuan”. Untunglah ada orang-orang macam Foucault atau pun Deleuze yang mencoba melihat realitas historis itu lebih secara “horisontal”, yakni sekedar melihat jaringan berbagai saling-keterkaitan yang mungkin antar berbagai unsur/peristiwa lantas menemukan insight-insight baru (apa pun itu) dari dalamnya. Kaum post-strukturalis ini, betapa pun ganjilnya cara berpikir mereka, menjadi penting untuk mengingatkan kita bahwa “sejarah” adalah lahan interaksi berbagai peristiwa yang demikian luas kemungkinannya untuk dimaknai. Dan “makna” itu bisa apa pun juga. Ini memang perspektif yang tak lagi bersandar pada metafisika “substansi” atawa “essensialisme” modern yang selalu berkeyakinan bahwa segala sesuatu itu ada essensinya, dan essensi itu satu. Dalam kerangka metafisika macam itu memang ada gelagat kuat untuk menjadikan peradaban tertentu sebagai tolok ukur tunggal , yang sesungguhnya merupakan pemiskinan dan pengkerdilan realitas.
Komunitas ilmuwan dan komunitas seniman
Bahwa sejarah ilmu yang cenderung dilihat secara evolusioner tidak selalu sesuai untuk ditransfer polanya ke dalam sejarah seni, sebetulnya juga berkaitan erat dengan kenyataan bahwa jenis komunitas dan kegiatan ilmiah sesungguhnya memiliki karakter yang berlainan dengan jenis kegiatan dan komunitas seni.
Bagaimana pun juga komunitas ilmuwan bersifat lebih eksklusif daripada komunitas seniman. Ilmuwan bekerja dalam sorotan para anggota kelompok sejawat , yaitu orang-orang yang memiliki keyakinan dan nilai-nilai serupa. Karena itu pula mereka ini lebih mudah menggunakan satu standard penilaian yang sama. Sementara para seniman lebih tergantung pada penilaian khalayak awam yang bersifat heterodoks. Itu karena para seniman selalu membutuhkan agar karyanya ditampilkan dan dinikmati orang banyak. Dan ini mengakibatkan tidak mudahnya menerapkan standard tunggal untuk menilai karya-karya seni.
Ilmuwan , khususnya yang dari bidang-bidang eksakta tidak perlu memilih persoalan yang hendak ditelitinya sebab sistem, metode dan konteks yang mereka gumuli itu sendirilah yang akan menurunkan berbagai persoalan yang harus ditelaah lebih lanjut. Sementara para seniman ( dan ilmuwan sosial atau pun filsuf) biasanya harus mencari dan memilih sendiri serta mempertanggungjawabkan sendiri pula persoalan-persoalan yang hendak digarapnya. Dan, terutama dalam kegiatan seni kontemporer yang konseptualistis, ini sering sangat berkaitan dengan masalah-masalah dalam kehidupan konkrit aktual.
Para ilmuwan, khususnya di bidang ilmu-ilmu alam , umumnya dididik dengan ketergantungan serius pada buku teks (yang memang up-to-date), meskipun pada tahun-tahun akhir mereka dimungkinkan mengadakan riset sendiri juga. Dan kegiatan problem-solving mereka pun lebih berupa puzzle-solving. Semua itu lantas mengakibatkan situasi dalam ilmu-ilmu ini sesungguhnya tidak terlalu kondusif untuk munculnya temuan-temuan atau pendekatan-pendekatan baru. Bahkan bukan tak mungkin para mahasiswa fisika misalnya merasa tak perlu membaca langsung karya-karya Newton,Faraday, Einstein atau pun Schrodinger, oleh sebab segala yang perlu mereka ketahui toh sudah diringkaskan secara lebih effisien dan sistematik dalam berbagai buku teks.
Dari sudut ini ilmuwan terasa berkecenderungan “tradisional”, dalam arti : segala pola pikir sebelumnya dilihat sebagai terarah secara lurus dan akumulatif kepada saat ini. “Kemajuan” pun cenderung dilihat dalam kerangka linear macam itu. Karena itu komunitas para ilmuwan cenderung merasa aman dan mapan. Mereka tidak mudah untuk mengambil paradigma yang samasekali baru, sebab hal itu akan mengakibatkan banyak hal yang telah lama dianggap sebagai pondasi akan diperkarakan, dan terbongkar. Dengan kata lain, sebetulnya di bidang ilmiah “kebaruan” bukanlah sesuatu yang secara psikologis sungguh dikehendaki. Yang namanya “kebaruan” biasanya bisa ditolerir hanya bila tetap memungkinkan kerangka problem-solving terdahulu digunakan, dan bila paradigma baru itu betul-betul mampu memecahkan persoalan penting dan menonjol, yang dengan cara lain memang tak bisa dipecahkan. Tidaklah mengherankan bila Kuhn lantas mengatakan bahwa meskipun sains memang bisa makin mendalam toh ia sulit untuk semakin melebar dan meluas daya jangkaunya. Dan dalam kerangka ini semua, Kuhn bahkan mengatakan bahwa perubahan paradigma dalam dunia sains sesungguhnya tidak selalu berarti semakin dekatnya kita pada kebenaran.[9]
Dalam dunia seni ( juga ilmu sosial dan filsafat) buku-teks tak pernah menduduki posisi sedemikian sentral hingga menimbulkan ketergantungan. Dalam dunia seni yang lebih menentukan perkembangan adalah ter-eksposnya seniman atau calon seniman itu pada karya-karya seniman lain yang notabene berragam sekali coraknya. Maka dunia seni lebih terbiasa melihat berragam persoalan dengan berragam solusi yang ditawarkan . Dalam dunia yang dipenuhi atmosfer kreatif ini sesungguhnya menjadi tidak wajar memandang masa lalu sebagai alur lurus sederhana ke arah masa kini seperti dalam dunia sains. Seni adalah realitas yang alur sejarahnya sudah selalu centang perenang ke segala arah dan berbagai alternatif. Ini persis dunia filsafat yang meskipun sepertinya problem dasarnya sama , yaitu “realitas ini apa?” toh penjabaran persoalan dan bentuk jawabannya betul-betul memperlihatkan demikian banyak kemungkinan. Dan dalam konteks ini “kebaruan” seolah justru merupakan hal penting yang dicari orang. Suasana Avantgarde di masa lampau adalah contoh ekstrim betapa akhirnya kebaruan dicari sering demi “kebaruan” itu sendiri saja ( asal baru), dan tak selalu demi peningkatan teknis maupun isi substansi. Bila dalam dunia sains, segala bentuk kebaruan akan dikaji berdasarkan kerangka “tradisional”, maka dalam dunia seni bisa persis sebaliknya : segala bentuk alur tradisional akan dinilai ulang berdasarkan kebaruan-kebaruan atau berdasarkan semangat kreatif baru.
Dari sudut ini , meskipun seniman-seniman bisa saja berkelompok dalam sebuah komunitas aliran/gaya/tradisi tertentu, toh sesungguhnya seniman itu pada kodratnya adalah petualang-petualang yang soliter. Dan pada titik ini sesungguhnya selalu terasa kurang pas bila kita bicara tentang sebuah “paradigma” dalam artian tolok ukur komunal atau pun umum. Lebih tepat agaknya bila kita melihat para seniman itu sendirilah masing-masing yang merupakan “paradigma”, yaitu sebagai individu dengan kreativitas dan rangkaian perjalannya yang khas.
Soalnya bagaimana sebuah paradigma diadopsi dalam komunitas ilmuwan dan dalam komunitas seniman itu juga nuansanya bisa sangat berbeda. Bagaimana pun juga dalam konteks dunia ilmu modern, yang meyakini tolok ukur tunggal sebagai cerminan obyektivitas universal, mengadopsi sebuah paradigma baru berkaitan erat dengan tersingkapnya sisi lain dari realitas. Dus, “vertikal”, seolah karena realitasnya ternyata berbeda maka kacamatanya diganti. Itu keyakinan dasarnya. De facto, diterima atau tidaknya paradigma baru itu memang sering lebih di pengaruhi faktor psikologis, praktis maupun sosiologis, ketimbang faktor ontologis sungguhan, seperti telah diuraikan diatas.
Dalam dunia seni , kalaupun dominasi suatu kecenderungan pola pandang ,tema atau pun gaya bisa dianggap sebagai dominasi sebuah paradigma ( ini masih selalu bisa dipersoalkan ) , maka ternyata ada banyak sekali kemungkinan variabel yang bisa mempengaruhi diterima atau tidaknya paradigma itu. Dan umumnya itu lebih persoalan “horisontal” saja, bahkan banyak kali juga unsur-unsur kebetulan dan irrasional ikut berperan.
Kesenian meledak dalam jaman Renesanse konon salah satu penyebabnya sederhana saja, yaitu kebiasaan para imam Fransiskan dan Dominikan abad tigabelas dan empatbelas yang bila berkotbah menggunakan teknik meditasi pembayangan. Misalnya : “Bayangkanlah Maria sedang duduk, mendengar suara dari malaikat….dst.dst”. Teknik pembayangan atau visualisasi macam inilah konon yang antara lain di kemudian hari berkembang menjadi drama-drama dan lukisan.[10] Unsur kebetulan berperan disini.
Akibat Protestantisme yang bersifat ikonoklastik alias tak menyukai berbagai bentuk simbol dan imaji dalam gereja, misalnya, di Inggris kesenian sempat tak berkembang bahkan nyaris mati. Saat itu seniman dianggap profesi yang tak punya masa depan. Tapi di negeri Belanda , yang juga saat itu dikuasai Protestantisme, tradisi seni tetap maju , sebab kendati tidak mereka pakai sendiri karya-karya mereka itu diekspor untuk kolektor luar negeri. Unsur bisnis sangat berperan disini.
Teknik-teknik atau pun peralatan baru bisa juga ikut menentukan, sebab membuka kemungkinan baru yang lebih luas. Ketika muncul orgel pipa, maka penciptaan gubahan-gubahan musikal yang lebih rumit, macam “fuga”, jadi dimungkinkan daripada sewaktu musik hanya bisa dimainkan sebuah suling sederhana. Meskipun tetap perlu diingat bahwa orgel pipa dan komposisi-komposisi macam fuga dimungkinkan karena dirintis oleh tradisi suling juga. Memang terobosan-terobosan baru bisa muncul karena intensitas pergumulan dengan tradisi juga. Dalam dunia senirupa munculnya alat forografi tentunya juga ikut merangsang orang berubah pikiran tentang apa artinya melukis, sehingga gaya naturalistik berubah ke arah impressionistik. Memang perubahan ini juga dimungkinkan karena tradisi naturalistik telah mencapai puncak kesetiaannya pada prinsip mimesis hingga jenuh.
Unsur kejutan baru pun bisa ikut berperan sebagai pembuka kemungkinan-kemungkinan baru. Bila biasanya patung-patung tidak diberi warna dan tiba-tiba seorang seniman terkemuka mewarnai patung-patungnya, misalnya, bisa saja ini kemudian diterima sebagai jalan keluar dari kejenuhan juga, yang lantas membuka gaya baru.
Sebuah style bisa menjadi dominan juga karena kebetulan ia persis memenuhi kebutuhan akan selera baru. Ini soal selera pasar. Style Gotik yang diawali oleh abbot Suger dari st.Denis segera ditiru banyak orang antara lain konon karena hal itu memenuhi hasrat orang jaman itu akan kaca-kaca besar dan bentuk-bentuk lentur melingkar,sebab bosan pada garis-garis kaku,berat dan anggular. Barangkali perkaranya mirip Walkman. Awalnya orang tak berpikir kesitu dan tak menginginkannya, namun ketika nekad diproduksi oleh Jepang orang seperti dibantu merumuskan kebutuhannya : kebutuhan akan kenikmatan menikmati musik yang bersifat pribadi, intim dan mobile dalam masyarakat yang semakin individualistik. Maka muncullah wabah walkman. Berkaitan dengan selera pasar ini, sulit dipungkiri, bahwa sering seniman pun sangat dipengaruhi olehnya. Misalnya ketika style impressionisme dominan, maka gaya itu pulalah yang terasa bergengsi, sehingga melukis dengan gaya naturalistik menjadi terasa inferior.
Masyarakat Barat ketika menjadi modern sangat menekankan prestasi individual, dan karenanya situasi menjadi cenderung kompetitif. Sejak Giotto menandatangani karyanya orang pun tersadar akan tuntutan prestasi individual itu dalam kesenian juga. Antara lain sejak itulah mulai berkembang konsep tentang seniman sebagai “great master”, bahkan kelak nyaris bagaikan “nabi”. Padahal sebelum-sebelumnya seniman tak lebih bagai pengrajin alias tukang biasa saja. Situasi kompetitif ini pula yang dalam skala jauhnya telah ikut melahirkan sejarah suksesi aliran/gaya dalam dunia seni di Barat. Itu unsur khas Barat, yang di India atau pun Cina dan Indonesia, misalnya, tidaklah terasa oleh sebab suasana umum sosialnya masih berpola komunal dan kesenian pun belum sungguh-sungguh merupakan bidang yang sangat otonom dan karenanya tak menghasilkan sejarah matarantai paradigma seperti dalam dunia seni Barat juga. Jadi unsur pola dan disposisi mental-kultural masyarakat pun sangatlah berperan.
Style pun bisa tiba-tiba menjadi dominan bila ia mampu merumuskan mood atau pun atmosfer lingkungan yang konkrit dialami namun sering sulit dirumuskan. Misalnya saja, gaya assemblage , collage, atau pun juxtaposition sewenang-wenang yang akhir-akhir ini sepertinya selalu saja kita jumpai dalam berbagai karya seni, sangat mungkin menjadi dominan karena ia persis menampilkan aspek komposit dari kenyataan dunia manusia kontemporer, yang memang serba campuran,serba hibrida hampir dalam segala sisi kehidupannya.
Semua ilustrasi diatas memperlihatkan bahwa dalam dunia seni posisi paradigma sesungguhnya tidaklah sama dengan paradigma dalam dunia sains. Dalam dunia seni unsur-unsur kontekstual-lokal dan unsur irrasional demikian besar pengaruhnya, sehingga mestinya konsep tentang sejarah seni pun tak bisa persis bersifat se-evaluatif dan se-normatif sejarah sains. Penulisan sejarah seni dengan demikian akan lebih berguna bila ditulis secara lebih modest, lebih deskriptif, melukiskan berbagai bentuk “perubahan” dengan segala kemungkinan penyebab dan akibatnya, tanpa pretensi melihatnya sebagai “kemajuan” dan tanpa buru-buru menerapkan kotak-kotak kategorisasi yang sudah dirancang sebelumnya, apalagi sambil menganggap paradigma-paradigma tertentu sebagai tolok ukur-tolok ukur umum.
“Seni” sebagai istilah yang licin
Semua perasaan ketidakcocokan yang mengganjal manakala kita membandingkan antara seni dan sains diatas tadi boleh jadi sesungguhnya berakar pada ambiguitas makna kata “seni” itu sendiri. Istilah “seni” itu memang mengandung pengertian yang sangat licin. Di satu sisi pengertiannya mau dipasti-pastikan seperti yang senantiasa terjadi dalam kultur Barat yang memang sangat verbal dan diskursif itu. Di sisi lain upaya-upaya macam itu pun ujung-ujungnya seperti mengalami frustrasi sendiri. Arthur Danto menyebut situasi saat ini “The end of Art”.[11] Sedang Gombrich menuliskan kalimat pertama dalam The Story of Art begini : “ There really is no such thing as art. There are only artists.”[12] Pernyataan-pernyataan macam itu hari-hari ini bertebaran dimana-mana dan menunjukkan betapa sia-sianya segala upaya untuk menetap-netapkan hakekat “seni” itu.
Sepanjang sejarahnya, bila ditinjau secara umum dan luas, maka pengertian “seni” de facto telah berubah terusmenerus . Dalam masyarakat –masyarakat pra-modern ada kecenderungan kuat bahwa seni itu merupakan bagian erat dari religi dan statusnya hanyalah sebagai keterampilan teknis saja. Dalam konteks Barat istilah Ars aslinya juga berarti : skill, craftmanship, atau keterampilan teknis. Sekurang-kurangnya hingga Renesansi pengertian macam itu di Barat masih berlaku, hingga waktu itu antara teknik, pertukangan bahkan sains dengan seni tak jelas bedanya. Pada figur macam Leonardo da Vinci tumpang tindih pengertian itu jelas sekali terasa : ia itu seniman, sekaligus ilmuwan dan tukang.
Ketika seni masih erat terkait pada religi keterampilan teknis itu pun berkaitan erat dengan ritual religius. Disini seni adalah pola-pola ungkap pengalaman religius. Katakanlah , ia berfungsi menggarisbawahi kemisteriusan realitas sakral-transenden. Dalam kerangka ini tidak mengherankan bila bentuk seni itu umumnya bercorak dekoratif, ornamental dan stilistik. Stilisasi disini bukanlah sekedar “penggayaan” bukan pula ungkapan ketidakmampuan perseptual. Kecenderungan mendistorsi bentuk-bentuk normal-natural itu agaknya lebih tepat dilihat sebagai strategi untuk menampilkan interioritas, aura sakral atau pun ruh di balik tampilan-tampilan fisik material. Yang menarik pada periode ini adalah juga bahwa seni disini bersifat sangat populis : urusan bersama dan bagian hidup sehari-hari. Seniman bukanlah sosok istimewa sekali dengan status sosial khusus, melainkan bagian dari masyarakat dan hidup sehari-hari yang biasa saja.
Perubahan pengertian tentang “seni” mulai terasa menonjol di kemudian hari terutama dalam dunia Barat modern. Dalam atmosfer modern itu seni seolah melepaskan diri dari institusi religius dan meraih otonominya sendiri. Sejak itu kegiatan kesenian cenderung menjadi medan eksplorasi bentuk,materi dan teknik. Memang ini berkaitan dengan berbagai gejala lain yang mencirikan kemodernan. Misalnya saja, yang utama adalah bahwa dalam pola pikir modern religiusitas memang cenderung tersingkir, sekurang-kurangnya tidak lagi menjadi poros utama kehidupan. Dan ketika kehidupan lebih dikelola berdasarkan perspektif sekular dan rasional, kesenian pun cenderung menjadi persoalan teknikalitas dan reflektivitas. Musik tak lagi peduli dengan keagungan,keindahan dan harmoni, melainkan menjadi perkara eksplorasi hakekat “musik” dan fenomen “bunyi’ itu sendiri. Tarian menjadi pencarian hakekat “gerak”. Senirupa menjadi refleksi tentang makna terdalam “imaji” dan “simbol” dalam skala seluas-luasnya. Sedang seni-seni pertunjukan sibuk bergulat dengan interaksi dialektis hakiki antara pementasan dan kehidupan nyata secara timbal-balik. Dengan itu semua kesenian lantas menjadi sangat elitis borjuis dan berwatak personal sangat kental. Seniman menjadi semacam genius-genius yang menempati status sosial elitis juga. Serentak karya-karya seni makin bersifat filosofis dan makin jauh dari persepsi dan apresiasi masyarakat kebanyakan. Sedemikian sehingga ketika ujung-ujungnya kesenian macam ini masuk kembali ke wilayah banalitas sehari-hari justru menjadi terasa aneh. Gelagat yang dipelopori Dadaisme, lalu Pop-art , musik konkrit, installasi, multimedia,dst.dst. malah diragukan justru oleh mereka yang dididik dalam kerangka estetika modern. Dan itu pula sebabnya kelompok-kelompok diatas itu sekaligus saja menyebut dirinya “anti-art” atau “post-estetik”,dsb.dsb. Sejak itu konsep tentang “seni” dan “apa itu seni” memang menjadi tema utama perbincangan hingga hari ini.
Sebenarnya dari dulu pengertian tentang apa itu “seni” sudah selalu problematis. Salah satu yang menarik misalnya masalah apakah Arsitektur itu termasuk sebagai seni atau bukan. Dalam kultur dan bahasa Jerman arsitektur termasuk dalam istilah Kunst , sementara dalam bahasa Inggris ia tidak termasuk dalam istilah Art. Atau dalam konteks kesenian modern, misalnya, kerajinan ( craft) tidak pernah dianggap sungguh-sungguh “seni” berhubung dalam paham modern ada anggapan bahwa yang betul-betul seni itu adalah yang termasuk dalam “high-art”, yang dalam bahasa Indonesia dahulu sering diasosiasikan dengan “seni murni” itu. Dan dalam kerangka ini karya-karya seni primitif , betapapun mengandung intensitas toh tak akan pernah disebut sebagai “seni” dalam arti sesungguhnya. Mereka akan tetap sekedar produk “kerajinan”. Di Cina kaligrafi adalah betul-betul “seni” yang intensitas dan status kulturalnya tinggi, padahal di Barat tidak.
Untuk sebagiannya tentang apa persis yang bisa disebut “seni” dan bukan seni seringkali sangat tergantung pada cara peradaban tertentu memahami dirinya. Apa yang kita hargai dan kagumi, serta bagaimana cara kita menangkap dan menghargai sesuatu sebagiannya agaknya ditentukan oleh peradaban yang menghidupi kita. Kalau tetangga kita mengatakan bahwa Picasso itu hebat, maka kita juga ingin beranggapan sama, sampai akhirnya kita memang melihat mengapa dia hebat. Dalam situasi dan kondisi tertentu orang seperti Bosch atau Dali boleh jadi tak lebih dari orang-orang yang kurang waras. Tapi bila dikondisikan sedemikian bahwa mereka itu sebetulnya “genius” -yang memang masuk akal juga- maka lama-kelamaan kita memang meyakini bahwa mereka itu genius. Setiap peradaban dan jaman biasanya memiliki kriteriumnya sendiri dalam hal ini. Doktrin yang menguasai dunia seni abad 18 misalnya, adalah bahwa seni haruslah menampilkan perasaan terdalam para tokohnya, agar para penonton tersentuh. Dan itulah yang ada dibalik adagium “art must be noble”. Pada abad 19 lain lagi prinsipnya, yang lebih penting adalah kejujuran dan perasaan si senimannya : “ art must be sincere” . Yang terakhir ini khususnya dipengaruhi Psikoanalisa yang meyakini bahwa seni itu mirip mimpi , dan itu soal “pengakuan pribadi”.
Tapi selain pengertian “seni” yang relatif itu , yang agaknya lebih perlu kita perhatikan adalah bedanya pola persepsi sains dengan seni itu sebagai fenomen-fenomen umum. Maka telaah fenomenologi-hermeneutis menjadi menarik disini. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pola persepsi ilmiah berkecenderungan mengamati kenyataan dengan berjarak, jarak analitik. Sedemikian sehingga persepsi ilmiah selalu mengandaikan realitas sebagai sesuatu yang berada diluar kita, sebagai “obyek”. Dengan sendirinya manusia (peneliti/ilmuwan) lantas menganggap dirinya sebagai “subyek”. Persepsi ilmiah juga bekerja melalui proses abstraksi, dalam arti : ia selalu mencari unsur-unsur yang sifatnya umum saja dari realitas konkrit yang sesungguhnya partikular. Dan dengan cara kerja macam itu, maka pola logika yang digunakan pun bersifat linear, atau meminjam istilah Arthur Koestler, “assosiatif”, alias hanya melihat keterkaitan-keterkaitan diantara fenomen-fenomen yang satu kategori atau kategori-kategori yang berdekatan ( tihang listrik dengan kabel listrik, dengan lampu,dst.). Lebih jauh lagi , sains selalu berkecenderungan untuk mengukur dan mengkalkulasi. Keterukuran ( commensurability ) adalah salah satu karakter fundamental persepsi sains. Maka pola wacananya pun haruslah pola lugas-literal. Metafor ataupun analogi hanya digunakan bila itu menunjang kelogisan penjelasan harafiah saja.
Persepsi seni bagaimana pun sangatlah berbeda. Seni memang juga hendak bicara tentang realitas, namun justru dengan cara melebur menyatu dengan realitas itu. Dengan bahasa Gadamer, yang terjadi dalam persepsi seni adalah proses “bermain”, yaitu proses dimana Subyek dan Obyek tak ada lagi, yang ada dan menampilkan diri adalah “permainan” itu sendiri.[13] Dalam proses macam itu si seniman menguasai realitas justru dengan membiarkan diri dikuasai oleh realitas itu. Ia menangkap sesuatu justru dengan menenggelamkan diri dalam sesuatu itu, bukannya dengan mengambil jarak analitis lantas membedahnya. Maka yang menjadi penting bagi seorang seniman bukanlah proses abstraksi. Kebalikannya : proses merasuki kekonkritan dan keunikan realitas dalam segala keterkaitannya dengan realitas lainnya yang tak terduga. Maka pola logika yang digunakannya pun samasekali tidak linear, melainkan lateral, menyamping, bahkan ke segala arah dan kategori. Dengan istilah Arthur Koestler, logika yang berlaku disini adalah logika “Bissosiatif” : segala hal bisa berkitan dengan segala hal lain. Bagi seorang seniman,misalnya, jenis-jenis menu makanan bisa dilihat begitu erat terkait dengan percaturan politik atau pun musik. Maka jenis “kebenaran” yang ditampilkannya pun bisa sangat berbeda dengan “kebenaran ilmiah”. Kebenaran yang tampil dalam seni adalah “kebenaran eksistensial/eksperiensial” yang seringkali tak terukur. Bila dalam dunia sains 1+1 = 2, maka dalam dunia eksistensial 1 unsur ditambah unsur lain bisa saja menghasilkan sinergi aneh yang bila diangkakan menjadi 3 atau 7. Belum lagi jenis wacana yang digunakan pun adalah wacana metaforis-imajistik, bukan literal-verbal.
Semua ini tentunya perlu diperhitungkan dan mestinya membuat kita waspada bahwa penggunaan istilah “paradigma” dari dunia sains di dalam dunia seni bisa membawa pengertian yang sangat berbeda. Dan sejauh mana sesungguhnya diperlukan. Tulisan ini jauh dari pretensi untuk membicarakan masalahnya secara komprehensip. Ini hanyalah rangsangan awal bagi diskusi dan pembahasan selanjutnya, terutama pembahasan yang lebih konkrit menyangkut realitas seni di Indonesia
[1] Kita tahu , bagi Plato terdapat dua dunia,dunia konkrit ini dan dunia ideal yang terdiri dari idea-idea. Idea-idea itu adalah paradeigma alias dasar dan model bagi segala hal konkrit di dunia ini.
[2] Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago : University of Chicago Press,2nd ed.,1970, hlm 11-12
[3] Ibid . hlm 12-13
[4] J.Needham et.al. A Shorter Science and Civilization in China, vol . I ( Cambridge : Cambridge University Press, 1978 ) hlm.170
[5] Lihat Ilya Prigogine et. al. dalam Order Out of Chaos ( London : Flamingo, 1990) hlm 7-10
[6] bandingkan juga D.S. Kothari , Some Thought on Truth ( New Delhi : Indian National Science Academy, Bahadur Shah Zafar Marg,1975), hlm 5
[7] lihat Susan Sontag, A Susan Sontag Reader, (London : Penguin,1983) hlm143-149
[8] Bahkan orang seprogressif E.H. Gombrich pun , kendati dengan perumusan yang kedengaran canggih, toh tak bisa menyembunyikan sikap macam ini, ketika ia bilang bahwa orang primitif pada dasarnya tak bisa berposisi sebagai “saksi mata” (eye-witness ), melainkan ia selalu meng-konstruksi suatu imaji, suatu “model minimum”, seperti model-model penyederhanaan bentuk pada mainan/gambar kanak-kanak. Seni primitif memang tidak mengimitasi realitas. Baru kelak lama-kelamaan skemata itu akan mendekati tampilan visual “saksi mata” . Lihat E.H.Gombrich, A Lifelong Interests, conversations on Art and Science with Didier Eribon, London : Thames and Hudson Ltd.,1993, hlm 98 ff
[9] Thomas Kuhn, op.cit. hlm 164-70
[10] lihat Gombrich, op.cit. hlm 73-75
[11] lihat wawancara Arthur Danto dengan Suzi Gablik, dalam Suzi Gablik, Conversation before the end of time , London : Thames and Hudson, 1995,hlm277; juga Arthur C.Danto, Beyond the Brillo Box : The Visual Arts in Post-historical Perspectives ,New York: Farrar,Strauss and Giroux,1992.
[12] E.H.Gombrich, The Story of Art, London : Phaidon Press,1950. fifteenth ed.1989
[13] Uraian lebih rinci tentang apa artinya “bermain” lihat Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, London : Sheed & Ward, 1975,hlm 91-108
Wacana seni di Indonesia telah banyak memperbincangkan perlunya konsep-konsep, paradigma dan kategori-kategori khas Indonesia baik dalam penelaahan sejarah, teori estetik, maupun strategi kebudayaan umumnya. Namun membaca berbagai wacana itu selalu saja terasa ada sesuatu yang mengganjal. Misalnya, ada kecenderungan untuk buru-buru bicara tentang paradigma macam apa yang seyogianya digunakan. Dan biasanya lalu digali-galilah khasanah tradisi Indonesia, lantas dipas-paskan sebagai “paradigma” yang bersifat “khas Indonesia”. Dalam rangka ini lantas ada yang keasyikan dan seperti menemukan kerangka “estetik nasional” yang elemen-elemennya konon ditemukan dalam “puncak-puncak” semua tradisi etnik di Indonesia. Terhadap kerangka estetik macam ini biasanya segera saja orang bertanya : “ Bila karya seni saya tak memenuhi kriteria estetik macam itu, apa itu berarti tidak indonesiawi?” atau “ Apakah dengan adanya kriteria itu berarti bahwa saya harus berkesenian secara begitu , agar bisa disebut otentik?” . Pertanyaan-pertanyaan spontan yang penting dan ternyata tak mudah dijawab juga.
Ada kecenderungan kuat pula dalam wacana itu untuk mengambil alih begitu saja konsep-konsep tentang “paradigma” dari dunia sains tanpa cukup waspada bahwa di dunia seni konotasi “paradigma” bisa berbeda. Juga biasanya dengan cepat mata rantai berbagai aliran yang muncul di dunia Barat dijadikan semacam rujukan utama dalam memandang pola “sejarah seni”, misalnya: alur yang kurang lebih linier, suksesi dominasi aliran/gaya, situasi sosial-politik yang berinteraksi di dalamnya, dsb.dsb. Dan dibayangkan bahwa sejarah seni di Indonesia pun kira-kira mesti dilihat seperti itu, tanpa waspada bahwa ada begitu banyak hal dalam situasi perjalanan kesenian di Indonesia yang mungkin sedemikian unik sehingga “pola sejarah” macam itu sesungguhnya tak bisa dikenakan pada konteks Indonesia tanpa jatuh menjadi artifisial.
Dalam kecenderungan itu semua, yang seringkali dilupakan adalah pertanyaan yang sebenarnya lebih mendasar, yaitu : apakah kita memang membutuhkan “paradigma” ? ; “paradigma” dalam artian apa ? ; dan untuk apa ? . Ibaratnya kita itu begitu repot memilih desain kacamata, sementara tak pernah dipertanyakan dahulu apakah kita memang memerlukan kacamata dan kalau pun memerlukannya, kacamata jenis apa, misalnya jenis plus atau minus , anti air (kacamata renang), anti api (kacamata tukang las), atawa malahan tiga-dimensi (seperti untuk nonton film).
“Paradigma” dalam sains
Abad 20 adalah abad yang agaknya paling menarik dalam dunia sains, bukan karena berbagai temuannya kian menakjubkan - temuan apa pun kini makin menjadi hal yang biasa saja- ,melainkan karena belum pernah sebelumnya sains mencapai tingkat refleksivitas demikian mendasar seperti abad ini, refleksivitas yang akhirnya berani dan mampu menggugat identitas diri “sains” itu sendiri. Masalah terbesar yang dihadapi sains di akhir abad 20 ini adalah “ sains itu sesungguhnya apa “. Sertamerta urusannya bukan lagi rumus atau teori ilmiah apa yang revolusioner dan baru. Bukan semata-mata perkara aksioma , metodologi, atau pun epistemologi, melainkan lebih mendasar : persoalan ontologi : sains itu apa, bagaimana sesungguhnya cara ia bekerja dan ber-evolusi, dimana posisi dan perannya bagi peradaban,dst. Hal-hal itu pulalah yang menjelaskan popularitas dan signifikansi nama-nama para filsuf macam Popper,Kuhn,Lakatos , Feyerabend , Gadamer atau pun Rorty.
Istilah “paradigma” muncul dalam suasana reflektif di dunia sains macam itu. Maka bila istilah tersebut lantas menyebar dan digunakan di berbagai bidang lain, ada bagusnya kita tinjau dahulu maknanya di tempat asalnya. Dari sana barangkali kita temukan insight yang berguna untuk mendudukkan perkaranya secara lebih proporsional.
Yang bicara paling eksplisit tentang “paradigma” di akhir abad 20 ini agaknya adalah Thomas Kuhn, meskipun sebagai istilah, “paradeigma” sudah digunakan sejak jaman Plato, yang artinya “model/contoh”.[1] Kendatipun pada Kuhn kerap kita temukan banyak nuansa tentang arti “paradigma” itu , dapatlah dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “paradigma” kurang lebih adalah : segala hasil penelitian terdahulu yang diakui dan digunakan oleh komunitas ilmiah tertentu sebagai patokan dasar dan sumber penelitian selanjutnya. Hasil-hasil penelitian yang dijadikan patokan umum itu biasanya tampil dalam bentuk buku teks baku, baik pada tingkat dasar maupun lanjutan. Isi konkritnya biasanya adalah : hukum-hukum, bangunan teoritik yang sudah diterima, berbagai contoh penerapannya yang berhasil , berbagai observasi dan eksperimen yang dianggap standard, sistem instrumentasi yang diperlukan, beserta cara kerja praktisnya di lapangan. Mengambil contoh dari khasanah klasik, misalnya Physica karya Aristoteles, Almagest dari Ptolemeus, atau Principia dan Opticks dari Newton, telah berperan sebagai semacam “paradigma” itu. Dua karakteristik yang biasanya dimiliki oleh paradigma adalah : 1. menawarkan unsur baru tertentu yang menarik pengikut keluar dari persaingan metode kerja dalam kegiatan ilmiah sebelumnya; 2. (serentak) menawarkan pula persoalan-persoalan baru yang masih terbuka dan belum terselesaikan.[2]
“Paradigma” macam itu pulalah yang lantas akhirnya disebut sebagai tradisi penelitian ilmiah tertentu. Misalnya lalu ada sebutan “ Astronomi Ptolemaic “ , “Astronomi Copernican”, “Dinamika Aristotelian”, “Dinamika Newtonian”,dsb.dsb. Mahasiswa yang memasuki komunitas ilmiah tertentu lalu dididik dengan berbagai paradigma tersebut, dan karenanya -disadari atau pun tidak- masuk dalam pola-pola konsensus dasar komunitas itu. Suasana orientasi text-book ini pada gilirannya mudah menyebabkan si mahasiswa dan para praktisi dalam komunitas tersebut cenderung tidak memperkarakan prinsip atau asumsi-asumsi dasar di balik praktik-praktiknya. Inilah yang disebut Kuhn situasi “normal science”, yaitu situasi ketika sebuah paradigma menjadi sedemikian dominan sehingga ia digunakan sebagai tolok ukur utama dan umum sampai seolah tak lagi perlu mempertanyakan ulang prinsip-prinsip pertamanya. Mahasiswa tinggal saja berkonsentrasi khusus pada berbagai fenomena yang paling pelik dan esoterik dengan cara kerja “puzzle-solving” saja : artinya, bahan-bahan pembentuk puzzlenya sudah dibuatkan oleh buku teks dalam tradisi, tak perlu mencari-cari bahan “puzzle” baru yang samasekali berbeda. Effek bagus dari situasi “normal” ini adalah bahwa kita lebih mudah mendeteksi unsur “kemajuan” disitu.
Tapi dalam situasi modern istilah “paradigma” memang bernuansa agak lain , bila dibandingkan dengan situasi ilmiah pra-modern. Sekurang-kurangnya hingga abad tujuhbelas belum berlaku tolok ukur tunggal atau dominasi paradigma tunggal dalam penentuan ilmiah atau tidaknya suatu hasil penelitian. Jadi misalnya di bidang Fisika, dalam perkara cahaya berkembang berbagai aliran yang saling berkompetisi. Ada yang berkiblat pada Epicurus, ada yang Aristotelian , ada yang Platonik, beserta segala variasinya. Bagi yang satu cahaya diyakini sebagai partikel-partikel yang memancar dari tubuh-tubuh material; bagi yang lain cahaya adalah modifikasi medium antara tubuh dan mata; bagi yang lain lagi cahaya adalah interaksi antara medium dengan pancaran dari mata, dst.dst. Masing-masing mereka mengacu pada metafisika tertentu sebagai sumbernya, dan masing-masing memberi tekanan pada fenomena-fenomena optik khusus yang lebih bisa dijelaskan oleh teori masing-masing itu. Yang menarik adalah bahwa waktu itu mereka semua toh dianggap sebagai ilmuwan. Sebab memang tak ada satu standard umum yang disepakati bersama. Yang menarik lagi adalah bahwa dalam situasi macam itu wacana yang berkembang lebih bersifat horisontal, artinya : lebih terarah pada kubu-kubu satu sama lain yang bersaingan, ketimbang vertikal yaitu terarah pada fenomena alam itu sendiri.
Pada abad tujuhbelas dan delapan belas situasinya berbeda. Pada masa Newton itu mulai muncul semacam keyakinan bersama tentang paham yang dapat dianggap standard. Opticks karya Newton mengajarkan misalnya bahwa cahaya terdiri dari korpuskel-korpuskel material . Maka pandangan itu dijadikan patokan, sehingga kesibukan para fisikawan kemudian adalah mencari bukti-bukti tekanan partikel-partikel cahaya yang mendesak tubuh-tubuh padat. Tapi pada abad sembilanbelas pandangan standard macam itu tertantang oleh tulisan Young dan Fresnel yang menyarankan gagasan bahwa sebenarnya lebih tepatlah cahaya dilihat sebagai gerakan gelombang. Sedang pada abad duapuluh orang umumnya meyakini gagasan lain lagi, yaitu bahwa cahaya adalah photon-photon, alias maujud-maujud mekanika kuantum yang dapat tampil baik sebagai gelombang maupun sebagai partikel. Ini tentu saja gagasan yang diinspirasikan oleh Planck,Einstein,dll.
Yang hendak dikatakan adalah bahwa “keilmiahan” pada situasi pra-modern terasa jauh lebih pluralistik dan istilah “paradigma” tidak sertamerta berarti standard universal. Sedangkan dalam situasi modern, sesuai dengan tuntutan obyektivitas yang meyakini bahwa kebenaran itu tunggal, “paradigma” menjadi ungkapan kesepakatan umum dan karenanya berperan sebagai tolok ukur tunggal universal. Dalam situasi modern karenanya lebih dimungkinkan pula melihat sejarah ilmu secara linier, yaitu sejarah sebagai suksesi dari paradigma dominan ke paradigma lainnya, yang biasanya memang bersifat revolusioner. Dalam kerangka ini pula Kuhn bicara tentang “ revolusi ilmiah”.[3]
Memang akhir-akhir ini sains pun terpaksa agak berubah dalam memahami realitas alam semesta maupun dirinya sendiri. Dalam kerangka klasik Newtonian alam dilihat sebagai benda yang pasif dengan hukumnya yang berjalan bagai otomat sedang sains sendiri dimengerti sebagai observasi ketat dan netral atas data , lantas berurusan dengan kerangka kausalitas yang deterministik. Alam semesta ini dilihat sebagai suatu mekanisme yang sederhana, dikelola oleh hukum-hukum dasar yang abadi, tak kenal waktu, reversible, a temporal. Segala hal dalam alam ini unsur dasarnya satu dan sama, analog dengan segala bentuk bangunan (rumah, mesjid, pabrik,dsb) yang unsur dasarnya hanyalah batu-bata. Itu sebabnya mekanika klasik ini banyak berfokus pada wilayah mikro. Dampak dari pola berpikir macam ini antara lain adalah munculnya dualisme antara worldview ilmiah dan worldview religius, antara realitas yang diyakini sebagai mesin dengan hukum universalnya yang seragam-mekanis dan realitas yang diyakini sebagai proses kreatif, hidup,berkebebasan dan digerakkan kasih Tuhan. Joseph Needham menganggap dualisme macam ini sebagai akar dari skizofrenia Barat.[4]
Tapi semua itu kini telah berubah. Eddington menemukan bahwa penelitian pada tingkat mikro, yaitu pada partikel-partikel elementer sebenarnya tak mampu menjelaskan perilaku pada tingkat makro, yaitu pada konfigurasi total kumpulan molekul- molekul. Sejak munculnya Mekanika Kuantum dan teori Relativitas diyakini bahwa partikel-partikel sebenarnya selalu berada dalam proses transformasi terus menerus kedalam satu sama lain. Dari sana ditemukan bahwa ternyata semesta ini kompleks dan tidak sederhana, pluralistik dan tidak seragam, unik temporal-irreversible dan tidak deterministik-a temporal. Struktur-struktur bisa bermunculan lalu hilang kembali. Realitas ternyata dikendalikan oleh proses yang bersifat fluktuatif Memang ada saatnya ia bisa dipahami secara deterministik, namun kali lain sering lebih bisa dipahami sebagai proses yang bersifat probabilistik. Persisnya, pola determinisme hanya relevan bagi situasi equilibrium, yang sebetulnya langka. Alam semesta pada dasarnya mengandung unsur-unsur yang pada dasarnya acak, unik dan spontan. Materi bukanlah substansi pasif, melainkan aktivitas spontan dan kreatif, soal relasi dan komunikasi, di dalam waktu. Teori tentang Dissipative Structure dari Ilya Prigogine kini meng-eksplisitkan semua itu. Baginya alam semesta ternyata tak selalu berada dalam situasi equilibrium. Bila situasi berubah dari equilibrium ke far-from equilibrium maka pola repetitif-universal-mekanis berubah ke pola spesifik,spontan dan tak terduga. Lantas dimungkinkanlah transformasi dari khaos ke order, terbentuklah tatanan baru , yang oleh Prigogine disebut dissipative structure itu. Jadi pada situasi macam itu semesta ternyata bekerja dalam proses yang bersifat non-linier dan kreatif. Seolah bila dalam keadaan equilibrium materi itu “buta”, dalam keadaan far-from-equilibrium materi jadi bisa “melihat” (melihat masalah dalam medan elektrik atau gravitasional, misalnya) dan cepat mengambil sikap kreatif baru . Perubahan-perubahan kecil pada tingkat elementer mikroskopis dalam konteks ini dapat menggelombang menjadi perubahan besar pola perilaku pada tingkat makroskopis.[5] Baik dari bidang partikel-elementer, kimia, biologi maupun kosmologi kini ditemukan bahwa alam ternyata memiliki unsur-unsur self-organization, kompleksitas dan temporalitas (proses evolusioner).
Perubahan-perubahan itu semua telah membawa perubahan pula bagi pemahaman diri sains itu sendiri. Bahwa ternyata dimungkinkan perubahan pandangan yang demikian radikal dalam dunia sains menunjukkan bahwa ada interaksi sistematik antara konsep-konsep teoritik dan observasi ; bahwa respons alam terhadap interogasi eksperimental sains sebetulnya sangat ditentukan oleh kerangka teoritis yang digunakan sains itu. Dengan kata lain, kini disadari bahwa konstruksi intelektual manusia sendiri ternyata sangat menentukan paham yang didapat tentang “apa”nya realitas. Apa pun yang kita sebut “realitas” sebetulnya dibukakan pada kita hanya melalui konstruksi aktif pikiran kita sendiri . Tagore, pernah berkata bahwa “bahkan kalau pun kebenaran absolut itu ada, kebenaran itu tak akan pernah terjangkau oleh pikiran manusia”. Ternyata omongan ini bukanlah sekedar kegilaan mistik Ternyata segala bentuk pengukuran, eksperimen dan observasi hanya dimungkinkan karena kita sudah punya kerangka teoritis terlebih dahulu.[6] Dari sana dunia ilmiah pun kini menyadari bahwa ternyata yang sebenarnya menjadi persoalan pokok adalah soal “makna”, bukan sekedar perkara “fakta” seperti keyakinan naif dunia ilmiah klasik. Ketika Bohr mengunjungi kastil Kronberg, dia berkata kepada Werner Heisenberg bahwa kastil yang sebetulnya biasa saja seperti kastil lainnya itu tiba-tiba berubah ketika disadari bahwa Hamlet pernah tinggal disitu. Inilah persis persoalan “makna” itu.
Meskipun demikian, masalahnya tetaplah dalam dunia sains itu terdapat keyakinan bahwa ada paradigma umum. Isi paradigmanya memang bisa berubah, taruhlah dalam sains klasik titik berat diletakkan pada perkara “substansi” dan “reversibility” sedangkan sekarang titik berat pada persoalan “relasi” dan “irriversibility”. Bahkan kalau pun tekanan itu diletakkan pada pluralitas dan partikularitas kenyataan, paradigma tentang pluralitas dan partikularitas itu tetaplah diyakini sebagai universal juga.
Sejarah dan paradigma kesenian
Ketunggalan , keuniversalan dan konsepsi yang linear tentang sejarah , pada hemat saya adalah hal-hal pokok yang kelak akan sangat menentukan pula manakala kita bicara tentang senirupa . Pertama-tama harus segera dikatakan bahwa dominasi sains dalam peradaban modern memang sangat menggoda segala bidang lain untuk mengikuti pola-pola kerja sains itu. Keobyektifan dan sifat universal sains beserta mitos “kemajuan” yang dikembangkannya membuat orang tak lagi cukup waspada terhadap kekhasan dasar bidang-bidang lainnya. Bahkan karenanya konsep tentang “sejarah” yang demikian linear itu sendiri pun sepertinya tak pernah diperkarakan.
Demikian, di bidang seni pun lantas sejarah perkembangan seni di Barat, misalnya, selalu saja cenderung dilihat sebagai rangkaian babakan yang ditandai patahan-patahan revolusioner ( ruptures ) yang biasanya dikaitkan dengan peritiwa-peristiwa sosial-politik yang menentukan seperti : abad pertengahan, renesansi, barok, romantik, modern, kontemporer , dsb.; atau dikaitkan dengan perubahan-perubahan mendasar di bidang “gaya” (style,schools ) seperti : naturalisme, impressionisme, ekspressionisme, abstrak-ekspressionisme, dst.dst.. Dan pola memahami sejarah macam itu sertamerta juga menjadi pola baku yang digunakan di berbagai tempat. “Gaya” (aliran atau style) dan kondisi sosial-politik dilihat sebagai dua kunci untuk memahami “paradigma” kesenian.
Mengenai normativitas “gaya” memang betul bahwa di dunia Barat pun terdapat sikap yang ambivalen. Sempat “gaya” atau style dipandang sebagai akal-akalan yang tidak tulus, mengganggu materi dasar yang seharusnya justru tampil. Dan orang lantas berusaha untuk “transparan” atau “style-less” alias tanpa gaya. Dalam hal novel, misalnya, Barthes sempat menyebut istilah “the zero degree of writing” atau “anti metaphorical and dehumanized”. Whitman pernah mengatakan bahwa penyair besar biasanya justru tak mempunyai style yang jelas, sebab ia adalah aliran bebas dari dalam dirinya sendiri. Dan Camus sempat menganggap tulisan-tulisannya berstyle “putih” (white style) sebab ia bersifat impersonal, ekspositoris, lugas dan datar, nyaris “tanpa gaya”.
Tapi sikap macam itu muncul terutama karena style cenderung dimengerti ibarat sebuah tirai, dekorasi belaka, atau cadar yang menutupi kandungan yang lebih dalam. Artinya di balik semua itu ada asumsi dasar bahwa sebuah karya itu terdiri dari kemasan dan isi, bentuk dan essensi. Tapi asumsi dasar bisa lain. Cocteau, misalnya, meyakini bahwa style adalah ibarat roh yang hanya bisa tampil lewat tubuh, atau Susan Sontag yang meyakini bahwa “ art is not only about something, it is something” , artinya : dalam karya seni “isi” itu selalu tampil dalam totalitas fisiognomisnya atau dalam konfigurasi bentuknya yang inderawi. Bentuk dan isi itu tak terpisahkan. Dan apresiasi seni selalulah merupakan proses transformasi yang pada hakekatnya terjadi lewat struktur formal karya. Karya seni dalam stylenya yang khas selalulah merupakan inkarnasi dari roh, jejak yang tampak jelas dari energi atau pun vitalitas. Dari perspektif macam Sontag ini lalu bobot dan kualitas sebuah karya seni memang erat lekat pada style- nya. Hanya saja bagi Sontag “roh” itu sebetulnya selalu sesuatu yang bersifat individual dan karenanya style-pun merupakan idiom yang sifatnya partikular. Bila dipukulrata kedalam kategori aliran-aliran besar individualitas khas karya sebetulnya hilang. Ibarat pola perilaku yang khas seseorang hilang ketika dikategorikan dalam klasifikasi psikologi atau sosiologi, dan sosok konkrit manusianya hilang. Padahal salah satu hal yang unik dalam seni adalah justru kemampuannya menampilkan realitas yang singular ke tingkat eksplisit; membuat kita melihat dan memahami yang partikular dan real.[7]
Pada orang macam Sontag memang style menjadi primer dan normatif, namun tekanannya pada partikularitas menyebabkannya lebih realistis. Yang menjadi masalah adalah bahwa dalam alur sejarah seni Barat style itu menjadi kategori-kategori umum, sedemikian hingga ia menjadi kriteria pembabakan sejarah juga. Ini terutama marak ketika Hegel bicara tentang “Roh Obyektif”, yang kemudian melahirkan anggapan tentang adanya “Roh jaman” alias semacam kesadaran kolektif. Pada titik ini style lebih kuat lagi diyakini sebagai “Roh Jaman” itu. Bahkan lebih jauh, pengertian tentang “seni” pun jadinya erat terkait pada pemahaman tentang perkembangan style versi Barat . Lalu, seperti sains, seolah definisi “seni” pun mesti universal, dan itu berarti definisi seni ala Barat pula yang menjadi patokan.
Kecenderungan diatas itu membawa dampak yang sesungguhnya problematis. Misalnya saja, segala bentuk kesenian tradisional di berbagai negara lain yang non-barat, betapa pun canggihnya , statusnya tak akan lebih daripada “kerajinan” . Menarik bukan pertama-tama sebagai benda seni –seolah “kerajinan” bukanlah seni samasekali- melainkan sebagai data Antropologis yang eksotik saja, bukti-bukti keprimitifan alias keterbelakangan. Sementara di sisi lain segala bentuk “modern” kebarat-baratan yang berkembang di negara-negara non-barat itu cenderung dilihat sebagai seni yang “tidak otentik” . Kecenderungan ambivalen ini mau tak mau senantiasa berdampak mendudukan Barat selalu dalam posisi superior, dan di luar barat menjadi selalu inferior. Betapa pun kuatnya -dalam skala formalisme- bentuk “abstrak-ekspressionistik” patung-patung Asmat atau pun Nias, patung-patung tersebut hanya akan dianggap sebagai ungkapan ketidaktepatan persepsi fisiognomis orang primitif, ibarat lukisan anak-anak yang belum mampu menangkap rincian bentuk normal-natural.[8]
Kajian Sejarah dalam dunia seni sesungguhnya bisa mengincar obyek yang amat berragam dan sifat kajiannya pun bisa berragam. Pada tingkat yang paling sederhana sejarah bisa hanya berupa cerita yang sifatnya deskriptif saja, misalnya tentang bagaimana dari jaman ke jaman manusia menciptakan dan mengolah imaji. Memang dari cerita macam itu orang juga bisa membuat sejarah yang lebih bersifat evaluatif, tak sekedar deskriptif, misalnya : dari berbagai fenomen olah imaji itu lantas mana yang dianggap paling “bermutu” dan layak disebut sebagai “Seni” ( dengan huruf besar). Sejarah juga bisa sekedar cerita perkembangan teknis seperti teknik melukis, alat-alat dan teknik musik, teknik arsitektur,dsb. Bisa juga ia hanya bercerita tentang perubahan selera atau fungsi seni, dsb..
Tapi akhirnya yang akan sangat penting adalah konsep “sejarah” itu sendiri dimengerti sebagai apa. Bila sejarah hanya dimaksudkan sebagai salah satu kegiatan pendataan saja maka kecenderungannya akan lebih bersifat deskriptif saja. Namun bila dalam pengertian “sejarah” terkandung pretensi untuk melihat sejenis “evolusi peradaban”, macam yang dipikirkan Hegel misalnya, mau tak mau muncul kecenderungan kuat ke arah sifat evaluatif bahkan normatif. Dan yang terakhir ini memang merupakan godaan kuat dalam alam berpikir modern : orang tak cukup bersahaja untuk mau melihat realitas sebagai sekedar “perubahan” dan selalu ingin melihatnya dalam perspektif “vertikal” alias dalam kerangka “kemajuan”. Untunglah ada orang-orang macam Foucault atau pun Deleuze yang mencoba melihat realitas historis itu lebih secara “horisontal”, yakni sekedar melihat jaringan berbagai saling-keterkaitan yang mungkin antar berbagai unsur/peristiwa lantas menemukan insight-insight baru (apa pun itu) dari dalamnya. Kaum post-strukturalis ini, betapa pun ganjilnya cara berpikir mereka, menjadi penting untuk mengingatkan kita bahwa “sejarah” adalah lahan interaksi berbagai peristiwa yang demikian luas kemungkinannya untuk dimaknai. Dan “makna” itu bisa apa pun juga. Ini memang perspektif yang tak lagi bersandar pada metafisika “substansi” atawa “essensialisme” modern yang selalu berkeyakinan bahwa segala sesuatu itu ada essensinya, dan essensi itu satu. Dalam kerangka metafisika macam itu memang ada gelagat kuat untuk menjadikan peradaban tertentu sebagai tolok ukur tunggal , yang sesungguhnya merupakan pemiskinan dan pengkerdilan realitas.
Komunitas ilmuwan dan komunitas seniman
Bahwa sejarah ilmu yang cenderung dilihat secara evolusioner tidak selalu sesuai untuk ditransfer polanya ke dalam sejarah seni, sebetulnya juga berkaitan erat dengan kenyataan bahwa jenis komunitas dan kegiatan ilmiah sesungguhnya memiliki karakter yang berlainan dengan jenis kegiatan dan komunitas seni.
Bagaimana pun juga komunitas ilmuwan bersifat lebih eksklusif daripada komunitas seniman. Ilmuwan bekerja dalam sorotan para anggota kelompok sejawat , yaitu orang-orang yang memiliki keyakinan dan nilai-nilai serupa. Karena itu pula mereka ini lebih mudah menggunakan satu standard penilaian yang sama. Sementara para seniman lebih tergantung pada penilaian khalayak awam yang bersifat heterodoks. Itu karena para seniman selalu membutuhkan agar karyanya ditampilkan dan dinikmati orang banyak. Dan ini mengakibatkan tidak mudahnya menerapkan standard tunggal untuk menilai karya-karya seni.
Ilmuwan , khususnya yang dari bidang-bidang eksakta tidak perlu memilih persoalan yang hendak ditelitinya sebab sistem, metode dan konteks yang mereka gumuli itu sendirilah yang akan menurunkan berbagai persoalan yang harus ditelaah lebih lanjut. Sementara para seniman ( dan ilmuwan sosial atau pun filsuf) biasanya harus mencari dan memilih sendiri serta mempertanggungjawabkan sendiri pula persoalan-persoalan yang hendak digarapnya. Dan, terutama dalam kegiatan seni kontemporer yang konseptualistis, ini sering sangat berkaitan dengan masalah-masalah dalam kehidupan konkrit aktual.
Para ilmuwan, khususnya di bidang ilmu-ilmu alam , umumnya dididik dengan ketergantungan serius pada buku teks (yang memang up-to-date), meskipun pada tahun-tahun akhir mereka dimungkinkan mengadakan riset sendiri juga. Dan kegiatan problem-solving mereka pun lebih berupa puzzle-solving. Semua itu lantas mengakibatkan situasi dalam ilmu-ilmu ini sesungguhnya tidak terlalu kondusif untuk munculnya temuan-temuan atau pendekatan-pendekatan baru. Bahkan bukan tak mungkin para mahasiswa fisika misalnya merasa tak perlu membaca langsung karya-karya Newton,Faraday, Einstein atau pun Schrodinger, oleh sebab segala yang perlu mereka ketahui toh sudah diringkaskan secara lebih effisien dan sistematik dalam berbagai buku teks.
Dari sudut ini ilmuwan terasa berkecenderungan “tradisional”, dalam arti : segala pola pikir sebelumnya dilihat sebagai terarah secara lurus dan akumulatif kepada saat ini. “Kemajuan” pun cenderung dilihat dalam kerangka linear macam itu. Karena itu komunitas para ilmuwan cenderung merasa aman dan mapan. Mereka tidak mudah untuk mengambil paradigma yang samasekali baru, sebab hal itu akan mengakibatkan banyak hal yang telah lama dianggap sebagai pondasi akan diperkarakan, dan terbongkar. Dengan kata lain, sebetulnya di bidang ilmiah “kebaruan” bukanlah sesuatu yang secara psikologis sungguh dikehendaki. Yang namanya “kebaruan” biasanya bisa ditolerir hanya bila tetap memungkinkan kerangka problem-solving terdahulu digunakan, dan bila paradigma baru itu betul-betul mampu memecahkan persoalan penting dan menonjol, yang dengan cara lain memang tak bisa dipecahkan. Tidaklah mengherankan bila Kuhn lantas mengatakan bahwa meskipun sains memang bisa makin mendalam toh ia sulit untuk semakin melebar dan meluas daya jangkaunya. Dan dalam kerangka ini semua, Kuhn bahkan mengatakan bahwa perubahan paradigma dalam dunia sains sesungguhnya tidak selalu berarti semakin dekatnya kita pada kebenaran.[9]
Dalam dunia seni ( juga ilmu sosial dan filsafat) buku-teks tak pernah menduduki posisi sedemikian sentral hingga menimbulkan ketergantungan. Dalam dunia seni yang lebih menentukan perkembangan adalah ter-eksposnya seniman atau calon seniman itu pada karya-karya seniman lain yang notabene berragam sekali coraknya. Maka dunia seni lebih terbiasa melihat berragam persoalan dengan berragam solusi yang ditawarkan . Dalam dunia yang dipenuhi atmosfer kreatif ini sesungguhnya menjadi tidak wajar memandang masa lalu sebagai alur lurus sederhana ke arah masa kini seperti dalam dunia sains. Seni adalah realitas yang alur sejarahnya sudah selalu centang perenang ke segala arah dan berbagai alternatif. Ini persis dunia filsafat yang meskipun sepertinya problem dasarnya sama , yaitu “realitas ini apa?” toh penjabaran persoalan dan bentuk jawabannya betul-betul memperlihatkan demikian banyak kemungkinan. Dan dalam konteks ini “kebaruan” seolah justru merupakan hal penting yang dicari orang. Suasana Avantgarde di masa lampau adalah contoh ekstrim betapa akhirnya kebaruan dicari sering demi “kebaruan” itu sendiri saja ( asal baru), dan tak selalu demi peningkatan teknis maupun isi substansi. Bila dalam dunia sains, segala bentuk kebaruan akan dikaji berdasarkan kerangka “tradisional”, maka dalam dunia seni bisa persis sebaliknya : segala bentuk alur tradisional akan dinilai ulang berdasarkan kebaruan-kebaruan atau berdasarkan semangat kreatif baru.
Dari sudut ini , meskipun seniman-seniman bisa saja berkelompok dalam sebuah komunitas aliran/gaya/tradisi tertentu, toh sesungguhnya seniman itu pada kodratnya adalah petualang-petualang yang soliter. Dan pada titik ini sesungguhnya selalu terasa kurang pas bila kita bicara tentang sebuah “paradigma” dalam artian tolok ukur komunal atau pun umum. Lebih tepat agaknya bila kita melihat para seniman itu sendirilah masing-masing yang merupakan “paradigma”, yaitu sebagai individu dengan kreativitas dan rangkaian perjalannya yang khas.
Soalnya bagaimana sebuah paradigma diadopsi dalam komunitas ilmuwan dan dalam komunitas seniman itu juga nuansanya bisa sangat berbeda. Bagaimana pun juga dalam konteks dunia ilmu modern, yang meyakini tolok ukur tunggal sebagai cerminan obyektivitas universal, mengadopsi sebuah paradigma baru berkaitan erat dengan tersingkapnya sisi lain dari realitas. Dus, “vertikal”, seolah karena realitasnya ternyata berbeda maka kacamatanya diganti. Itu keyakinan dasarnya. De facto, diterima atau tidaknya paradigma baru itu memang sering lebih di pengaruhi faktor psikologis, praktis maupun sosiologis, ketimbang faktor ontologis sungguhan, seperti telah diuraikan diatas.
Dalam dunia seni , kalaupun dominasi suatu kecenderungan pola pandang ,tema atau pun gaya bisa dianggap sebagai dominasi sebuah paradigma ( ini masih selalu bisa dipersoalkan ) , maka ternyata ada banyak sekali kemungkinan variabel yang bisa mempengaruhi diterima atau tidaknya paradigma itu. Dan umumnya itu lebih persoalan “horisontal” saja, bahkan banyak kali juga unsur-unsur kebetulan dan irrasional ikut berperan.
Kesenian meledak dalam jaman Renesanse konon salah satu penyebabnya sederhana saja, yaitu kebiasaan para imam Fransiskan dan Dominikan abad tigabelas dan empatbelas yang bila berkotbah menggunakan teknik meditasi pembayangan. Misalnya : “Bayangkanlah Maria sedang duduk, mendengar suara dari malaikat….dst.dst”. Teknik pembayangan atau visualisasi macam inilah konon yang antara lain di kemudian hari berkembang menjadi drama-drama dan lukisan.[10] Unsur kebetulan berperan disini.
Akibat Protestantisme yang bersifat ikonoklastik alias tak menyukai berbagai bentuk simbol dan imaji dalam gereja, misalnya, di Inggris kesenian sempat tak berkembang bahkan nyaris mati. Saat itu seniman dianggap profesi yang tak punya masa depan. Tapi di negeri Belanda , yang juga saat itu dikuasai Protestantisme, tradisi seni tetap maju , sebab kendati tidak mereka pakai sendiri karya-karya mereka itu diekspor untuk kolektor luar negeri. Unsur bisnis sangat berperan disini.
Teknik-teknik atau pun peralatan baru bisa juga ikut menentukan, sebab membuka kemungkinan baru yang lebih luas. Ketika muncul orgel pipa, maka penciptaan gubahan-gubahan musikal yang lebih rumit, macam “fuga”, jadi dimungkinkan daripada sewaktu musik hanya bisa dimainkan sebuah suling sederhana. Meskipun tetap perlu diingat bahwa orgel pipa dan komposisi-komposisi macam fuga dimungkinkan karena dirintis oleh tradisi suling juga. Memang terobosan-terobosan baru bisa muncul karena intensitas pergumulan dengan tradisi juga. Dalam dunia senirupa munculnya alat forografi tentunya juga ikut merangsang orang berubah pikiran tentang apa artinya melukis, sehingga gaya naturalistik berubah ke arah impressionistik. Memang perubahan ini juga dimungkinkan karena tradisi naturalistik telah mencapai puncak kesetiaannya pada prinsip mimesis hingga jenuh.
Unsur kejutan baru pun bisa ikut berperan sebagai pembuka kemungkinan-kemungkinan baru. Bila biasanya patung-patung tidak diberi warna dan tiba-tiba seorang seniman terkemuka mewarnai patung-patungnya, misalnya, bisa saja ini kemudian diterima sebagai jalan keluar dari kejenuhan juga, yang lantas membuka gaya baru.
Sebuah style bisa menjadi dominan juga karena kebetulan ia persis memenuhi kebutuhan akan selera baru. Ini soal selera pasar. Style Gotik yang diawali oleh abbot Suger dari st.Denis segera ditiru banyak orang antara lain konon karena hal itu memenuhi hasrat orang jaman itu akan kaca-kaca besar dan bentuk-bentuk lentur melingkar,sebab bosan pada garis-garis kaku,berat dan anggular. Barangkali perkaranya mirip Walkman. Awalnya orang tak berpikir kesitu dan tak menginginkannya, namun ketika nekad diproduksi oleh Jepang orang seperti dibantu merumuskan kebutuhannya : kebutuhan akan kenikmatan menikmati musik yang bersifat pribadi, intim dan mobile dalam masyarakat yang semakin individualistik. Maka muncullah wabah walkman. Berkaitan dengan selera pasar ini, sulit dipungkiri, bahwa sering seniman pun sangat dipengaruhi olehnya. Misalnya ketika style impressionisme dominan, maka gaya itu pulalah yang terasa bergengsi, sehingga melukis dengan gaya naturalistik menjadi terasa inferior.
Masyarakat Barat ketika menjadi modern sangat menekankan prestasi individual, dan karenanya situasi menjadi cenderung kompetitif. Sejak Giotto menandatangani karyanya orang pun tersadar akan tuntutan prestasi individual itu dalam kesenian juga. Antara lain sejak itulah mulai berkembang konsep tentang seniman sebagai “great master”, bahkan kelak nyaris bagaikan “nabi”. Padahal sebelum-sebelumnya seniman tak lebih bagai pengrajin alias tukang biasa saja. Situasi kompetitif ini pula yang dalam skala jauhnya telah ikut melahirkan sejarah suksesi aliran/gaya dalam dunia seni di Barat. Itu unsur khas Barat, yang di India atau pun Cina dan Indonesia, misalnya, tidaklah terasa oleh sebab suasana umum sosialnya masih berpola komunal dan kesenian pun belum sungguh-sungguh merupakan bidang yang sangat otonom dan karenanya tak menghasilkan sejarah matarantai paradigma seperti dalam dunia seni Barat juga. Jadi unsur pola dan disposisi mental-kultural masyarakat pun sangatlah berperan.
Style pun bisa tiba-tiba menjadi dominan bila ia mampu merumuskan mood atau pun atmosfer lingkungan yang konkrit dialami namun sering sulit dirumuskan. Misalnya saja, gaya assemblage , collage, atau pun juxtaposition sewenang-wenang yang akhir-akhir ini sepertinya selalu saja kita jumpai dalam berbagai karya seni, sangat mungkin menjadi dominan karena ia persis menampilkan aspek komposit dari kenyataan dunia manusia kontemporer, yang memang serba campuran,serba hibrida hampir dalam segala sisi kehidupannya.
Semua ilustrasi diatas memperlihatkan bahwa dalam dunia seni posisi paradigma sesungguhnya tidaklah sama dengan paradigma dalam dunia sains. Dalam dunia seni unsur-unsur kontekstual-lokal dan unsur irrasional demikian besar pengaruhnya, sehingga mestinya konsep tentang sejarah seni pun tak bisa persis bersifat se-evaluatif dan se-normatif sejarah sains. Penulisan sejarah seni dengan demikian akan lebih berguna bila ditulis secara lebih modest, lebih deskriptif, melukiskan berbagai bentuk “perubahan” dengan segala kemungkinan penyebab dan akibatnya, tanpa pretensi melihatnya sebagai “kemajuan” dan tanpa buru-buru menerapkan kotak-kotak kategorisasi yang sudah dirancang sebelumnya, apalagi sambil menganggap paradigma-paradigma tertentu sebagai tolok ukur-tolok ukur umum.
“Seni” sebagai istilah yang licin
Semua perasaan ketidakcocokan yang mengganjal manakala kita membandingkan antara seni dan sains diatas tadi boleh jadi sesungguhnya berakar pada ambiguitas makna kata “seni” itu sendiri. Istilah “seni” itu memang mengandung pengertian yang sangat licin. Di satu sisi pengertiannya mau dipasti-pastikan seperti yang senantiasa terjadi dalam kultur Barat yang memang sangat verbal dan diskursif itu. Di sisi lain upaya-upaya macam itu pun ujung-ujungnya seperti mengalami frustrasi sendiri. Arthur Danto menyebut situasi saat ini “The end of Art”.[11] Sedang Gombrich menuliskan kalimat pertama dalam The Story of Art begini : “ There really is no such thing as art. There are only artists.”[12] Pernyataan-pernyataan macam itu hari-hari ini bertebaran dimana-mana dan menunjukkan betapa sia-sianya segala upaya untuk menetap-netapkan hakekat “seni” itu.
Sepanjang sejarahnya, bila ditinjau secara umum dan luas, maka pengertian “seni” de facto telah berubah terusmenerus . Dalam masyarakat –masyarakat pra-modern ada kecenderungan kuat bahwa seni itu merupakan bagian erat dari religi dan statusnya hanyalah sebagai keterampilan teknis saja. Dalam konteks Barat istilah Ars aslinya juga berarti : skill, craftmanship, atau keterampilan teknis. Sekurang-kurangnya hingga Renesansi pengertian macam itu di Barat masih berlaku, hingga waktu itu antara teknik, pertukangan bahkan sains dengan seni tak jelas bedanya. Pada figur macam Leonardo da Vinci tumpang tindih pengertian itu jelas sekali terasa : ia itu seniman, sekaligus ilmuwan dan tukang.
Ketika seni masih erat terkait pada religi keterampilan teknis itu pun berkaitan erat dengan ritual religius. Disini seni adalah pola-pola ungkap pengalaman religius. Katakanlah , ia berfungsi menggarisbawahi kemisteriusan realitas sakral-transenden. Dalam kerangka ini tidak mengherankan bila bentuk seni itu umumnya bercorak dekoratif, ornamental dan stilistik. Stilisasi disini bukanlah sekedar “penggayaan” bukan pula ungkapan ketidakmampuan perseptual. Kecenderungan mendistorsi bentuk-bentuk normal-natural itu agaknya lebih tepat dilihat sebagai strategi untuk menampilkan interioritas, aura sakral atau pun ruh di balik tampilan-tampilan fisik material. Yang menarik pada periode ini adalah juga bahwa seni disini bersifat sangat populis : urusan bersama dan bagian hidup sehari-hari. Seniman bukanlah sosok istimewa sekali dengan status sosial khusus, melainkan bagian dari masyarakat dan hidup sehari-hari yang biasa saja.
Perubahan pengertian tentang “seni” mulai terasa menonjol di kemudian hari terutama dalam dunia Barat modern. Dalam atmosfer modern itu seni seolah melepaskan diri dari institusi religius dan meraih otonominya sendiri. Sejak itu kegiatan kesenian cenderung menjadi medan eksplorasi bentuk,materi dan teknik. Memang ini berkaitan dengan berbagai gejala lain yang mencirikan kemodernan. Misalnya saja, yang utama adalah bahwa dalam pola pikir modern religiusitas memang cenderung tersingkir, sekurang-kurangnya tidak lagi menjadi poros utama kehidupan. Dan ketika kehidupan lebih dikelola berdasarkan perspektif sekular dan rasional, kesenian pun cenderung menjadi persoalan teknikalitas dan reflektivitas. Musik tak lagi peduli dengan keagungan,keindahan dan harmoni, melainkan menjadi perkara eksplorasi hakekat “musik” dan fenomen “bunyi’ itu sendiri. Tarian menjadi pencarian hakekat “gerak”. Senirupa menjadi refleksi tentang makna terdalam “imaji” dan “simbol” dalam skala seluas-luasnya. Sedang seni-seni pertunjukan sibuk bergulat dengan interaksi dialektis hakiki antara pementasan dan kehidupan nyata secara timbal-balik. Dengan itu semua kesenian lantas menjadi sangat elitis borjuis dan berwatak personal sangat kental. Seniman menjadi semacam genius-genius yang menempati status sosial elitis juga. Serentak karya-karya seni makin bersifat filosofis dan makin jauh dari persepsi dan apresiasi masyarakat kebanyakan. Sedemikian sehingga ketika ujung-ujungnya kesenian macam ini masuk kembali ke wilayah banalitas sehari-hari justru menjadi terasa aneh. Gelagat yang dipelopori Dadaisme, lalu Pop-art , musik konkrit, installasi, multimedia,dst.dst. malah diragukan justru oleh mereka yang dididik dalam kerangka estetika modern. Dan itu pula sebabnya kelompok-kelompok diatas itu sekaligus saja menyebut dirinya “anti-art” atau “post-estetik”,dsb.dsb. Sejak itu konsep tentang “seni” dan “apa itu seni” memang menjadi tema utama perbincangan hingga hari ini.
Sebenarnya dari dulu pengertian tentang apa itu “seni” sudah selalu problematis. Salah satu yang menarik misalnya masalah apakah Arsitektur itu termasuk sebagai seni atau bukan. Dalam kultur dan bahasa Jerman arsitektur termasuk dalam istilah Kunst , sementara dalam bahasa Inggris ia tidak termasuk dalam istilah Art. Atau dalam konteks kesenian modern, misalnya, kerajinan ( craft) tidak pernah dianggap sungguh-sungguh “seni” berhubung dalam paham modern ada anggapan bahwa yang betul-betul seni itu adalah yang termasuk dalam “high-art”, yang dalam bahasa Indonesia dahulu sering diasosiasikan dengan “seni murni” itu. Dan dalam kerangka ini karya-karya seni primitif , betapapun mengandung intensitas toh tak akan pernah disebut sebagai “seni” dalam arti sesungguhnya. Mereka akan tetap sekedar produk “kerajinan”. Di Cina kaligrafi adalah betul-betul “seni” yang intensitas dan status kulturalnya tinggi, padahal di Barat tidak.
Untuk sebagiannya tentang apa persis yang bisa disebut “seni” dan bukan seni seringkali sangat tergantung pada cara peradaban tertentu memahami dirinya. Apa yang kita hargai dan kagumi, serta bagaimana cara kita menangkap dan menghargai sesuatu sebagiannya agaknya ditentukan oleh peradaban yang menghidupi kita. Kalau tetangga kita mengatakan bahwa Picasso itu hebat, maka kita juga ingin beranggapan sama, sampai akhirnya kita memang melihat mengapa dia hebat. Dalam situasi dan kondisi tertentu orang seperti Bosch atau Dali boleh jadi tak lebih dari orang-orang yang kurang waras. Tapi bila dikondisikan sedemikian bahwa mereka itu sebetulnya “genius” -yang memang masuk akal juga- maka lama-kelamaan kita memang meyakini bahwa mereka itu genius. Setiap peradaban dan jaman biasanya memiliki kriteriumnya sendiri dalam hal ini. Doktrin yang menguasai dunia seni abad 18 misalnya, adalah bahwa seni haruslah menampilkan perasaan terdalam para tokohnya, agar para penonton tersentuh. Dan itulah yang ada dibalik adagium “art must be noble”. Pada abad 19 lain lagi prinsipnya, yang lebih penting adalah kejujuran dan perasaan si senimannya : “ art must be sincere” . Yang terakhir ini khususnya dipengaruhi Psikoanalisa yang meyakini bahwa seni itu mirip mimpi , dan itu soal “pengakuan pribadi”.
Tapi selain pengertian “seni” yang relatif itu , yang agaknya lebih perlu kita perhatikan adalah bedanya pola persepsi sains dengan seni itu sebagai fenomen-fenomen umum. Maka telaah fenomenologi-hermeneutis menjadi menarik disini. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pola persepsi ilmiah berkecenderungan mengamati kenyataan dengan berjarak, jarak analitik. Sedemikian sehingga persepsi ilmiah selalu mengandaikan realitas sebagai sesuatu yang berada diluar kita, sebagai “obyek”. Dengan sendirinya manusia (peneliti/ilmuwan) lantas menganggap dirinya sebagai “subyek”. Persepsi ilmiah juga bekerja melalui proses abstraksi, dalam arti : ia selalu mencari unsur-unsur yang sifatnya umum saja dari realitas konkrit yang sesungguhnya partikular. Dan dengan cara kerja macam itu, maka pola logika yang digunakan pun bersifat linear, atau meminjam istilah Arthur Koestler, “assosiatif”, alias hanya melihat keterkaitan-keterkaitan diantara fenomen-fenomen yang satu kategori atau kategori-kategori yang berdekatan ( tihang listrik dengan kabel listrik, dengan lampu,dst.). Lebih jauh lagi , sains selalu berkecenderungan untuk mengukur dan mengkalkulasi. Keterukuran ( commensurability ) adalah salah satu karakter fundamental persepsi sains. Maka pola wacananya pun haruslah pola lugas-literal. Metafor ataupun analogi hanya digunakan bila itu menunjang kelogisan penjelasan harafiah saja.
Persepsi seni bagaimana pun sangatlah berbeda. Seni memang juga hendak bicara tentang realitas, namun justru dengan cara melebur menyatu dengan realitas itu. Dengan bahasa Gadamer, yang terjadi dalam persepsi seni adalah proses “bermain”, yaitu proses dimana Subyek dan Obyek tak ada lagi, yang ada dan menampilkan diri adalah “permainan” itu sendiri.[13] Dalam proses macam itu si seniman menguasai realitas justru dengan membiarkan diri dikuasai oleh realitas itu. Ia menangkap sesuatu justru dengan menenggelamkan diri dalam sesuatu itu, bukannya dengan mengambil jarak analitis lantas membedahnya. Maka yang menjadi penting bagi seorang seniman bukanlah proses abstraksi. Kebalikannya : proses merasuki kekonkritan dan keunikan realitas dalam segala keterkaitannya dengan realitas lainnya yang tak terduga. Maka pola logika yang digunakannya pun samasekali tidak linear, melainkan lateral, menyamping, bahkan ke segala arah dan kategori. Dengan istilah Arthur Koestler, logika yang berlaku disini adalah logika “Bissosiatif” : segala hal bisa berkitan dengan segala hal lain. Bagi seorang seniman,misalnya, jenis-jenis menu makanan bisa dilihat begitu erat terkait dengan percaturan politik atau pun musik. Maka jenis “kebenaran” yang ditampilkannya pun bisa sangat berbeda dengan “kebenaran ilmiah”. Kebenaran yang tampil dalam seni adalah “kebenaran eksistensial/eksperiensial” yang seringkali tak terukur. Bila dalam dunia sains 1+1 = 2, maka dalam dunia eksistensial 1 unsur ditambah unsur lain bisa saja menghasilkan sinergi aneh yang bila diangkakan menjadi 3 atau 7. Belum lagi jenis wacana yang digunakan pun adalah wacana metaforis-imajistik, bukan literal-verbal.
Semua ini tentunya perlu diperhitungkan dan mestinya membuat kita waspada bahwa penggunaan istilah “paradigma” dari dunia sains di dalam dunia seni bisa membawa pengertian yang sangat berbeda. Dan sejauh mana sesungguhnya diperlukan. Tulisan ini jauh dari pretensi untuk membicarakan masalahnya secara komprehensip. Ini hanyalah rangsangan awal bagi diskusi dan pembahasan selanjutnya, terutama pembahasan yang lebih konkrit menyangkut realitas seni di Indonesia
[1] Kita tahu , bagi Plato terdapat dua dunia,dunia konkrit ini dan dunia ideal yang terdiri dari idea-idea. Idea-idea itu adalah paradeigma alias dasar dan model bagi segala hal konkrit di dunia ini.
[2] Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago : University of Chicago Press,2nd ed.,1970, hlm 11-12
[3] Ibid . hlm 12-13
[4] J.Needham et.al. A Shorter Science and Civilization in China, vol . I ( Cambridge : Cambridge University Press, 1978 ) hlm.170
[5] Lihat Ilya Prigogine et. al. dalam Order Out of Chaos ( London : Flamingo, 1990) hlm 7-10
[6] bandingkan juga D.S. Kothari , Some Thought on Truth ( New Delhi : Indian National Science Academy, Bahadur Shah Zafar Marg,1975), hlm 5
[7] lihat Susan Sontag, A Susan Sontag Reader, (London : Penguin,1983) hlm143-149
[8] Bahkan orang seprogressif E.H. Gombrich pun , kendati dengan perumusan yang kedengaran canggih, toh tak bisa menyembunyikan sikap macam ini, ketika ia bilang bahwa orang primitif pada dasarnya tak bisa berposisi sebagai “saksi mata” (eye-witness ), melainkan ia selalu meng-konstruksi suatu imaji, suatu “model minimum”, seperti model-model penyederhanaan bentuk pada mainan/gambar kanak-kanak. Seni primitif memang tidak mengimitasi realitas. Baru kelak lama-kelamaan skemata itu akan mendekati tampilan visual “saksi mata” . Lihat E.H.Gombrich, A Lifelong Interests, conversations on Art and Science with Didier Eribon, London : Thames and Hudson Ltd.,1993, hlm 98 ff
[9] Thomas Kuhn, op.cit. hlm 164-70
[10] lihat Gombrich, op.cit. hlm 73-75
[11] lihat wawancara Arthur Danto dengan Suzi Gablik, dalam Suzi Gablik, Conversation before the end of time , London : Thames and Hudson, 1995,hlm277; juga Arthur C.Danto, Beyond the Brillo Box : The Visual Arts in Post-historical Perspectives ,New York: Farrar,Strauss and Giroux,1992.
[12] E.H.Gombrich, The Story of Art, London : Phaidon Press,1950. fifteenth ed.1989
[13] Uraian lebih rinci tentang apa artinya “bermain” lihat Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, London : Sheed & Ward, 1975,hlm 91-108
ART WITHOUT "ISM"
By : Bambang Sugiharto
The history of art, especially as it appears in the West, has been characterised by the persistent tendency to question the long tradition of painting as the privileged medium of representation. The struggle with the canvas found its decisive turning point in Duchamp’s works (ranging from ready made objects,mixed media,installation to film). Ever since Duchamp, no longer under gravitational pull of the canvas, artist was free to express any idea through whatever means possible. While the buzzword of today is “ the death of the subject/author”, in the world of art, ironically, art becomes more and more sheer personal statement.
The Shift of Focus
The shift of focus from ‘objective’ representation to personal expression and ideas/concepts, as well as the manner and the means in which the expression is conveyed, have led to such a proliferation of materials and forms. And this eventually leads to the questioning of the very nature of ‘Art’ itself. Anything can be called ‘art’, somehow that Arthur Danto once declared “the end of art”, as we have known it. Whereas the usage of any technological media to render meaning and new ideas has made the critic Gene Youngblood call all art today as ‘experimental’. “All art is experimental, or it isn’t art”, he said.
Facing so many forms of art especially those coming from the alliance between art and technology, we cannot but realize that the common “isms” associated with the art such as Cubism,Surrealism,Conceptualism,etc. have run their course. When Walter Benjamin talked about the lost of “aura” in the technology of reproduction, today digital technology has made the artist able to introduce new forms of “production” not “reproduction”. While Baudrillard talks about ‘simulation’, Virilio says, more acurately, that we are entering a world with two realities, the actual and the virtual, and there is no ‘simulation’ but ‘substitution’. Any notion related to representation of the real seems to be obsolete today. In art, visual literacy is no longer limited to ‘the object’, it now embraces the fluid, ever-changing universe, an interactive world that can be interdependent in its incorporation of ‘the viewer’ into the completion of the work of art.
The Fluid Reality
It is this the same fluid reality which is also captured and played upon in one of the new media arts called ‘Video Art’. It is video’s capacity for instantaneous transmission of image that is most appealing to artist, in addition to its relative affordability. Different from film, Video records and reveals instant time, whereas film has to be treated and processed. Film is contemplative and ‘distanced’; it detaches viewer from present reality. Furthermore, multiple projection devices make possible for the video artists to represent the often chaotic and random feel of multiple images competing constantly for our attention, just like fluid reality. Video also gives more sense of intimacy usually not realizable in film. As in the works of Acconci and Nauman, video becomes an extension of the creative process and the artistic gesture so long associated with Abstarct Expressionists physical act of painting. Video also gives more space for the intentionality of the artist. The work is not a product for sale or mass consumtion. At issue here is precisely the intentionality of the artist. The iconoclastic minimalist intention of Nam June Paik in his work Zen for Film, for instance, where he projected clear film leader inside a television set, sought to question the common associations viewers bring to the watching of a film, stripping film to its barest essential (the film stock itself).
Other pervasive form of expression of art today working with real time is the so called ‘Performance Art’. This is the fruit of the cross fertilization between theater,dance,film,video and visual art. Although it is usually related to Dada and Fluxus the phenomenon is in fact nourished by much more complex movements of art in the late twentieth century in many parts of the world. Its multimedia character, including the use of video camera, has made possible for the artist to reveal the nature of ‘process’ in art, that is, art as ‘activity’ and ‘experience’ in real time usually missing in painting. Besides, it makes possible to venture into uncharted waters of the conventional art : the body as the source and specific language, the possibility of mixing sound, movement, image etc to make a complex statement, the lost of words and emotional deprivation, the close connection between everyday objects and events and art,etc.etc.
Technology is indeed changing rapidly, and with it the artist’s field and language are expanding. When in the twentieth century we saw the merging of art and the everyday, perhaps in the twenty-first centrury we would witness further the merging of the real and the virtual. After all, what artists do has always been challenging or altering our way of looking at things and our mode of experiencing the world, including the technological world. It is the nature of art as personal statement that makes possible for us to see or experience things differently and find again and again the ‘other side’ of reality; be it reality of history of art, the politics of the day, or the politics of the self; no matter West or East. This ‘otherness’ is something we can always expect from any kind of works of art.
* the article was written for Bandung Video,Film and New Media Art Forum (bavf-NAF 1) August 2002.
The history of art, especially as it appears in the West, has been characterised by the persistent tendency to question the long tradition of painting as the privileged medium of representation. The struggle with the canvas found its decisive turning point in Duchamp’s works (ranging from ready made objects,mixed media,installation to film). Ever since Duchamp, no longer under gravitational pull of the canvas, artist was free to express any idea through whatever means possible. While the buzzword of today is “ the death of the subject/author”, in the world of art, ironically, art becomes more and more sheer personal statement.
The Shift of Focus
The shift of focus from ‘objective’ representation to personal expression and ideas/concepts, as well as the manner and the means in which the expression is conveyed, have led to such a proliferation of materials and forms. And this eventually leads to the questioning of the very nature of ‘Art’ itself. Anything can be called ‘art’, somehow that Arthur Danto once declared “the end of art”, as we have known it. Whereas the usage of any technological media to render meaning and new ideas has made the critic Gene Youngblood call all art today as ‘experimental’. “All art is experimental, or it isn’t art”, he said.
Facing so many forms of art especially those coming from the alliance between art and technology, we cannot but realize that the common “isms” associated with the art such as Cubism,Surrealism,Conceptualism,etc. have run their course. When Walter Benjamin talked about the lost of “aura” in the technology of reproduction, today digital technology has made the artist able to introduce new forms of “production” not “reproduction”. While Baudrillard talks about ‘simulation’, Virilio says, more acurately, that we are entering a world with two realities, the actual and the virtual, and there is no ‘simulation’ but ‘substitution’. Any notion related to representation of the real seems to be obsolete today. In art, visual literacy is no longer limited to ‘the object’, it now embraces the fluid, ever-changing universe, an interactive world that can be interdependent in its incorporation of ‘the viewer’ into the completion of the work of art.
The Fluid Reality
It is this the same fluid reality which is also captured and played upon in one of the new media arts called ‘Video Art’. It is video’s capacity for instantaneous transmission of image that is most appealing to artist, in addition to its relative affordability. Different from film, Video records and reveals instant time, whereas film has to be treated and processed. Film is contemplative and ‘distanced’; it detaches viewer from present reality. Furthermore, multiple projection devices make possible for the video artists to represent the often chaotic and random feel of multiple images competing constantly for our attention, just like fluid reality. Video also gives more sense of intimacy usually not realizable in film. As in the works of Acconci and Nauman, video becomes an extension of the creative process and the artistic gesture so long associated with Abstarct Expressionists physical act of painting. Video also gives more space for the intentionality of the artist. The work is not a product for sale or mass consumtion. At issue here is precisely the intentionality of the artist. The iconoclastic minimalist intention of Nam June Paik in his work Zen for Film, for instance, where he projected clear film leader inside a television set, sought to question the common associations viewers bring to the watching of a film, stripping film to its barest essential (the film stock itself).
Other pervasive form of expression of art today working with real time is the so called ‘Performance Art’. This is the fruit of the cross fertilization between theater,dance,film,video and visual art. Although it is usually related to Dada and Fluxus the phenomenon is in fact nourished by much more complex movements of art in the late twentieth century in many parts of the world. Its multimedia character, including the use of video camera, has made possible for the artist to reveal the nature of ‘process’ in art, that is, art as ‘activity’ and ‘experience’ in real time usually missing in painting. Besides, it makes possible to venture into uncharted waters of the conventional art : the body as the source and specific language, the possibility of mixing sound, movement, image etc to make a complex statement, the lost of words and emotional deprivation, the close connection between everyday objects and events and art,etc.etc.
Technology is indeed changing rapidly, and with it the artist’s field and language are expanding. When in the twentieth century we saw the merging of art and the everyday, perhaps in the twenty-first centrury we would witness further the merging of the real and the virtual. After all, what artists do has always been challenging or altering our way of looking at things and our mode of experiencing the world, including the technological world. It is the nature of art as personal statement that makes possible for us to see or experience things differently and find again and again the ‘other side’ of reality; be it reality of history of art, the politics of the day, or the politics of the self; no matter West or East. This ‘otherness’ is something we can always expect from any kind of works of art.
* the article was written for Bandung Video,Film and New Media Art Forum (bavf-NAF 1) August 2002.
Langganan:
Postingan (Atom)