Oleh : Bambang Sugiharto
Millenium kedua diakhiri dengan rusaknya worldview konvensional. Kini segala bentuk worldview dipaksa merumuskan dirinya secara baru. Millenium ketiga diawali dengan suasana relativistis penuh ketidakpastian di segala bidang. Ini membawa perubahan radikal pula dalam cara manusia memahami diri, seni dan moralitas. Perubahan ini tidak bisa dilihat lagi secara oposisional, melainkan lebih tepat sebagai kompleksifikasi jaringan-jaringan “tekstual” yang hibrida dan tumpang tindih.
Rusaknya Worldview
Cyber-culture melahirkan : demokrasi elektronik, pluralisme perspektif, kemampuan mengorganisasi diri pada kelompok-kelompok kecil (lokal-global), transparansi komunikasi hingga melabrak segala tabu, ekstensifikasi dunia batin (privat-anonim), perayaan insting purba (Basic instinct).
The End of Ideology : otoritas sistem-sistem gagasan besar (filsafat, ilmu,agama) diragukan. Kultur menjadi polifonik. Tak ada lagi jembatan yang pasti antara “inner” dan “outer” world. Tak ada lagi sistem tunggal yang merekat berbagai pengalaman yang fragmentaris. Tak jelas lagi kapan kita merasa berhasil, gagal, berdosa, bersalah. Tak jelas lagi kepada apa kita mesti loyal dan untuk apa.
Konsep tentang“Realitas”: disadari kini, tiap klaim ttg “fakta”, dari sains sekalipun, selalu interpretif alias ber-aspek “fiktif”, konstruksi manusia yang dibentuk oleh bahasa. Dalam media, percampuran fakta dan fiksi lebih dimungkinkan lagi akibat sistem kode digital (Hyperreality). Konsep Newtonian tentang “materi” kini diragukan. “Materi” itu ternyata seperti bisa memilih : tampil sebagai sesuatu yang ber”posisi” atau suatu “momentum”, seolah ia memiliki inteligensi dan kehendak bebas, bukan benda mati. Struktur semesta sepertinya adalah struktur yang inteligen, merupakan jaringan kompleks yang tiap bagiannya mampu mengorganisasi diri secara spontan terhadap tiap perubahan terkecil sekalipun.
“Kebenaran” : sesuatu yang tak terukur, instabil, relasional. Segala klaim tentang kebenaran adalah cara manusia memahami kebenaran itu, bukan sang “kebenaran” itu sendiri. Istilah “obyektif” dan “absolut” kini terasa anakronistik.
Kaburnya konsep 'Diri'
Struktur pemahaman/pengalaman ttg diri dibentuk oleh kultur, oleh sistem-sistem semiotik tertentu. Ketika sistem-sistem itu tidak lagi tunggal, menjadi polifonik-plural, maka “diri” pun tak jelas lagi substansinya. Kecenderungan memiliki materi dan mengidentifikasi diri dengannya adalah isyarat kekosongan itu. “Diri” menjadi aneka jenis relasi, bagai aktor yang tampil dalam berbagai peran, polimorf (“Polymorphous versatility”, R.J.Lifton; “Homeless mind”,P.Berger; “Nomadic Subject”,G.Deleuze). Diri adalah kolase grotesque, dipaksa membentuk intelligibilitas dari berragam serpihan “teks” yang serba tak jelas konteksnya (aneka berita dan imaji) dan dari aneka relasi yang tak jelas maknanya. Diri adalah ibarat kumpulan cerpen yang kita tulis dan edit sendiri.
Momen-momen penting dalam hidup (lahir, nikah, kerja, mati,dst.) tak lagi cukup diberi arti oleh ritus-ritus konvensional. Ada kerinduan akan makna yang mendalam namun skeptik terhadap segala bentuk pretensi “kedalaman”, lebih suka merayakan “permukaan”. Ada keterpesonaan tanpa alasan, ada kemarahan tanpa sasaran.
Seni, hari ini
Dari representasi mimetik dunia luar, seni telah bergeser kian ke dalam, menjadi representasi dunia dalam, lalu memperkarakan hakekat representasi, medium dan materi itu sendiri, menjadi sangat konseptual. Seperti sulit bergerak lagi, ia lantas menyatu dengan yang banal, bermain dengan ironi , pastiche dan parodi, atau menikmati sunyi (dalam musik: dari tonal ke atonal, ke bunyi, ke sunyi). Kini, seni dipaksa merumuskan kembali hakekat hubungannya dengan kehidupan nyata sehari-hari.
Ada pergeseran signifikan dari idealisme simple-harmony ke disharmonious-harmony; dari perenial-ahistorical ke time-binding; dari purism ke hybrid-semiosis. Kategori-kategori lama tak lagi memadai untuk memahami segala fenomena ini.
Dalam situasi serba permisif,penuh pencarian dan percampuran, bentuk-bentuk kesenian kerap tampil dalam sosok-sosok patologis, mengejutkan,dan tak lagi berurusan dengan “keindahan”, justru dalam rangka merogoh interioritas kemanusiaan dan kebudayaan yang serba kehilangan pilar ini. Pada titik ini hubungan seni dan moralitas kerap menjadi problematis.
Karya seni tetap berpotensi membantu memperdalam pemahaman tentang kehidupan, tentang apa sesungguhnya yang kita ketahui dan apa yang sesungguhnya kita rasakan. Ia bisa juga memberikan cara-cara baru merangkai pengalaman-pengalaman yang fragmentaris. Kerap untuk itu ia menggunakan cara-cara ekstrim yang mengejutkan ataupun tidak senonoh, sebab dengan cara lain ia kehilangan daya provokatifnya.
Tapi moralitas bukanlah hanya perkara kesantunan, ia adalah soal pemahaman lebih mendalam tentang apa sesungguhnya yang manusiawi dan yang tidak. Dalam hal ini, karya seni bisa tidak senonoh namun dengan itu pemahaman moral kita dijernihkan dan diperdalam, karenanya ia secara moral tetap bisa disebut baik.
Tapi betul juga bahwa karya seni bisa memberi wajah indah pada kenyataan moral yang buruk. Indah tak selalu identik dengan secara moral baik. Indah bisa identik dengan jahat juga.Tapi bahkan seni jenis ini pun ada perlunya ditelaah, agar kita lebih memahami apa sesungguhnya yang kita tolak itu; agar lebih memahami manusia secara lebih jauh lagi; agar lebih memahami ambiguitas fenomen seni itu sendiri.
Siasat pencekalan karya atas nama kesantunan hanya akan membuat kita tetap dangkal dan kekanak-kanakan. Yang perlu adalah mengkaji intensi si seniman dan barangkali membatasi konteks apresiasinya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar