Kamis, 12 Juni 2008

SENI DAN ABSURDITAS KESUCIAN

Oleh : Bambang Sugiharto

Kontroversi kasus RUU APP, razia malam yang konyol akibat Perda Tangerang, kasus karya seni Agus Suwage dan Davy Linggar, penutupan rumah ibadah, sweeping orang asing, dsb. adalah beberapa gejala yang menunjukkan bahwa perselingkuhan antara agama dan politik di negeri ini betul-betul telah mengompori meluas dan menguatnya tendensi fundamentalisme. Sebuah kemunduran yang membahayakan : membahayakan hidup berbangsa, tapi juga membahayakan dan merusakkan martabat agama itu sendiri. Kasus-kasus itu memperlihatkan bagaimana kini, sebagai alat politik, agama telah terperosok melakukan banyak hal yang demikian naïf, absurd dan menggelikan, hingga cenderung menjadi bahan olok-olok mereka yang memiliki bahkan sedikit saja kecerdasan.

Kedangkalan yang disucikan

Ketika saat ini penggunaan nalar kritis adalah sesuatu yang tak terelakkan, bahkan menjadi semacam syarat bagi kehidupan dan kemanusiaan modern yang bermartabat ; ketika dalam berbagai slogannya agama pun merayakan penggunaan akal sebagai sesuatu yang wajib, dalam kenyataannya di negeri ini akal terus menerus dikangkangi dan dianggap berbahaya, terutama bila status-quo mulai terancam. Pada titik ini akal kritis lantas dengan sewenang-wenang dicap entah sebagai “keBarat-Baratan”, “ancaman kemurtadan”, “bahaya relativisme agama”, atau yang kini populer : “ancaman bagi ahlak budaya bangsa”.
Yang terakhir itulah terutama masalahnya kini : istilah “ahlak” terus menerus digunakan untuk melegitimasikan tindakan-tindakan yang justru tak berahlak; istilah “budaya bangsa” terus menerus digunakan untuk segala strategi politik yang justru mendisintegrasikan budaya bangsa. Politisasi agama rupanya telah mengakibatkan syahwat atas kekuasaan demikian menggelegak dan disucikan, egosentrisme kelompok yang sempit dilegitimasi secara moral, dan yang lebih parah, kedangkalan serta kerancuan berpikir diyakini sebagai kesalehan. RUU APP adalah salah satu konfigurasi paling menarik dari semua kekacauan pikiran itu.
Sudah ada banyak undang-undang yang bisa digunakan untuk mengatur urusan pornografi dan perkara susila umumnya, dan berbagai kasus pun selama ini telah diproses dengan semestinya. Sesungguhnya tak diperlukan lagi undang-undang baru untuk mengatur hal itu, apa lagi dengan isi substansi yang dangkal, serampangan dan rancu. Ada banyak hal dalam RUU APP itu yang menyebabkannya bukan saja sangat lemah, tapi juga berbahaya. Tentang itu telah banyak tulisan akhir-akhir ini yang membahasnya, namun ada baiknya saya ringkaskan dahulu pendapat masyarakat ihwal RUU itu. Pertama, dasar-dasar konseptual peristilahannya tumpang-tindih, antara “pornografi”,”erotisme”, “sensualitas”, “obsenitas”dan “ketelanjangan banal sehari-hari”. Satu hal pokok yang diabaikan disana adalah soal “tujuan” (motivasi) dan “cara” atribut seksual ditampilkan. Yang spesifik pada pornografi adalah tujuan dan caranya yang semata-mata hendak memanipulasi perangsangan . Pada erotisme, obsenitas, sensualitas dan ketelanjangan-banal sehari-hari, tujuan, bentuk dan konteksnya dapat bermacam-macam. RUU itu terlampau bersemangat dengan urusan mempertontonkan aurat , hingga rancu menganggap semua itu “pornografi”. Lantas seolah juga dengan menutup aurat segala problem moralitas langsung beres. Begitu sederhana dan naïf. Kedua, RUU itu terlalu jauh mengatur wilayah moralitas individu dan memaksakan satu standard moralitas partikular bagi masyarakat yang majemuk. Ketiga, dalam berbagai sisi ternyata RUU itu melanggar konstitusi dan HAM. Keempat, dengan denda yang begitu besar sesungguhnya negara mengeksploitasi hak seksual warganya. Kelima, RUU itu menstigmatisasi secara negatif tubuh dan seksualitas perempuan, serta mengkriminalisasi kaum perempuan yang sebenarnya sudah selalu merupakan pihak yang menjadi korban. Keenam, RUU ini memberi peluang ke arah meningkatnya kekerasan oleh para polisi-moral, yang tentu lagi-lagi kaum perempuanlah yang akan banyak menjadi korban. Ketujuh, ada banyak persoalan moral yang lebih mendasar hari ini yang perlu dibenahi ketimbang sekadar urusan aurat, misalnya : gelagat kemunafikan yang begitu parah, etos kerja dan komitmen nilai yang begitu rendah, sulitnya bersikap konsisten antara idealisme dan tindakan konkrit, manipulasi isu agama untuk tujuan yang justru dapat merusakkan agama, dsb.dsb. Demikian, dari berbagai alasan diatas menjadi jelas bahwa RUU yang maunya menegakkan moral justru membawa demikian banyak karakter immoral di dalamnya. Suatu moralisme yang absurd.

Akar persoalan

Salah satu akar mendasar dari berbagai gelagat macam di atas itu agaknya adalah kekosongan dan lemahnya individu. Kekosongan ini menyebabkan individu begitu tergantung pada simbol-simbol eksternal secara harfiah dan berlebihan, ketergantungan yang sesungguhnya patologis. Simbol-simbol itu menggantikan ketiadaan isi dalam diri, menggantikan ego, sekaligus memberi ilusi bahwa dirinya adalah bagian dari entitas ego-kolektif yang lebih besar. Ada sejenis megalomania dan kengototan pada kemutlakan, yang menyembunyikan rasa ketidakberartian. Itulah sebabnya jumlah massa, pengeras suara, berbagai spanduk, jumlah tempat ibadah, dan berbagai bentuk formalisasi eksternal prinsip-prinsip yang diyakini dianggap begitu penting. Sementara segala bentuk tafsir nalar mendalam adalah bahaya merusakan kepastian permukaan, maka akan coba selalu dihindarkan. Namun dengan itu sesungguhnya individu-individu itu menjadi makin rapuh, sebab secara mental dan intelektual tak teruji. Akibatnya kecenderungan defensif pun menjadi terlampau besar, dan pada tingkat bawah-sadar senantiasa dibayangi kecurigaan dan ketakutan. Celakanya kecurigaan dan ketakutan sesungguhnya adalah sumber kekerasan, yang bukan hanya membahayakan pihak lain, melainkan juga merusakan diri sendiri.
Situasi komunikasi dan interaksi global sekarang sebenarnya tak bisa dihadapi dengan struktur mental macam itu. Adalah ilusi bahwa kita bisa menghindar dari segala keusilan bernalar kritis. Lagi pula alih-alih merusakkan sistem, keterbukaan untuk mengolah nalar kritis adalah siasat terbaik justru untuk memperkuat diri dan sistem itu sendiri. Sebaliknya, semakin harfiah dan tertutup suatu sistem simbol diperlakukan, semakin dangkal ia, semakin merosot martabatnya, semakin tak bernyawa dan kehilangan wibawa.

Nasib dan posisi Seni

Dalam situasi yang begitu nyinyir soal tampilan, dalam suasana ketika bentuk-bentuk permukaan demikian disucikan, seni sebagai wilayah yang memperkarakan bentuk dan tampilan par excellence barang tentu menjadi problematis. Jaman ketika seni menjadi kepanjangan tangan status-quo agama telah lewat. Dengan otonominya kini seni justru berposisi kebalikannya : menjadi wilayah paling usil dan kritis memperkarakan sistem simbol apa pun. Ia menjadi kubu yang mampu menggeledah konflik-konflik tersembunyi di balik sistem-sistem simbol itu, membongkar topeng-topeng kita dan menginfus keberanian untuk berpikir dan bersikap mandiri sebagai individu.
Aspek reflektif seni modern beserta keleluasaannya memainkan berbagai media memungkinkan individu merumuskan pengalaman-pengalaman batin yang sulit dirumuskan, menariknya ke tataran-tataran lebih dalam, ke persoalan-persoalan makna dan ruh yang lebih sejati. Seni memungkinkan kita mendobrak kebekuan-kebekuan cara memandang dan menghayati sesuatu dan berani melihat berbagai sisi baru yang tak terduga dari diri kita. Ia menawarkan peluang-peluang untuk meninjau ulang segala yang kita anggap berharga, dengan cara unik, personal dan jujur. Unik, karena seni menciptakan bahasanya sendiri yang spesifik, menerabas lintas kategori konseptual apa pun dalam rangka melihat keterkaitan maknawi baru antar apa pun.
Semua karakter itu kini tentu saja menjadi rentan, itu sebabnya hari-hari ini seni pun diburu dan diadili. Apa boleh buat, kebodohan massal yang disucikan dan dilindungi kekuasaan memang sangatlah mengerikan.

Bambang Sugiharto, pengajar filsafat di Unpar dan ITB.

2 komentar:

cinta beku mengatakan...

Tidak hanya itu, pak, "seni" dalam mengkaji berbagai perspektif pengetahuan dalam mengurai satu fenomena pun dibatasi di lingkungan kerja saya... sedihnya. Pembatasan-pembatasan tsb menurut saya, turut berjasa dalam upaya mengerdilkan proses kemanusiaan.

ezel mengatakan...

I like it this really good information
Vimax asli